Mohon tunggu...
Clara Nervia
Clara Nervia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pelita Harapan

Seorang mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Pelita Harapan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transgender dalam Berbagai Perspektif di Indonesia

2 Desember 2023   14:10 Diperbarui: 2 Desember 2023   14:28 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penolakan LGBT. Foto: Paramarta Bari/Shutterstock

Transgender merupakan suatu keadaan dimana seseorang atau individu merasa bahwa identitas gendernya berbeda dengan jenis kelaminnya secara biologis sejak lahir. Saat seorang bayi lahir, dokter akan menentukan apakah bayi tersebut laki-laki atau perempuan secara langsung berdasarkan komponen biologis yaitu kromosom, hormon bawaan bayi, dan alat kelamin. Namun, jika identitas gender maka tertuju pada suatu konsepsi seseorang tentang gendernya sendiri. Hal tersebut baik identifikasi individu sebagai seorang perempuan, laki-laki, atau tidak keduanya. Lalu, terdapat pendapat yang menilai mengenai transgender menyalahi kodrat. Sesungguhnya, konsep "kodrat" dapat didefinisikan secara berbeda-beda tergantung pada konteks dan pandangan filosofis atau sosial tertentu. Dalam pengertian umum, kodrat bisa merujuk pada sifat alamiah atau fitrah suatu entitas.

Dalam konteks ini, mengidentifikasi diri sebagai transgender tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kodrat karena orientasi seksual dan identitas gender merupakan bagian dari keragaman manusia. Manusia memiliki keberagaman dalam berbagai aspek, termasuk identitas gender dan orientasi seksual. Oleh karena itu, mengakui dan menghormati keberagaman ini dapat dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap kodrat manusia yang melibatkan kompleksitas dan variasi. Ada banyak alasan mengapa seseorang bertindak menyalahi kodrat tersebut, salah satunya seperti perasaan akan dirinya berada pada tubuh yang salah sehingga terjadi perdebatan batin panjang dengan dirinya pribadi dan juga ada yang terpengaruh oleh faktor lingkungan. Dapat diketahui bahwa pemahaman tentang "kodrat" dapat bervariasi, dan pandangan yang inklusif terhadap keberagaman manusia dapat membantu membangun masyarakat yang lebih adil dan berempati.

Seorang sinden transgender menyanyi. Foto: Feri Handoko/Shutterstock
Seorang sinden transgender menyanyi. Foto: Feri Handoko/Shutterstock

Hingga kini, masih terdapat beberapa masyarakat yang tidak dapat menerima keberadaan transgender. Dalam konsep perkembangan identitas gender seseorang, seseorang dinilai laki-laki karena memiliki penis dan seseorang dinilai perempuan karena memiliki vagina. Hal ini masih bertentangan dengan nilai-nilai kultur, sosial, dan budaya di Indonesia. Secara umum, transgender tidak diterima dilingkungan masyarakat karena kerap dianggap melanggar norma-norma yang menentukan apa yang dianggap baik, apa yang dianggap seharusnya, dan apa yang sesuai dengan keyakinan tertentu. 

Norma-norma ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, dan hukum. Contohnya, banyak transgender yang kesulitan dalam mencari pekerjaan, mendapatkan gaji yang setara, serta kesulitan mendapatkan kesempatan pengembangan karir. Sehingga, hal ini berdampak pada ekonomi individu tersebut, serta negara. Tidak hanya itu, perlindungan hukum yang kurang mengakibatkan ketidaksetaraan dalam perlindungan hukum dan hak asasi manusia untuk individu transgender tersebut. Dalam kasus lain, banyak budaya Indonesia yang belum bisa menerima keberadaan individu transgender, dikarenakan budaya yang konservatif dan kurang inklusif, sehingga membuat stigma sosial yang tidak baik tentang individu transgender tersebut. 

Namun, hal tersebut bersifat relatif karena ada juga budaya yang mengenal lebih dari 2 (dua) gender, yaitu Suku Bugis dari Sulawesi Selatan. Suku Bugis mengenal 5 (lima) gender, yaitu lelaki, perempuan, calalai (perempuan dengan sifat maskulin), calabai (pria dengan sifat feminin), dan Bissu, sebagai kelompok unik yang tidak terdefinisi sebagai laki-laki atau perempuan. Seringkali, seseorang yang dianggap transgender tidak diterima di lingkungannya. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap berbeda dengan orang pada umumnya, serta tidak sesuai dengan norma sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat di sekitar mereka. Meskipun menyakitkan dan melelahkan, diperlukan adanya penjelasan oleh individu transgender tersebut terkait dengan identitas, kebutuhan, dan pengalaman, sehingga mereka dapat dilihat, dihargai, dan dipahami menjadi seorang individu. 

Seseorang dapat berubah menjadi transgender karena seksualitas dan identitas gender kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Banyak penelitian menunjukkan adanya kombinasi faktor genetik, lingkungan, psikologis, pengalaman hidup, perubahan budaya dan sosial yang berperan dalam orientasi seksual seseorang. Beberapa bukti menunjukan bahwa faktor genetik dan hormonal mungkin berperan, tetapi tidak ada satu penyebab tunggal yang menjelaskan semua kasus. yang pasti, menjadi bagian dari komunitas LGBT bukanlah pilihan, tetapi bagian dari identitas yang kompleks dan individu setiap orang. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi bagian dari komunitas LGBT. Beberapa faktor-faktor tersebut diantaranya: 

  • Faktor genetik: Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi antara faktor genetik dan orientasi seksual. Meskipun belum ada penemuan tunggal yang menetapkan bahwa orientasi seksual sepenuhnya ditentukan oleh genetika, ada bukti bahwa faktor genetik dapat memainkan peran dalam kompleksitas identitas seksual.

  • Faktor lingkungan: Pengalaman lingkungan sosial, termasuk keluarga, teman sebaya, dan masyarakat di sekitar bisa mempengaruhi bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya. Dukungan atau penolakan dari lingkungan dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi bagaimana individu menerima dan memahami identitas mereka.

  • Faktor psikologis: Proses internal individu, seperti perasaan, refleksi dan identifikasi diri, juga memiliki dampak besar terhadap bagaimana seseorang menyadari dan merasakan identitas mereka. ini bisa melibatkan proses eksplorasi diri dan penerimaan terhadap perasaan dan preferensi yang mungkin tidak sesuai dengan norma-norma yang diharapkan.

  • Pengalaman hidup: Pengalaman hidup seseorang seperti trauma, pengalaman emosional, atau interaksi sosial yang beragam, juga dapat mempengaruhi cara individu memahami dan merespons identitas mereka. pengalaman ini bisa menjadi katalisator bagi seseorang untuk menjelajahi dan mengenali diri mereka lebih dalam.

  • Perubahan budaya dan sosial: Perubahan dalam pandangan masyarakat tentang seksualitas dan identitas gender telah memungkinkan orang untuk lebih terbuka dalam menyatakan dan menerima identitas mereka. Terdapat pergeseran besar dalam pemahaman dan penerimaan terhadap LGBT di banyak budaya dan masyarakat.

Tentu saja setiap individu memiliki pengalaman yang unik, dan faktor-faktor diatas mungkin berinteraksi dengan cara yang berbeda untuk setiap orang. Identitas seksual dan gender seseorang adalah hal yang sangat pribadi, dan penjelasan tunggal tidak selalu mewakili keragaman dan kompleksitas individu yang berbeda.

Penolakan LGBT. Foto: Paramarta Bari/Shutterstock
Penolakan LGBT. Foto: Paramarta Bari/Shutterstock

Pada pendapat wawasan dalam dunia Kristen mengenai transgender sangat bervariasi, karena tergantung pada interpretasi ajaran agama, keyakinan, dan budaya masing-masing komunitas Kristen. Beberapa aliran Kristen yang lebih ortodoks atau konservatif mungkin memiliki pandangan yang menolak atau menganggap LGBT sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama. 

Mereka cenderung melihat seksualitas dan identitas gender yang berbeda dari yang diajarkan dalam kitab suci mereka sebagai tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sementara itu, ada juga kelompok Kristen yang lebih progresif yang mungkin memiliki pendekatan yang lebih inklusif terhadap LGBT atau transgender. Mereka menafsirkan ajaran agama dengan lebih kontekstual dan cenderung menerima dan mendukung hak-hak individu LGBT dalam komunitas mereka. Beberapa komunitas Kristen bahkan membuka pintu gereja mereka untuk menjadi lingkungan yang ramah bagi individu LGBT.

Bagi sebagian umat Kristen, terdapat juga upaya untuk menemukan titik tengah antara keyakinan agama dan keberpihakan terhadap individu LGBT. Mereka mungkin berusaha untuk memahami dan merangkul individu LGBT tanpa meninggalkan prinsip-prinsip agama mereka, sering kali dengan mengedepankan pesan kasih, pengampunan, dan penerimaan. Penting untuk dicatat bahwa perspektif ini bervariasi di seluruh denominasi Kristen dan bahkan di dalam gereja-gereja yang sama. Hal ini disebabkan oleh beragam interpretasi atas ajaran agama, pengalaman pribadi, konteks budaya, dan pemahaman terhadap konsep kasih dan keadilan. 

Terlepas dari perbedaan pandangan, dialog terbuka, pengertian, dan upaya untuk memahami satu sama lain menjadi kunci dalam membuka ruang bagi percakapan yang mendalam dan penghormatan terhadap keberagaman pandangan dalam komunitas Kristen dan di seluruh dunia. Begitu pula dengan pandangan dalam Islam terhadap LGBT umumnya mengacu pada ajaran agama yang menekankan bahwa hubungan seksual di luar pernikahan heteroseksual adalah tidak sesuai dengan kepercayaan agama tersebut. Sebagian besar pandangan dalam dunia Islam secara umum masih cenderung menolak hubungan homoseksual dan transgenderisme, sementara ada upaya untuk memahami dan berdialog terbuka dengan individu-individu yang terpengaruh oleh isu-isu ini. Aspek toleransi, pemahaman, dan perjuangan untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan agama dan keberpihakan terhadap individu yang berbeda tampak menjadi tantangan yang ada di berbagai komunitas Muslim.

Hari Internasional Melawan LGBT di Jakarta. Foto: dani daniar/Shutterstock
Hari Internasional Melawan LGBT di Jakarta. Foto: dani daniar/Shutterstock

Menurut hasil diskusi kelompok kami, bahwa mengenai keberadaan LGBT merupakan realitas sosial yang telah lama ada di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Kehadiran individu dengan orientasi seksual atau identitas gender yang berbeda dari mayoritas telah menjadi bagian dari keragaman manusia. Meskipun sering dihadapi dengan stigma, keberadaan LGBT adalah bagian dari kenyataan yang kompleks dalam dinamika sosial, budaya, dan identitas individu. 

Pandangan ini memperkuat pentingnya menerima dan memahami keragaman manusia sebagai aspek integral dalam membangun masyarakat yang inklusif dan adil bagi semua individu tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka. Individu yang mengidentifikasi diri sebagai lesbian, gay, biseksual, dan transgender membawa pengalaman dan cerita hidup yang unik, memperkaya warna sosial dengan perspektif yang berbeda. 

Meskipun telah terjadi kemajuan dalam pengakuan hak-hak LGBT di beberapa bagian dunia, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh komunitas ini, termasuk diskriminasi, stigmatisasi, dan ketidaksetaraan dalam berbagai bidang kehidupan. Perdebatan seputar keberadaan LGBT juga mencerminkan perubahan norma sosial dan nilai-nilai masyarakat. Beberapa mengadvokasi penerimaan dan pengakuan penuh, menganggapnya sebagai langkah menuju masyarakat yang lebih inklusif. Disisi lain, ada mereka yang mungkin menentang norma tersebut, terkadang didorong oleh faktor-faktor seperti agama, tradisi, atau perubahan sosial yang dirasakan sebagai terlalu cepat. Pengembangan pemahaman bersama dan dialog yang terbuka dapat membantu menciptakan ruang untuk saling mendengarkan dan mencapai kesepakatan di tengah perbedaan pandangan ini.

Untuk solusinya adalah dengan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memerangi diskriminasi terhadap transgender. Ini dapat dilakukan melalui pendidikan yang lebih luas tentang identitas gender, pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang isu-isu transgender, serta pembentukan kebijakan yang melindungi hak-hak mereka. Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi individu transgender, baik di tempat kerja, di sekolah, maupun di masyarakat umum. Ini dapat mencakup penyediaan akses ke pelayanan kesehatan yang komprehensif, dukungan psikologis, dan dukungan sosial.

Dalam memahami mereka juga dibutuhkan untuk mendengarkan dan menghormati pengalaman dan perspektif individu transgender, serta memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi mereka dalam segala aspek kehidupan. Semua orang harus diperlakukan dengan hormat dan diakui sebagai manusia yang berharga, tanpa memandang identitas gender mereka. Sebagai seorang mahasiswa bagi kita semua agar terus belajar dan berkembang dalam pemahaman kita tentang transgender dan isu-isu yang mereka hadapi. Dengan membangun kesadaran dan pemahaman yang lebih baik, kita dapat bekerja bersama untuk menciptakan dunia yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang, termasuk individu transgender.

Artikel ini dibuat oleh Clara Nervia, Fatimah Azzahra, Marchphillo Ceyzar, Naily Aridah, Reza Annisa, dan Rewidan Muhammad Haikal untuk tugas Sejarah Pemikiran. Para penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun