Humor telah lama menjadi elemen penting dalam budaya politik. Sejak zaman dahulu, lelucon, satire, dan parodi digunakan oleh masyarakat sebagai cara untuk menyuarakan ketidakpuasan dan mengkritik kekuasaan. Dari karikatur hingga sandiwara, humor memungkinkan rakyat mengekspresikan perlawanan terhadap kebijakan atau pemimpin yang dianggap tidak adil. Dengan cara yang ringan dan menghibur, kritik dapat diterima tanpa menimbulkan ketegangan yang berlebihan.
Namun, dalam politik modern, humor bukan lagi hanya milik rakyat. Para politisi juga mulai menggunakannya sebagai senjata politik yang efektif. Dengan bantuan media sosial dan platform digital lainnya, politisi menggunakan humor untuk membentuk citra mereka sebagai sosok yang santai, dekat dengan rakyat, dan penuh kehangatan. Lelucon-lelucon yang diucapkan dalam pidato atau kampanye membantu mencairkan suasana, bahkan ketika topik yang dibahas berat atau sensitif.
Jika kita bandingkan dengan masa lalu, humor lebih sering digunakan sebagai alat perlawanan rakyat terhadap penguasa. Di era reformasi misalnya, banyak humor yang beredar dalam bentuk karikatur atau pentas komedi yang menyindir pemerintah yang otoriter. Humor menjadi alat perjuangan yang disampaikan dengan cara halus, namun penuh kritik tajam terhadap ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuasaan.
Saat ini, kita melihat perubahan signifikan dalam cara humor digunakan dalam politik. Alih-alih menjadi kritik dari rakyat, kini para politisi itu sendiri yang menggunakannya. Humor tak lagi digunakan semata-mata untuk menjatuhkan lawan atau mengejek kekuasaan, tetapi untuk menarik simpati masyarakat. Politisi mengemas diri mereka dengan lebih santai, tidak kaku, dan menghibur, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah "orang biasa" yang dekat dengan rakyat. Hal ini menjadi salah satu perbedaan utama antara penggunaan humor di masa lalu dan masa kini.
Bayangkan sebuah situasi di mana seorang politisi tengah berbicara di hadapan ratusan orang dalam kampanye. Suasana yang tadinya tegang karena isu sensitif yang dibahas, tiba-tiba berubah ketika politisi tersebut melontarkan lelucon. Tawa pun pecah, dan suasana yang semula kaku menjadi lebih cair. Ini adalah ilustrasi bagaimana humor bisa mencairkan ketegangan, bahkan ketika topik pembicaraan sangat serius, seperti masalah ekonomi atau keamanan negara.
Dalam situasi lain, ketika seorang politisi mendapat serangan kritik dari lawan politiknya, dia dapat menanggapinya dengan lelucon yang cerdas. Hal ini tidak hanya menghindarkan dirinya dari perdebatan yang terlalu emosional, tetapi juga mengubah persepsi publik. Humor menjadi cara bagi politisi untuk menahan kritik tanpa terkesan defensif atau agresif. Dengan cara ini, pesan politisi lebih mudah diterima dan audiens lebih mungkin mendukungnya.
Salah satu contoh yang paling terkenal adalah mantan Presiden AS, Barack Obama, yang sering menggunakan humor dalam pidato-pidatonya. Dalam banyak kesempatan, ia menyisipkan lelucon atau candaan untuk mencairkan suasana dan membuat audiens merasa nyaman. Misalnya, saat Obama membahas masalah-masalah pelik seperti reformasi kesehatan atau kebijakan luar negeri, ia sering memulai dengan candaan ringan. Ini membuat pendengarnya merasa lebih terhubung dan mengurangi jarak antara pemimpin dan rakyat.
Di Indonesia, Presiden Joko Widodo juga dikenal dengan gaya bicaranya yang santai dan humoris. Dalam banyak kesempatan, terutama saat kampanye, Jokowi sering menyisipkan humor dalam pidatonya. Misalnya, ketika ia membahas tentang infrastruktur, ia tidak segan melontarkan lelucon tentang jalan rusak atau macet. Candaan ini membuat pesan seriusnya lebih mudah diterima oleh masyarakat yang mendengar, sekaligus membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang rendah hati dan dekat dengan rakyat.
Menurut saya, penggunaan humor dalam politik modern merupakan strategi yang sangat cerdas, tetapi juga berpotensi disalahgunakan. Di satu sisi, humor dapat membuat politisi tampak lebih manusiawi, dekat dengan rakyat, dan memudahkan pesan mereka diterima oleh publik. Dalam dunia yang penuh ketegangan politik, humor dapat menjadi alat yang efektif untuk meredakan suasana dan menciptakan hubungan yang lebih hangat antara pemimpin dan rakyat.
Namun, di sisi lain, ada bahaya di balik penggunaan humor yang berlebihan. Ketika humor digunakan untuk menutupi kegagalan atau kekurangan dalam pemerintahan, hal ini dapat membuat publik menjadi tidak terlalu serius terhadap isu-isu penting. Humor bisa saja mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya harus diselesaikan. Oleh karena itu, saya percaya bahwa politisi harus bijak dalam menggunakan humor, dan tidak menjadikannya sebagai topeng untuk menyembunyikan kekurangan.
Humor dalam politik ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, humor dapat menjadi senjata yang efektif untuk memenangkan hati masyarakat dan meredakan ketegangan. Sama seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak makanan lezat, humor bisa membantu politisi menyampaikan pesan-pesan mereka dengan cara yang lebih mudah diterima. Namun, di sisi lain, pisau juga bisa melukai jika tidak digunakan dengan hati-hati. Begitu pula dengan humor---jika digunakan secara berlebihan, humor bisa mengaburkan permasalahan serius yang seharusnya dibahas dengan lebih mendalam.
Bahkan, dalam situasi tertentu, humor bisa dianggap tidak pantas, terutama ketika digunakan untuk menghindari pertanggungjawaban. Seperti pisau yang terlalu tajam bisa melukai tangan yang menggunakannya, humor yang tidak pada tempatnya bisa merusak citra seorang politisi dan membuatnya terlihat tidak serius. Oleh karena itu, keseimbangan dalam penggunaan humor sangat penting agar pesan yang disampaikan tetap efektif tanpa mengabaikan nilai dan substansi yang seharusnya disoroti.
Di era politik modern, kita sering melihat politisi yang tampil di hadapan publik dengan senyum lebar dan gaya bicara yang santai. Mereka dengan mudah menyelipkan candaan atau komentar humoris dalam pidato mereka, membuat suasana menjadi lebih ringan. Para politisi ini tampak seperti sosok yang bersahabat, tidak terjebak dalam formalitas yang kaku. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun mereka berada di posisi kekuasaan, mereka tetap manusia biasa yang bisa tertawa dan bercanda seperti orang lain.
Humor dalam politik sering kali menjadi momen yang paling diingat oleh publik. Di media sosial, potongan video yang menampilkan politisi melontarkan lelucon sering kali menjadi viral, menarik perhatian jutaan pengguna. Momen-momen ini memperkuat citra politisi sebagai sosok yang menyenangkan dan approachable. Dengan bantuan humor, politisi berhasil menciptakan hubungan yang lebih akrab dengan masyarakat, membuat publik merasa lebih dekat dan mendukung mereka dengan lebih antusias.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H