Oleh : Bef Abda Palla Wijaya
Pemerintah Provinsi Banten menggelontorkan Rp 13,8M untuk alokasi belanja pulsa bagi para pelajar.  Keputusan ini menggembirakan karena ada perhatian khusus pada beban yang dihadapi para orang tua di saat semua pengajaran serba daring. Hampir setiap kebijakan mengundang pro-kontra, pun kebijakan bantuan pembelian pulsa mendatangkan polemik  yang berakar pada dua hal.
Hal pertama soal sumber dana pembiayaan untuk belanja pulsa, yang telah diselesaikan Gubernur melalui MoU dengan PT SMI selaku pengucur dana mewakili pemerintah pusat dan pengesahan dalam paripurna APBD-P 2020 awal bulan Agustus kemarin. Hal kedua adalah persoalan urgensi pengambilan kebijakan "belanja pulsa" bagi pelajar.
Hal kedua-lah yang membuat pelik persoalan, karena kebijakan publik memang harus segera diambil oleh gubernur mengingat pembelajaran daring telah berjalan cukup lama dan masih ada beberapa bulan ke depan. Kebijakan Mas Menteri Pendidikan agar tetap menyelenggarakan pendidikan secara daring, menempatkan kesehatan sebagai visi jangka pendek kegiatan pendidikan.Â
Visi ini mengalihkan beban pembelajaran pada suatu modus konsumsi teknologi IoT (internet of things). Akibatnya, dua persoalan susulan kembali menyeruak yakni (i) berubahnya ekosistem pendidikan menjadi ekosistem konsumen kuota dan (ii) perilaku pengguna dari sekedar daring menjadi IoT
Dua persoalan itu tidak hanya dihadapi oleh masyarakat Banten, tetapi menyebar rata di hampir seluruh nusantara. Â Pergeseran masyarakat pendidikan menjadi ekosistem konsumen kuota mau tidak mau menimbulkan demand yang tinggi sedangkan kemampuan pendapatan menurun.Â
Dari sini inisiatif kebijakan nasional menerapkan jurus subsidi pulsa dimulai dari kalangan universitas merembet ke semua pemerintahan daerah. Toh, bukan cuma mahasiswa dan perguruan tinggi yang menggelar sistem daring, bahkan anak TK pun turut ber-daring. Sektor industri telekomunikasi dan informasi dari hulu sampai hilir justru semakin berkibar di tengah pandemic.
Jurus pembagian pulsa berbasis semacam logika pendek karena belanja warga bergeser menjadi belanja pemerintah. Menggunakan logika panjang  jika penyelesaian migrasi sistem pembelajaran luring ke sistem daring secara cepat disusul dengan penyiapan operational guidance bagi insan pendidik, meluncurkan produk aplikasi anak negeri yang ramah kuota, mapping blank spot dan mengantisipasi daerah sulit sinyal.Â
Masyarakat bisa membandingkan perubahan gradual saat migrasi minyak tanah ke gas. Â Pemerintah menyiapkan perangkatnya secara massal barulah tradisi penggunaan kompor minyak tanah dapat di atasi oleh tradisi baru: gas melon. Bandingkan migrasi sistem luring ke daring tidak disertai kesiapan perangkat apapun dan dibiarkan seperti itu sampai berbilang bulan.
Kebijakan menutup sekolah lalu menerapkan sistem pembelajaran daring diserahkan seratus persen pada pendidik dan siswa, ini membuat SDM pendidik- dan orangtua wali terseok diantara menyiapkan pertahanan keluarga melawan pandemi sekaligus menyambut pola pembelajaran baru sistem daring. Dari sini akar persoalan perubahan perilaku mulai menggejala. Pendidik menempuh berbagai pola "penugasan" via IoT daripada melakukan transfer of knowledge pada siswa/mahasiswa.Â
Pola itu yang secara perlahan memindahkan beban penyelenggaraan pembelajaran yang difasilitasi oleh negara menjadi sepenuhnya bersifat self help. Orang tua membantu anak-anaknya menyelesaikan aneka tugas-tugas sekolah, ini jelas bukan transfer of knowledge suatu proses edukasi sehat. Diasumsikan pula bahwa semua orang tua siswa punya gawai pintar yang fully connected ke internet. Perkenalan siswa baru menggunakan unggahan video, tugas sekolah berbasis audio visual yang diunggah.