Mohon tunggu...
Claradevi Handriatmaja
Claradevi Handriatmaja Mohon Tunggu... -

another words-abuser. my own blog: http://sunflaresplethora.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalisme Online dan Batasan-Batasannya

23 Maret 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:32 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Melihat bagaimana istilah Jurnalisme-Online menjadi begitu umum (bahkan terkesan overrated), menarik untuk mendiskusikan bahwa lepas dari euforia akan kemunculannya sebagai media baru dengan sejuta tawaran pilihan, Jurnalisme Online dalam konteks masyarakat Indonesia masih merupakan sistem jurnalistik yang tidak populis. Artinya, Jurnalisme Online memiliki batasan-batasan yang pada masa ini membuatnya belum bisa bertransformasi seutuhnya sebagai jurnalisme yang bisa 'dimiliki' oleh seluruh warga.

Kita ingat lagi sedikit gembar-gembor mengenai Jurnalisme Online. Kata-kata seperti 'aktual', 'cepat', dan 'praktis' menjadi tema utama keunggulan jurnalisme jenis ini. Kebanyakan orang berpendapat bahwa kekuatan daya hantar teknologi internet yang kasat mata tersebut adalah sebuah kemenangan, dibandingkan dengan bentuk-bentuk jurnalisme konvensional yang telah ada sebelumnya. Dari sisi pelaku media sendiri, kepraktisan dan simplifikasi teknik jurnalistik mungkin yang menjadi kemudahan menarik bagi mereka. Jurnalisme online juga memudahkan wartawan untuk terus-menerus memperbaharui dan menambahkan informasi yang mereka tampilkan seiring dengan menyaksikan sendiri apa yang mereka temui secara langsung di lapangan.

Jurnalisme Online juga menyertakan unsur-unsur multimedia lain, seperti teks yang didukung gambar visual serta video sekaligus, yang membuat jurnalisme ini mampu menyajikan bentuk dan isi publikasi yang lebih kaya ketimbang jurnalisme di media-media tradisional.

Masih dari pihak penerbit, mekanisme publikasi di jurnalisme online yang sifatnya real-time itu lebih leluasa tanpa diikat oleh periodisasi maupun jadwal penerbitan atau siaran (seperti halnya televisi maupun radio, misalnya). Biaya produksinya pun relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan ongkos cetak maupun purchasing alat-alat berat penyiaran.

Komunikasi yang melibatkan arus personal tersebut juga dipengaruhi oleh karakter jurnalistik online yang bersifat interaktif (sering juga disebutkan sebagai keunggulan). Pembaca dapat menemukan keberadaan hyperlink yang terdapat pada situs pemberitaan, dimana artikel-artikel pada jurnalisme online tersebut dapat menyajikan informasi yang terhubung dengan sumber-sumber lain. Ini berarti, pembaca dapat menikmati informasi secara efisien dan efektif namun juga terpicu untuk mendapatkan perbandingan referensi dan informasi tambahan yang lebih luas. Bahkan tak jarang, berita serupa akan dilaporkan melalui sudut panjang yang jauh berbeda dibandingkan artikel sebelumnya. Ini akan menambah keuntungan dan mengembangkan literacy pembaca, karena sumber informasi akan semakin beragam. Selain itu, pada kebanyakan akhir artikel berita, pembaca juga dapat memberikan komentar, entah yang bersifat relevan maupun terkadang reaktif-emosional - apapun yang sifatnya memberi kebebasan beropini. Pembaca-pembaca dapat membentuk ruang diskusi yang saling menanggapi atas isu terkait dalam berita tersebut, dan lagi-lagi memperkaya referensi mereka.

Berdasarkan paparan di atas, yang tentunya sudah umum diketahui pula, keuntungan-keuntungan Jurnalisme Online memang terasa sangat berbeda dan advanced dibandingkan jurnalisme pendahulunya. Namun jika dilihat lebih dekat, jurnalisme online juga memiliki beberapa limitasi - terutama ketika dihadapkan dengan konteks budaya dan masyarakat di Indonesia.

Pertama, mengingat faktor yang memungkinkan akses terhadap internet di Indonesia masih relatif rendah. Berdasarkan data Internet World Stats, pengguna internet di Indonesia hingga tahun 2010 hanya sebesar 12,4%[1] saja dari total penduduk. Angka tersebut juga dipengaruhi kenyataan bahwa sebenarnya jaringan internet masih merupakan sebuah kemewahan bagi 30 juta lebih penduduknya yang berada di bawah garis kemiskinan[2] - pun ketika akses tersebut didapatkan melalui layanan provider handphone tertentu. Meskipun tampaknya kebanyakan warga Indonesia - dari tukang becak hingga pengusaha - telah memiliki telepon genggam pribadi, tetapi jumlahnya tidak signifikan untuk mewakili gambaran 'mayoritas' absolut masyarakat. Data tahun 2010 lalu, sekitar 116 juta penduduk Indonesia menggunakan layanan telepon genggam pribadi[3], namun bukan berarti terdapat kemerataan terhadap akses internet juga, sebab tidak semua dari pengguna tersebut memanfaatkan fitur layanan internet-based services. Padahal, jurnalisme online mensyaratkan adanya akses ke internet secara langsung untuk dapat membaca berita-berita yang mereka publikasikan. Ini berarti, jurnalisme online masih terbatas untuk khayalak tertentu.

Selain itu alasan kedua, karena sangat tergantung pada koneksi dan bandwidth internet, pengguna tidak bisa memperlakukan karya Jurnalisme Online seperti produk fisik koran misalnya. Kelebihan koran yang dapat dibawa, disimpan, lalu dikeluarkan lagi untuk dibaca sembari menunggu kendaraan umum tentu tidak bisa disamai oleh Jurnalisme Online yang diakses melalui komputer ataupun internet. Pengguna smartphone pun belum tentu dapat membaca berita dimanapun karena kemampuan provider untuk menyajikan portal berita sangat tergantung pada sinyal yang tersedia di daerah tertentu, status pengguna berlangganan atau tidak (karena pemotongan pulsa real-time akan diberlakukan saat pengakses tidak dalam paket-paket langganan internet), dan kondisi gadget tersebut menyala-lowbat-atau mati. Internet juga tidak ditayangkan setiap saat di muka publik seperti misalnya televisi yang tak jarang ditemukan di apotek, pertokoan, rumah makan Padang, hingga taksi-taksi berlayanan khusus. Harus ada intensi bagi pembaca untuk secara sadar membuka dan membaca berita maupun informasi di internet karena sifatnmya yang masih terbatas ini. Pengaruhnya terhadap Jurnalisme Online, tentu saja, cukup signifikan. Ini menjadikan terciptanya segmentasi baru dan rentangan ketercakupan pengguna internet yang bisa diproyeksikan oleh pengelola jaringan jurnalisme online.

Alasan yang terakhir, sebenarnya merupakan alasan yang cukup dapat diperdebatkan. Yaktu mengenai standar kredibilitas jurnalistik di antara portal-portal resmi, independen, maupun blog-based communities. Bukannya tidak pernah kita menemukan berita yang: ditulis secara singkat ibarat update dari Twitter karena hanya sebatas menginformasikan unsur what-where-when-who saja, atau ditulis dengan tata tulisan yang tidak sedap dipandang mata dengan penggunaan tanda baca yang tidak beraturan. Belum lagi berita-berita yang nilai beritanya kurang relevan, seperti misalnya berita komunitas yang tidak terlalu penting untuk konsumsi massa, atau bahkan berita opini dengan pertimbangan yang cenderung emosional daripada logis. Semua itu dimungkinkan oleh faktor keterbukaan Jurnalisme Online, dimana tak jarang orang-orang awam yang tidak memahami prinsip jurnalistik diperkenankan untuk turut menyuarakan haknya. Resikonya adalah ketika hasil karya tersebut sifatnya secara jurnalistik kurang sesuai, masyarakat kebanyakan akan menggeneralisasikannya dengan media-media penyalur berita resmi yang dikelola secara profesional. Tentu ini akan membawa representasi yang buruk bagi media tersebut - belum lagi potensi adanya distorsi informasi karena tulisan yang dibuat tidak berdasarkan prosedur verifikasi data dan memfasilitasi unsur cover-both-sides sebagaimana layaknya sebuah produk berita diolah.

Begitulah, Jurnalisme Online memang menjanjikan sebuah 'lahan' baru yang subur untuk ditanami. Namun layaknya sebuah usaha menyemai, diperlukan usaha keras dalam menggempurkan tanah dan memagari lahan tersebut agar aman dan nyaman untuk digunakan. Begitu pula dengan mengembangkan jurnalisme online ini - sepanjang prinsip jurnalistik diperkenalkan, disebarkan dan dipraktikkan dalam setiap karya; sepanjang struktur sosial dan ekonomi memungkinkan peningkatan akses masyarakat terhadap internet; Jurnalisme Online akan dapat melangkah keluar dari batasan-batasan kontemporer yang masih menjadi kerangkeng bagi pertumbuhannya kini.

Footnotes:

[1]Berdasarkan data Internet World Stats (http://www.internetworldstats.com/), diakses Senin 21 Maret 2011.

[2]Berdasarkan data Badan Statistik Indonesia (BPS), sesuai keterangan / kutipan dalam artikel di situs The Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/02/bps-more-31-million-indonesians-now-live-poverty.html,), Senin 21 Maret 2011,

[3]Berdasarkan data InMobi - Global Ad Network (http://www.inmobi.com) diakses Senin 21 Maret 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun