Pada satu sisi, tali benang KASN mesti berpijak pada rumus karir merit system dalam menentukan person in charge. Sistem ini bermaksud melindungi pegawai asset negara (ASN) agar tidak digunakan sebagai mesin-mesin penopang logistik dalam konstelasi politik lokal. Agar ASN juga memiliki kepastian karir dalam perjalanan pengabdiannya melayani masyarakat.
Pada sisi lain kita mesti melihat adanya fenomena birokrasi yang tersandera antara tarik ulur kuasa otonomi ‘mengelola pemerintahan’ daerah—sesuai azas otonomi–yang berarti adanya kebebasan dan kemandirian untuk penempatan person in charge, berhadapan dengan sisa kuasa KASN sebagai remah-remah kuasa pusat atas “aset-aset“ yang dikuasakan kepada daerah-daerah demi otonomi. Ini pilihan yang sulit: birokrasi yang tersandera atau merelakan ASN dijadikan mesin politik, atau ASN sendiri yang bermain intrik kekuasaan.
Belakangan, Provinsi Banten sedang menghadapi dilema semacam itu, dalam kisah opera dua babak open bidding yang meskipun sesi wawancara telah berakhir beberapa hari lalu tak kunjung ada ketegasan dari Gubernur untuk mengetok palu: Kepala Dindik Banten dan Assisten Daerah.
Apakah ini bagian dari politik interdependensi? Politik interdependensi jamak dituding sebagai latar bagi praktik decision making yang tidak transaparan dan akuntabel.
Transparansi pada era 4.0 dibuktikan dengan berbagai informasi seputar lelang jabatan sampai promosi jabatan yang mudah diakses. Sedangkan akuntabilitas menyisakan ruang abu-abu karena tidak jarang persoalan syarat-syarat administratif yang menandakan person akutantable itu dinegosiasikan. Ruang abu-abu ini biasa disiasati dengan membuka rekam jejak.
Rekam jejak yang dibuka dan terbuka luas akan menerangi ruang abu-abu sisi akuntabilitas, tak ada yang dinegosiasikan karena semua syarat dapat dibaca publik. Sehingga publik dapat menerka mengapa kepala daerah mempercayakan suatu jabatan strategis pada person in charge tersebut. Memilih pejabat dengan rekam jejak yang kelam akan menjadi boomerang bagi Gubernur: mempraktikan interdependensi.
Ijtihad Konstitusi
Inilah jalan ideal Gubernur yang memerlukan keberanian, berani tidak populis tapi bertindak strategis. Keberanian kepala daerah dalam menentukan person in charge sebenarnya berakar pada konstitusi. Ya.. konstitusi.
Menengok pada ground norm, dimulai dengan momentum 1998 yang telah menghadirkan titik balik tatanan struktur politik Indonesia, dua diantaranya adalah penguatan politik lokal dan reformasi birokrasi. Penguatan politik lokal dan reformasi birokrasi bertemu dalam satu wadah: otonomi daerah.
Urusan otonomi daerah dijangkarkan akarnya ke konstitusi, Pasal 18 UUD 1945 ayat (2). “Pemerintah provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”.
Sedangkan Reformasi Birokrasi melalui UU ASN itu diundangkan dengan tujuan sebagai shockbreaker bagi penerjemahan “mengurus sendiri urusan pemerintahan” yang terlalu luas.