Mohon tunggu...
Bef Abda Palawijaya
Bef Abda Palawijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Civics Society for Research and Strategic

Lahir di Serang dan Tinggal di Kota Serang....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Pulsa Pendidikan, Perlukah?

27 Agustus 2020   11:30 Diperbarui: 27 Agustus 2020   11:32 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Bef Abda Palla Wijaya

Pemerintah Provinsi Banten menggelontorkan Rp 13,8M untuk alokasi belanja pulsa bagi para pelajar.  Keputusan ini menggembirakan karena ada perhatian khusus pada beban yang dihadapi para orang tua di saat semua pengajaran serba daring. Hampir setiap kebijakan mengundang pro-kontra, pun kebijakan bantuan pembelian pulsa mendatangkan polemik  yang berakar pada dua hal.

Hal pertama soal sumber dana pembiayaan untuk belanja pulsa, yang telah diselesaikan Gubernur melalui MoU dengan PT SMI selaku pengucur dana mewakili pemerintah pusat dan pengesahan dalam paripurna APBD-P 2020 awal bulan Agustus kemarin. Hal kedua adalah persoalan urgensi pengambilan kebijakan "belanja pulsa" bagi pelajar.

Hal kedua-lah yang membuat pelik persoalan, karena kebijakan publik memang harus segera diambil oleh gubernur mengingat pembelajaran daring telah berjalan cukup lama dan masih ada beberapa bulan ke depan. Kebijakan Mas Menteri Pendidikan agar tetap menyelenggarakan pendidikan secara daring, menempatkan kesehatan sebagai visi jangka pendek kegiatan pendidikan. 

Visi ini mengalihkan beban pembelajaran pada suatu modus konsumsi teknologi IoT (internet of things). Akibatnya, dua persoalan susulan kembali menyeruak yakni (i) berubahnya ekosistem pendidikan menjadi ekosistem konsumen kuota dan (ii) perilaku pengguna dari sekedar daring menjadi IoT

Dua persoalan itu tidak hanya dihadapi oleh masyarakat Banten, tetapi menyebar rata di hampir seluruh nusantara.  Pergeseran masyarakat pendidikan menjadi ekosistem konsumen kuota mau tidak mau menimbulkan demand yang tinggi sedangkan kemampuan pendapatan menurun. 

Dari sini inisiatif kebijakan nasional menerapkan jurus subsidi pulsa dimulai dari kalangan universitas merembet ke semua pemerintahan daerah. Toh, bukan cuma mahasiswa dan perguruan tinggi yang menggelar sistem daring, bahkan anak TK pun turut ber-daring. Sektor industri telekomunikasi dan informasi dari hulu sampai hilir justru semakin berkibar di tengah pandemic.

Jurus pembagian pulsa berbasis semacam logika pendek karena belanja warga bergeser menjadi belanja pemerintah. Menggunakan logika panjang  jika penyelesaian migrasi sistem pembelajaran luring ke sistem daring secara cepat disusul dengan penyiapan operational guidance bagi insan pendidik, meluncurkan produk aplikasi anak negeri yang ramah kuota, mapping blank spot dan mengantisipasi daerah sulit sinyal. 

Masyarakat bisa membandingkan perubahan gradual saat migrasi minyak tanah ke gas.  Pemerintah menyiapkan perangkatnya secara massal barulah tradisi penggunaan kompor minyak tanah dapat di atasi oleh tradisi baru: gas melon. Bandingkan migrasi sistem luring ke daring tidak disertai kesiapan perangkat apapun dan dibiarkan seperti itu sampai berbilang bulan.

Kebijakan menutup sekolah lalu menerapkan sistem pembelajaran daring diserahkan seratus persen pada pendidik dan siswa, ini membuat SDM pendidik- dan orangtua wali terseok diantara menyiapkan pertahanan keluarga melawan pandemi sekaligus menyambut pola pembelajaran baru sistem daring. Dari sini akar persoalan perubahan perilaku mulai menggejala. Pendidik menempuh berbagai pola "penugasan" via IoT daripada melakukan transfer of knowledge pada siswa/mahasiswa. 

Pola itu yang secara perlahan memindahkan beban penyelenggaraan pembelajaran yang difasilitasi oleh negara menjadi sepenuhnya bersifat self help. Orang tua membantu anak-anaknya menyelesaikan aneka tugas-tugas sekolah, ini jelas bukan transfer of knowledge suatu proses edukasi sehat. Diasumsikan pula bahwa semua orang tua siswa punya gawai pintar yang fully connected ke internet. Perkenalan siswa baru menggunakan unggahan video, tugas sekolah berbasis audio visual yang diunggah.

Menggunakan logika panjang, dalam kurun waktu tidak lama sesudah migrasi ke serba daring, pemerintah daerah bisa dan mampu menyiapkan perangkat internet yang terintegrasi sampai ke rumah penduduk.  Lembaga semacam karang taruna, taman bacaan, kelompok pemuda bahkan partai politik yang ada di setiap desa di Banten dapat dipercayakan  mengelola jaringan wifi yang daya dukung teknologinya disiapkan penuh oleh pemerintah.

Bagaimanapun juga masa pandemi diprediksi tidak berapa lama, mengingat kisah vaksin sudah semakin ramai. Tetapi beban orang tua masih menjadi kebutuhan yang nyata beberapa bulan ke depan. Beban inilah yang nampak direspon oleh kebijakan. 

Pada satu sisi Gubernur Banten mewakili eksekutif  menerapkan kebijakan pemberian kuota dengan segala resikonya, pada sisi lain, instrument partai (mewakli legislatif) yang memiliki institusi hampir di setiap desa belum diberdayakan membuat terobosan "gotong royong" melawan ekosistem kuota. 

Peran strategis di level wakil rakyat, hak ininsiatif, program aspirasi dapat dijadikan sebagai alat-alat masyarakat madani untuk melawan cengkeraman "konsumen kouta". Jika dana aspirasi merupakan strategi merawat konstituen, toh masih bisa diakselarasikan dalam suatu program yang massive.

Masyarakat Banten masih akan menghadapi dilema kuota beberapa bulan ke depan, maka inisiatif kreatif, inovasi teknologi yang dapat mengubah spot-spot wifi tidak berbayar dapat dikonsumsi oleh anak-anak sekolahan sekampung masih diperlukan. Masyarakat politik di kursi-kusi legislatif perlu kembali turun ke basis untuk menjadi pioneer mendekatkan masyarakat pada internet, mengubah internet dari barang yang dipenuhi oleh komodifikasi dagang menjadi "barang terjangkau" yang merakyat, itulah sesungguhnya peran eksistensial wakil rakyat.

Sementara ini, partai sebagai garda terdepan masyarakat madani masih belum banyak terlihat---mungkin juga ada satu atau dua kegiatan---dalam program nyata, bukan dalam konteks fungsi legislasi atau monitoring atas kebijakan yang diinisiasi oleh eksekutif. Ketika eksekutif sudah menyiapkan peluru kuota, dewan dapat menyiapkan peluru lain yang memperkeil kecil beban orang tua dari kebijakan Mas Menteri Pendidikan yang tidak kunjung well operatived.

 Selain berfokus pada persoalan infrasruktur teknologi dan konsumsi kuota, ada hal lain yang perlu dipikirkan bersama, yakni menghentikan perilaku "serba tugas", "serba video", "serba zoom" dari para pendidik kita, ini menggubah paradigm pendidik. Dedikasi guru di tengah pandemi tidak-lah berubah. 

Yang berubah adalah perilaku hidup sehat sesuai protokol kesehatan, sedangkan dedikasi untuk mencerdaskan anak bangsa tidak ikut "libur". Work form home, study at home dan jargon sejenis menempatkan rumah sebagai ruang kerja baru , maka ruang dan jam kerja itu yang mesti dipertahankan esensinya. Ruang kerja boleh pindah, jam kerja boleh menjadi fleksibel tetapi esensi transfer of knowledge harus tetap berlangsung dengan baik.

Jadi, tingginya kebutuhan terhadap kuota didorong oleh dua sebab: perilaku pendidik dan tidak tersedianya alternatif teknologi yang merakyat. Karena pemerintah merasa mengeluarkan larangan tatap muka di sekolah, maka kebijakan pemberian kuota masih cukup relevan, tetapi jangan berhenti dititik itu, harus disusulkan pula konsep kebijakan dalam logika yang lebih stratejik.

Logika pemberian kuota adalah logika konsumsi yang di saat keadaan ekonomi masyarakat melemah seperti ini cukup beralasan. Dalam pandangan ekonomi politik, apa yang dilakukan Pemprov  Banten dapat dikategorikan sebagai upaya lain mendorong government expenditure model keynessian. 

Pemerintah mengambil langkah berbelanja agar ada  geliat ekonomi. Yah, meskipun nilai Rp 13,8 M tidaklah cukup besar untuk disebut sebagai triger dari government expenditure secara nyata, tetapi ini adalah "langkah kuda" yang cukup berani.  Di atas papan catur melawan efek pandemi di Provinsi Banten ini, tidak cukup satu langkah kuda, diperlukan langkah cantik para bidak catur yang mengambil posisi strategis, meski tidak besar tetapi sinergis. Dewan dan partai politik perlu memainkan peran strategis melalui hak inisiatif, berinovasi menggunakan arena dana-dana aspirasi untuk menopang beban pendidikan masyarakat secara langsung di era pandemi.

Mengatasi simalakama pembelajaran daring akibat pandemi bukanlah pekerjaan rumah eksekutif atau gubernur semata tetapi perlu peran politik yang kuat dari segi dukungan ataupun membiarkan mesin partai bekerja sementara untuk mengamankan kelangsungan esensi pembelajaran di masa pandemi. Pandemi belumlah berlalu, saling kritik dan melontar tudingan atas ide dan gagasan saja tidak cukup, perlu langkah programatic yang sinergis-strategis agar anak-anak Banten tetap bisa belajar secara nyaman ga pake mahal.    

Bef Abda Palla Wijaya

Pegiat di Civics Society for Research and Strategic, Tinggal di Serang Banten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun