"Di negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah jadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para abdi negara."Â
-- Najwa Shihab
Korupsi lagi-lagi tak kunjung berhenti meregenerasi dari Indonesia dan tampaknya belum ada tanda-tanda hal itu akan berhenti dalam waktu dekat. Perkembangan korupsi di Indonesia sebenarnya juga berujung pada pengusungan pemberantasan korupsi  yang sudah ada.
Namun, hingga kini gerakan pemberantasan tersebut belum menunjukkan titik terang melihat persentase korupsi dan kondisi hukum Indonesia saat ini. Hukum yang mengatur pun dinilai belum memberikan efek jera, melihat para koruptor masih hidup dalam belas kasihan para penegak keadilan.
Alih-alih berhenti, melambungnya angka kasus korupsi di Indonesia bisa dilihat dari data rujukan KPK yang memperlihatkan pada tahun 2014 dengan total 27 kasus penindakan korupsi menjadi 96 jumlah penyelidikan di 2016, dan pada tahun 2018 menambah 76 kasus menjadi total ada 1.047 kasus  penyelidikan korupsi dalam kurun waktu 2014-2018. Hal ini menjadi indikasi kasus korupsi di Indonesia masih sangat tinggi dan perlu segera dibenahi dari segala aspek kehidupan.
Korupsi jelas sangat merugikan negara dan masyarakat. Selain menyebabkan pertumbuhan ekonomi terhambat dan meningkatnya utang negara, korupsi juga mengusik kehidupan sosial dan kemiskinan.
Dari terbatasnya akses bagi masyarakat kecil, meningkatnya angka kriminalitas, pengentasan kemiskinan yang melambat, solidaritas sosial semakin langka sampai pada mengakibatkan demoralisasi, yakni masyarakat menjadi semakin individualis dan berkemungkinan menyebabkan kematian banyak orang. Â Hingga kini, koruptor di Indonesia belum menjalani hukuman yang pantas dan sesuai. Lantas, hukuman apa yang cocok diberikan mengingat perbuatan mereka?
Berdasarkan hasil pengamatan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), tercatat bahwa dalam kurun 3 tahun terkahir, terdapat 756 orang terdakwa kasus korupsi yang dihukum ringan, yakni divonis hukuman penjara 2-5 tahun, dan hanya sedikit terdakwa yang divonis di atas 5 tahun.
Masalahnya adalah para koruptor di Indonesia masih diistimewakan, efek jera juga belum kelihatan dan mereka berada di posisi nyaman di dalam penjara karena memperoleh fasilitas khusus.
Terlebih lagi, penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik yang hanya diberlakukan bagi perkara yang ditangani KPK saja. Melihat "keistimewaan" tersebut, koruptor-koruptor yang ada hidup dengan kenyamanan dan tidak takut untuk melakukan hal yang sama kembalii.
Para koruptor seharusnya diberi hukuman yang paling berat dan maksimal. Jika penjatuhan hukuman mati akan memberikan efek jera bagi koruptor dan masyarakat, hendaklah itu diberlakukan mengingat dampak atas perbuatan mereka.