Mohon tunggu...
Christy Kabul
Christy Kabul Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Art4All: Pelajaran Seni dan Manfaatnya

20 Agustus 2017   19:33 Diperbarui: 21 Agustus 2017   05:27 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis saat ini adalah seorang pendidik seni di luar negeri. Dalam artikel ini, penulis mencoba memaparkan perjalanan pribadi dan profesionalnya, dan beberapa manfaat praktis jangka panjang dari mengikuti kelas seni di sekolah.

Saya teringat bahwa sejak kecil saya memang hobi gambar. Bagi saya, gambar itu adalah hiburan yang merakyat. Tidak perlu investasi yang besar, alat atau tempat khusus. Cukup dengan dengan secarik kertas dan segenggam pensil, saya sudah bisa memulai coret-coretan, menuangkan gambar yang ada di dalam pikiran, menkonkritkan imajinasi. Orang tua saya juga sangat suportif, dan mereka dengan sedia mengirim anaknya ke tempat les melukis.

Saat di SMP, kemampuan estetis saya pun membantu mempercantik nilai rapor. Saya suka pelajaran KTK (Keterampilan dan Kerajinan Tangan), sesuatu yang mungkin tidak disukai oleh kebanyakan anak. Di samping itu, saya juga suka pelajaran-pelajaran lainnya, dan hal ini membuat saya mengira-ngira: dengan banyak bidang yang saya sukai, bidang apa yang pada akhirnya akan saya di masa depan?

Fast forward beberapa tahun kemudian, tibalah bagi saya untuk memilih jurusan di universitas. Pikir saya, setelah sekian lama berfokus di sains saat di sekolah, akan menyenangkan kalau bisa menyeimbangkan perkembangan otak kiri dan kanan dengan mengambil jurusan desain komunikasi visual (DKV). Saat itu saya tidak begitu memikirkan pekerjaan apa yang akan saya lakukan dengan sebuah gelar sarjana DKV. Saya hanya mengikuti apa kata hati, seorang anak muda yang mempunyai idealisme, bahwa somehow, some ways, ilmu art dan desain yang saya tuntut itu pasti akan berbuah dan berguna.

Keputusan saya ini  bukanlah tanpa perlawanan atau kritikan. Walaupun orang tua dan keluarga terdekatksangat mendukung dengan apapun pilihan studi saya (selama saya bisa mendapatkan S1), beberapa orang masih mengungkapkan keterkejutannya. "Kamu kan pintar, kok, kamu gak ambil akuntansi saja?", atau "oh, aku gak nyangka kamu ambil desain. Mau kerja apa?" Semua itu saya responi dengan lapang dada saja.

Namun tantangan dan apa yang terasa seperti penyesalan datang ketika saya lulus dan mulai mencari pekerjaan.  Lowongan pekerjaan yang saya inginkan -- yang menyatakan akan menerima lulusan dari berbagai jurusan, tidak menerima saya. Sebenarnya, banyak perusahaan yang membutuhkan tenaga teknis desain. Namun karena hanya dianggap sebagai tenaga 'teknis' yang hanya mengeksekusi permintaan klien, tipe pekerjaan seperti ini pun tidak datang dengan imbalan moneter yang memadai, dan kerap kali tidak kenal ampun dalam menuntut pekerjanya untuk tinggal sampai tengah malam, apalagi kalau deadline sudah mendekat. Saya enggan terjun ke jalur seperti ini.

Saat itu saya merasa jatuh, terkapar, disilusional. Apa yang saya pikirkan ketika saya memilih jurusan ini? Apa yang telah saya lakukan dengan empat tahun terakhir di hidup saya? Apakah saya terlalu idealis dan tidak berpikir secara praktis?

Saya akhirnya mendaftar menjadi guru. Saya menjadi guru art di sebuah sekolah dengan spesialisasi maths dan science. Jadi bisa ditebak, bagaimana sikap dari banyak murid, orang tua dan guru lainnya terhadap mata pelajaranku. Keberadaan saya di situ mungkin semata karena adanya kewajiban memberikan pelajaran seni dasar, di luar pelajaran-pelajaran inti lain. Jadi pertanyaannya, apa yang harus saya katakan kepada sekelompok anak-anak yang tidak punya minat di dalam art? Anak-anak, dengan orang tua ber-mindset praktikal, yang sudah tahu pasti bahwa mereka bercita-cita menjadi dokter, insinyur, ilmuwan, banker, dan lain-lain? Yang tidak melihat adanya manfaat langsung dari mata pelajaran ini?

Saya memutuskan untuk memformulasikan arahan umum dalam kelas seni saya, mencoba menjustifikasi eksistensi dari mata pelajaran ini supaya lebih banyak murid yang termotivasi untuk mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh.

Inilah poin-poin yang saya sampaikan kepada mereka.

Art membantu kita mencari solusi yang divergen. Banyak anak-anak yang menjadi terlalu nyaman dengan solusi tunggal untuk sebuah masalah, contohnya dalam matematika 1+1=2, bukan 3, bukan 4. Jadi hanya ada satu solusi yang benar. Sedangkan dalam art, setiap murid diajak untuk mencari solusi yang berbeda-beda dari sebuah problem. Tema 'alam' misalnya, mendorong anak untuk menginvestigasi daun, tanaman, binatang, masalah lingkungan, manusia, dan lain-lain. Kemudian berangkat dari berbagai sub-tema tersebut, mereka akan menghasilkan sebuah karya seni yang unik.

Art membantu kita untuk melakukan perspective-taking, kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Contohnya satu lukisan dapat mempunyai makna yang berbeda menurut pelukisnya dan audiensnya. Interpretasi yang berbeda dari arti yang digagas pelukisnya bukan berarti salah, hal itu hanya perbedaan cara berpikir yang menarik untuk didiskusikan.  Karena itu sebuah karya seni bisa membuka wawasan kita. Karya seni juga dapat dipakai untuk starting point sebuah diskusi tentang cara hidup orang di masa lalu, tempat-tempat yang jauh dari kita, ataupun kejadian penting dalam sejarah.

Karena hal-hal di atas art juga membantu pengembangan beberapa predisposisi positif seperti kepercayaan diri, komunikasi yang efektif, dan kerja kelompok. Hal-hal ini sangat diperlukan oleh generasi muda yang akan menghadapi dunia dan ekonomi yang semakin mengglobal di abad 21 ini. Masalah-masalah kompleks di dunia luar membutuhkan cara  berpikir yang lebih fleksibel, life-smart (bukan hanya book-smart), entrepreneurial dan kreatif, dan pelajaran seni bisa menjadi platform di mana anak-anak bisa mensimulasikan kompetensi-kompetensi ini.

Saya pun mulai merencanakan aktifitas dan diskusi menurut arahan-arahan ini, karena buat apa saya ngomong panjang lebar kalau tidak bisa menghidupi yang saya ajarkan di kelas? Berbagai hal yang sudah dilakukan di antaranya berdiskusi tentang lukisan-lukisan terkenal dan hubungannya dengan current affairs yang relevan, dan mengadakan permainan di kelas di mana anak-anak menghasilkan ide-ide baru dengan menyilangkan ide-ide individual mereka satu sama lain.

Mungkin orang masih skeptis dengan pelajaran seni. Tidak sedikit yang bilang, kalau nilainya tidak mempengaruhi rata-rata nilai kenaikan kelas, tidak usah buang-buang waktu dan tenaga. Saya hanya mau mengingatkan mereka, bahwa saya tidak mengajar seni dan mengharapkan mereka menjadi seniman ketika sudah dewasa. Tapi saya yakin yang dipelajari di kelas seni akan berguna di kehidupan nantinya. Kalau pun memang pun masih dianggap tidak akan berguna dan alasan belajar seni masih dipertanyakan, saya akan bertanya balik, why not? Mungkin tidak semua hal dalam hidup ini harus dihubung-hubungkan dengan sisi praktis dan uang. Setiap kita yang hidup dalam dunia ini adalah bagian dari sebuah peradaban. Dan peradaban dibentuk secara kolektif oleh cipta, rasa dan karsa manusia dari masa ke masa. Sudah sepantasnya kita berusaha untuk lebih sedikit mengerti sesuatu yang mana kita adalah bagian di dalamnya, salah satunya dengan belajar mengapresiasi art dengan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun