Mohon tunggu...
Clara Wening
Clara Wening Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Taman Sari: Sebuah Kehidupan yang Dicari

18 Maret 2021   20:00 Diperbarui: 18 Maret 2021   20:43 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Traveling adalah untuk mencari tempat lain, kehidupan lain, dan jiwa lain.

Jalan-jalan adalah salah satu hobi sampingan dikala luang dan bosan. Tak harus mahal-mahal ke tempat wisata yang wah yang terpenting bersama siapa kita pergi. 

Bagiku, jalan-jalan itu cukup pergi bersama rekan dekat ke tempat yang menenangkan atau bersejarah. Mungkin sebagian orang heran, apa bagusnya tempat bersejarah? Eits jangan salah, justru tempat bersejarah menyimpan sejuta cerita yang layak ditemukan keberadaannya. 

Salah satunya adalah tempat bersejarah di sebelah barat daya Keraton Yogyakarta yang dikenal dengan Kompleks Taman Sari. Ya, lagi-lagi Yogyakarta. Kota pelajar yang kaya akan warisan budaya dan tak henti-hentinya dipuji oleh setiap mata yang bertandang. 

Setiap insan memuji keelokannya, bak sedang melihat tanah surga. Begitu juga denganku. Meskipun Yogyakarta merupakan tempat kelahiranku, tetapi kota ini masih banyak menyimpan cerita dan selalu membuatku terpesona karenanya.

Takjub yang Tak Terucap

Taman Sari dulunya disebut sebagai The Fragant Garden” karena kawasan ini merupakan taman istana Keraton Ngayogyakarta. Taman ini berada di sebelah barat daya Keraton Ngayogyakarta yang hanya memakan waktu kurang lebih 15 menit dari keraton. 

Taman Sari sendiri terletak di dalam benteng Keraton Ngayogyakarta. Tahun 2019, awal aku menginjakkan kaki di taman ini. Aku tak sendirian, tetapi bersama keempat kawan SMA yang sudah lama tidak meluangkan waktu bersama. Taman Sari menjadi salah satu list tujuan destinasi kami, yang akhirnya bisa kami kunjungi.

Ketika matahari tak malu-malu lagi menampakkan wajahnya di langit, di saat itulah kami sampai di depan pelataran Taman Sari. Lalu lalang orang yang keluar masuk menunjukkan betapa ramainya tempat ini. Makhlum saja karena ini merupakan hari libur. 

Meskipun begitu, harga tiket yang ditawarkan cukup terjangkau untuk mahasiswa seperti kami ini. Cukup membayar biaya Rp. 5.000,-/per orang, kami sudah bisa menjelajahi kompleks Taman Sari sepuasnya. Jika kalian membawa kamera, akan dikenakan biaya Rp. 3.000,-/per kamera. Ada pula paket wisata atau paket tertentu bagi pengunjung yang ingin melakukan photoshot atau pun foto pre-wedding. Harga ini mungkin tak sebanding dengan keindahan yang ditawarkan. 

Bagaimana tidak? Sampai di depan pintu masuknya saja sudah membuat mata melongo. Di pintu masuk terdapat sebuah gapura besar yang begitu artistik, tetapi jangan salah mengira ya kalau gapura ini pintu utama untuk masuk Kawasan Taman Sari. 

Justru gapura ini merupakan pintu masuk lain yang berada di sebelah timur. Pintu utama Taman Sari sebenarnya ada di sebelah barat berbentuk sebuah gapura yang lebih megah dibandingkan dengan gapura yang di sebelah timur. Gapura ini dikenal dengan nama Gedhong Gapura Hageng atau Gapura Agung. Banyak ukiran yang menghiasi gapura ini dan menurut situs resmi Kraton Jogja, ukiran ini menunjukkan tahun pembuatan Taman Sari. Benar-benar menarik dan sangat menakjubkan.

Di ujung pintu masuk, terdapat kolam permandian yang luas dan cantik. Kolam permandian ini dikenal dengan Pasiraman Umbul Binangun. Dulunya kolam permandian ini merupakan tempat yang digunakan untuk mandi oleh para sultan dan keluarganya. Tempat ini dikelilingi dengan tembok tinggi bercat putih yang mulai memudar dan tak beratap. Selain itu, kesan bersejarah sangat terlihat dari bagaimana keadaan dinding bangunan yang sudah retak maupun berlumut di beberapa bagian, tetapi tak meninggalkan kesan estetik dari arsitekturnya.

sindonews.com
sindonews.com
 Tak hanya satu kolam permandian yang ada di Taman Sari, melainkan tiga. Ketiga kolam permandian ini juga memiliki namanya masing-masing, Umbul Panguras di sebelah selatan,  Umbul Pamuncar di tengah, dan Umbul Kawitan di sebelah utara. Setiap kolam memiliki air yang sangat jernih dan dikelilingi dengan pot bunga yang cukup besar. Ketiga kolam ini menjadi tempat favorit para pengunjung untuk mengambil gambar atau pun berswa-foto bersama. Aku pun tak mau kehilangan momen ini, jadi aku bersama keempat kawan lainnya mengambil gambar bersama sebagai kenangan. Bagiku, mengambil gambar merupakan wujud kekaguman yang tak terucap terhadap suatu objek dan begitu juga dengan momen bersama kawan-kawan yang jarang aku nikmati.

 Puas mengelilingi kolam permandian, tujuan selanjutnya adalah sebuah tempat di balik kolam ini. Di sebelah barat kolam, terdapat pintu dengan beberapa titian anak tangga yang mengarah ke luar. Ternyata di ujung anak tangga terbentang tanah yang begitu luas dengan beberapa bangunan tinggi yang mengelilinginya.  Uniknya, tanah yang menyerupai halaman ini apabila dilihat dari ketinggian bentuknya segi delapan. Selain itu di area ini, terdapat empat buah bangunan yang memiliki ukuran yang kurang lebih hampir sama. Karena keberadaan empat bangunan inilah tempat ini disebut sebagai Gedong Sekawan (sekawan dalam bahasa Jawa berarti empat). 

Di area halamannya sekarang digunakan sebagai tempat berjualan para warga yang tinggal di Kompleks Taman Sari atau para pedagang dari luar. Ada yang berjualan makanan tradisional, minuman, bahkan mainan anak tradisional pun dapat ditemukan di sini. Tenang saja, harga-harga di sini masih termasuk murah dan sangat terjangkau. Ya, memang komplek Taman Sari bukan hanya sebuah tempat bersejarah ataupun tempat wisata saja, melainkan juga tempat tinggal bagi mereka yang sedari dulu sudah tinggal di dalam benteng Keraton. Di sebelah barat ada sebuah bangunan yang sudah sedikit runtuh, kami pun naik ke puncak bangunan. Dari atas ketinggian ini, mata kami disuguhkan dengan pemandangan kompleks Taman Sari yang dikelilingi dengan tembok tinggi bercat putih yang berdiri kokoh layaknya benteng yang megah.

Bahagia itu Sederhana

Terik matahari yang sedang di puncaknya membawa langkah kaki kami untuk menuruni bangunan dan mencari tempat berteduh. Salah satu tempatnya adalah gang di daerah rumah-rumah penduduk yang meskipun sempit, namun dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan yang menarik seperti lampu, tanaman, maupun hasil kerajinan dari sampah plastik. Sebotol air dingin yang kami beli di salah satu warung warga, kini menemani langkah kami menyusuri gang perumahan di Taman Sari. 

Sepanjang gang, kami bersandau gurau melepas penat dan itung-itung melepas rindu bersama. Obrolan sederhana itu tak terasa menjadi momen spesial setelah sekian lama tak bersua. Sebenarnya, masih ada satu tempat lagi yang sedang kami cari. Sedari tadi, kami telah puas menikmati keindahan dan keelokan di atas tanah Taman Sari dan kini kami pun penasaran dengan apa yang berada di bawah tanah Taman Sari.

Ya, di bawah tanah. Letaknya yang di bawah tanah tak membuat tempat ini sepi dengan pengunjung. Justru tempat ini sangat ramai karena tempatnya yang sejuk dan terlindung dari panas teriknya matahari di luar sana. Pintu masuk bawah tanah ini tak semegah dengan gerbang utama tadi, hanya sebuah gerbang sederhana dengan lebar sekitar 2-3 meter. Memasuki gerbang, kami disambut dengan alunan musik dari musisi jalanan dengan penonton yang duduk di tepi-tepian anak tangga yang menjuntai ke bawah. Kami berhenti sejenak melepas lelah dan ikut menikmati alunan musik sembari duduk di tepian tangga dekat gerbang. Rasanya seperti menonton mini konser di sebuah tribun namun tanpa menggunakan pengeras suara. 

Musisi jalanan ini juga membawakan lagu-lagu bertema Yogyakarta yang sendu dan membuat rindu. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat memilih lagu atau pun bernyanyi bersama dengan para musisi jalanan. Menikmati alunan musik sambil bercanda gurau menjadi salah satu momen istimewa bagiku. Momen ini mengingatkanku pada kesenangan kami waktu di SMA yaitu bernyanyi bersama. Walaupun suara kami tak sebagus penyanyi di luar sana, tetapi setidaknya itu sudah cukup untuk melipur lara. Begitu juga saat menikmati alunan musik musisi jalanan. Bahkan sempat beberapa kali lagu-lagu kesukaan kami dinyanyikan, tentu saja kami langsung ikut bersenandung bersama. Rasanya enggan untuk beranjak, tetapi waktu seakan tak memberi ijin. Suasana saat itu begitu ramah, sehangat tempat kami berada sekarang, Yogyakarta.

Di samping anak tangga yang dijadikan podium para musisi jalanan, terjuntai lagi beberapa anak tangga yang mengarah ke terowongan bawah tanah. Ujung terowongan inilah yang akan menjadi destinasi terakhir kami di Taman Sari. Meskipun di bawah tanah, namun penerangan di sini tetaplah memadai dan banyak celah ventilasi yang turut menyumbang oksigen. Tak banyak yang tahu bahwa di ujung terowongan ini terdapat sebuah bangunan masjid bawah tanah. 

Tetapi jangan heran apabila kalian tidak menemukan kubah masjid di dalamnya, karena inilah keunikannya. Bangunan ini sepintas tak ada yang mirip seperti masjid yang kita kenal, tetapi ada satu tempat  yang mirip seperti mihrab (tempat imam memimpin shalat). Selain itu, ada pula sebuah kolam air yang berasal dari sebuah sumur yang disebut dengan Sumur Gumuling. Kolam air ini berada di bawah tangga yang saling bertemu di tengah. Tangga ini berjumlah lima dan dipercaya masyarakat melambangkan jumlah rukun dalam Islam. Pertemuan dari kelima tangga ini menjadi salah satu tempat favorit untuk mengambil gambar. 

Sumber: grid.id
Sumber: grid.id

Selain itu, di atas kelima tangga ini tak ada atap yang menutupi sehingga cahaya matahari bisa masuk dengan leluasanya. Nah, di ujung tangga paling atas terdapat sebuah pelataran yang mengelilingi pusat kelima tangga tadi. Pelataran ini seperti lantai dua dari bangunan Sumur Gumuling. Keadaan tembok yang hanya bercat alakadarnya dan sedikit usang, menunjukkan betapa sudah berumurnya tempat ini, tetapi tak meninggalkan kesan estetik dan nyeni dari bangunan ini.  Di dinding bangunan terpajang jendela dengan lebar 2 meter yang menambah kesan megah.  Semilir angin dari luar ikut terbawa masuk dan menyegarkan bagian dalam bangunan ini.

Tak ingin kehilangan momen, kami memutuskan untuk berswafoto sepuasnya dan tentu saja sambil bersandau gurau melihat hasil jepretan kami. Sudah lama aku tak merasa sebahagia ini bersama mereka. Bagaimana tidak? Status kami yang merupakan mahasiswa membuat kami memiliki kesibukannya masing-masing. Meluangkan waktu bersama adalah cara kami melepas rindu. 

Tak disadari, ternyata sudah bergitu banyak foto yang kami ambil. Akhirnya perjalanan menyusuri jejak sejarah di Taman Sari berakhir di bangunan ini. Kami beranjak keluar dari bawah tanah dan menyusuri gang kembali menuju pintu keluar. Siapa sangka sebelum pintu keluar ternyata masih banyak spot-spot unik yang sayang untuk dilewatkan. 

Terdapat dinding yang berhiaskan tanaman merambat dengan mahkota bunga warna warni yang begitu cantik. Kesan sejuk yang ditampilkan telah menutup perjumpaan kami dengan banyak cerita di balik Taman Sari. Hanya ada kesan takjub dan ramah yang akan senantiasa menyelimuti Taman Sari. Kini langkah kami mengayun pelan, entah karena lelah atau enggan untuk berpisah.

Tak terasa pula, ternyata matahari akan kembali ke peraduannya. Kami pun menyusuri gang terakhir menuju gerbang keluar. Kami saling mengucapkan kata perpisahan dan sebuah harapan kupanjatkan semoga ada kesempatan bertemua di lain waktu. Tos bersama menjadi akhir perjumapaan kami hari itu. Hiruk pikuk kendaraan yang diselimuti langit senjalah yang akhirnya mengantar kepulangan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun