Mohon tunggu...
Clara Evi Citraningtyas
Clara Evi Citraningtyas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Penulis

Universitas Pembangunan Jaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangun Kembali Nilai dan Makna pada Cerita Rakyat

9 Juni 2021   08:32 Diperbarui: 9 Juni 2021   09:04 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita anak, terutama cerita rakyat, senantiasa sarat dengan ajaran.  Secara turun-temurun cerita rakyat digunakan untuk mendidik, mengasuh dan mewariskan nilai luhur dari satu generasi ke generasi berikutnya.  Faktanya, cerita rakyat memang menjadi salah satu media ajar tertua di dunia, yang dapat ditemukan pada semua budaya (Spagnoli, 1995)M.  Sampai hari ini, cerita rakyat  menjadi kendaraan favorit untuk membawakan pesan kepada generasi penerus dan terus dipakai untuk membentuk identitas masyarakat dan bahkan identitas bangsa. 

Ajaran yang tertanam dalam cerita rakyat pada dasarnya adalah ajaran untuk menjadi anggota masyarakat yang baik,  bagaimana bersikap dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat.  Melalui cerita rakyat, anak-anak diajar untuk menjadi anggota masyarakat yang diharapkan.  Sebagai media ajar yang telah diwariskan turun temurun, cerita rakyat menjadi media yang sangat dipercaya oleh banyak orang tua dan pendidik.  Cerita rakyat dianggap sebagai cerita yang memiliki jaminan mutu.

Tidak dipungkiri bahwa cerita rakyat mengandung banyak sekali ajaran baik, nilai-nilai luhur turun temurun yang wajib diasuh dan diwariskan.  Namun apakah cerita rakyat dijamin bebas dari nilai yang kurang sesuai untuk diwariskan atau yang sudah tidak sesuai dengan zaman?  Nyatanya banyak pembaca dari berbagai kalangan dan kelompok umur mempertanyakan mengapa banyak cerita rakyat kita berakhir dengan tragis.  Cerita rakyat Indonesia, misalnya, banyak yang ditutup dengan tokoh utama atau generasi penerus dikutuk menjadi batu.  Apa yang ingin kita wariskan dari pesan tersebut?  Batu adalah sebuah benda yang mati, keras, dingin, dan tidak produktif lagi.  Apakah kita pernah memperhitungkan dampak dari akhir cerita yang demikian apabila cerita tersebut hendak digunakan sebagai media ajar turun temurun? 

Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari rakyat, diceritakan oleh rakyat, untuk rakyat.  Ia tidak memiliki pengarang tunggal karena ia muncul dan dimiliki secara kolektif oleh sekelompok masyarakat, dan disebarluaskankan secara lisan dari mulut ke mulut.  Karena dimiliki secara kolektif dan disebarluaskan secara kolektif, maka cerita rakyat bersifat sangat cair, lentur, dan senantiasa berubah bersama dengan penuturnya.  Setiap penutur menuturkan versi dan varian masing-masing yang bisa berubah dari waktu ke waktu, sehingga tidak ada satu versi yang dianggap lebih benar atau lebih asli dibanding yang lain.  

Selain muncul dengan banyak varian, cerita rakyat juga bertumbuh dan berubah bersama zaman.  Hal ini memang sesuai dengan yang dijelaskan oleh para ahli bahwa cerita rakyat adalah genre khusus yang memang harus berubah sesuai dengan kebutuhan zaman (Bradknas 1975), dan senantiasa berevolusi sesuai zaman (Tehrani, 2013).

Cerita rakyat dari berbagai belahan dunia pun telah berubah sesuai zaman.  Diceritakan dalam Cinderella versi tertua, misalnya,  'Cat Cinderella' atau Zezolla membunuh ibu tirinya (1634).  Dua abad kemudian, dalam versi yang ditulis oleh Brothers Grimm (1867), mata kedua saudari tiri Cinderella menjadi buta karena dipatuk merpati, namun nyawa mereka diselamatkan.  Pada tahun 1950, muncul versi Cinderella yang tidak lagi menaruh dendam terhadap ibu dan saudari tiri yang telah berlaku zalim padanya.  Cinderella justru mengajak kedua saudari tirinya untuk tinggal di kastil dan menikahkan mereka dengan bangsawan yang sepadan.  Pada tahun 2015, muncul versi Cinderella yang fenomenal, karena disana Cinderella secara jelas mengatakan bahwa ia memaafkan ibu tirinya.  Perubahan yang mirip juga terjadi pada cerita lain seperti Putri Salju, si Tudung Merah, Ariel dll.

Apabila Cinderella butuh 400 tahun untuk memaafkan ibu dan saudari tirinya, bagaimana dengan kita?  Apakah kita sudah siap memaafkan para generasi penerus,  membebaskan mereka dari kutukan dan memberi mereka kesempatan kedua untuk produktif?  Nilai-nilai luhur tentu terus kita wariskan kepada mereka, dan pelanggaran akan aturan tetap perlu konsekuensi.  Namun bisakah kita memberikan konsekuensi yang tidak terminal? Malin Kundang, anak gadis dalam Batu Menangis, si Angui dll memang bersalah dan harus mendapat konsekuensi atas kesalahan mereka.  Namun sebagai penutur-penutur cerita rakyat masa kini, mari kita berikan konsekuensi yang konstruktif.  Kita semua adalah penutur cerita rakyat kita.  Mari kita bangun nilai-nilai yang konstruktif demi masa depan generasi muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun