Mohon tunggu...
Bef Abda Palawijaya
Bef Abda Palawijaya Mohon Tunggu... Wiraswasta - Civics Society for Research and Strategic

Lahir di Serang dan Tinggal di Kota Serang....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Birokrasi antara Gubernur dan KASN

22 Maret 2020   00:10 Diperbarui: 22 Maret 2020   00:29 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banten sebagai salah satu provinsi termuda di dekat Ibukota negara terus berbenah secara fisik, secara kultur dan pembenahan terberat yakni soal menata birokrasi plus SDM. Pembenahan secara fisik dilakukan dengan perencanaan matang melibatkan stakeholder secara natural, membangun kultur Banten dilakukan secara terus menerus dengan literasi sambil terus menaikkan item-item penopang IPM.

Urusan membenahi birokrasi dan SDM menjadi pekerjaan rumah yang berhubungan dengan praktik interdependensi politik lokal. Interdependesi berarti adannya saling ketergantungan antara lembaga politik, elit lokal, birokrasi, masyarakat yang disajikan dalam satu menu: menyelenggarakan pelayanan public yang clean and good.

Tantangan berat itu berada di level manajemen kepala daerah: Gubernur Banten. Sebagai top manager di pemerintahan Banten harus bersiasat memecahkan problematika birokrasi-SDM yang tersimbiosis dengan konstelasi politik lokal.

Soal birokrasi dan SDM berarti soal penempatan person in charge dalam jabatan-jabatan strategis yang akan berimbas pada kinerja gubernur. Tetapi posisi ini pasti dikehendaki sejumlah pihak yang semuanya ikut menari dalam irama lagu: interdependensi. 

Birokrasi dan Dilemma

Dalam frame clean dan good governance, kepala daerah, gubernur, membutuhkan jabatan penting diisi orang-orang yang memadai secara aturan: memenuhi Kualifikasi, Kompetensi, dan Kinerja. Tidak cukup 3K, karena kualifikasi dapat dipencundangi melalui tekanan politik di tingkat panitia seleksi, manipulasi dan pengabaian data mungkin untuk dilakukan.

Maka perlu person yang tidak terfragmen ke dalam kartu-kartu politik interdependensi itu sehingga semua pihak merasa ‘memiliki’. Masyarakat perlu disuguhkan birokrasi yang menjadi milik semua pihak dan berdiri di atas keputusan professional dan kemajuan Banten.

Ada satu lagi yang tidak boleh ditinggal: calon pejabat yang bersih alias bukan target lembaga anti rasuah. Masyarakat tidak boleh lupa bahwa Laode M Syarif  memasukan Banten ke 6 provinsi “juaranya korupsi” (10/4/2019) bersanding Papua, Papua Barat, Aceh, Sumut dan Riau.

Status “juara korupsi” ini menyeret politisi papan atas di Banten hingga birokrat kelas pejabat pembuat komitmen.  Kali ini, pimpinan provinsi Banten tidak boleh terperosok pola yang sama.

Tiga hal di atas menjadi akar argument mengapa Komisi ASN masih memegang seutas benang untuk turut melakukan kontrol distribusi pejabat-pejabat ASN yang sejatinya ”milik negara”. Spirit utamanya, agar politik lokal tidak memainkan birokrasi sebagai komoditas politik dagang sapi. 

Tetapi kehadiran KASN dalam situasi semacam ini juga mengundang dilemma tersendiri. Dan sangat mungkin ASN yang sengaja membonceng kendaraan elit politik agar  by pass menduduki jabatan strategis, agar kelemahan kualifikasi dan kompetensinya tertutupi.

Pada satu sisi, tali benang KASN mesti berpijak pada rumus karir merit system dalam menentukan person in charge. Sistem ini bermaksud melindungi pegawai asset negara (ASN) agar tidak digunakan sebagai mesin-mesin penopang logistik dalam konstelasi politik lokal. Agar ASN juga memiliki kepastian karir dalam perjalanan pengabdiannya melayani masyarakat.

Pada sisi lain kita mesti melihat adanya fenomena birokrasi yang tersandera antara tarik ulur kuasa otonomi ‘mengelola pemerintahan’ daerah—sesuai azas otonomi–yang berarti adanya kebebasan dan kemandirian untuk penempatan person in charge, berhadapan dengan sisa kuasa KASN sebagai remah-remah kuasa pusat atas “aset-aset“ yang dikuasakan kepada daerah-daerah demi otonomi. Ini pilihan yang sulit: birokrasi yang tersandera atau merelakan ASN dijadikan mesin politik, atau ASN sendiri yang bermain intrik kekuasaan.

Belakangan, Provinsi Banten sedang menghadapi dilema semacam itu, dalam kisah opera dua babak open bidding yang meskipun sesi wawancara telah berakhir beberapa hari lalu tak kunjung ada ketegasan dari Gubernur untuk mengetok palu: Kepala Dindik Banten dan Assisten Daerah.

Apakah ini bagian dari politik interdependensi? Politik interdependensi jamak dituding sebagai latar bagi praktik decision making yang tidak transaparan dan akuntabel.

Transparansi pada era 4.0 dibuktikan dengan berbagai informasi seputar lelang jabatan sampai promosi jabatan yang mudah diakses. Sedangkan akuntabilitas menyisakan ruang abu-abu karena tidak jarang persoalan syarat-syarat administratif yang menandakan person akutantable itu dinegosiasikan. Ruang abu-abu ini biasa disiasati dengan membuka rekam jejak.

Rekam jejak yang dibuka dan terbuka luas akan menerangi ruang abu-abu sisi akuntabilitas, tak ada yang dinegosiasikan karena semua syarat dapat dibaca publik. Sehingga publik dapat menerka mengapa kepala daerah mempercayakan suatu jabatan strategis pada person in charge tersebut. Memilih pejabat dengan rekam jejak yang kelam akan menjadi boomerang bagi Gubernur: mempraktikan interdependensi.

Ijtihad Konstitusi

Inilah jalan ideal Gubernur yang memerlukan keberanian, berani tidak populis tapi bertindak strategis. Keberanian kepala daerah dalam menentukan person in charge sebenarnya berakar pada konstitusi. Ya.. konstitusi.

Menengok pada ground norm, dimulai dengan momentum 1998 yang telah menghadirkan titik balik tatanan struktur politik Indonesia, dua diantaranya adalah penguatan politik lokal dan reformasi birokrasi. Penguatan politik lokal dan reformasi birokrasi bertemu dalam satu wadah: otonomi daerah.

Urusan otonomi daerah dijangkarkan akarnya ke konstitusi, Pasal 18 UUD 1945 ayat (2).  “Pemerintah provinsi, kota/kabupaten, mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”.

Sedangkan Reformasi Birokrasi melalui UU ASN itu diundangkan dengan tujuan sebagai shockbreaker bagi penerjemahan “mengurus sendiri urusan pemerintahan” yang terlalu luas.

Agar otonomi tidak melahirkan “presiden kecil” dimana birokrasi dianggap sebagai bidak menteri yang penempatannya berdasarkan selera politik. Dengan demikian dalam logika ijtihad hukum ini, kepala daerah lebih shohih berpijak pada aturan yang bersandar langsung ke konstitusi.

Bersandar ke konstitusi, kepala daerah memiliki ruang kebijakan untuk menerjemahkan “mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan”dengan cara menempatkan aset ASN yang memadai. Kata memadai perlu digaris bawahi karena berhubungan dengan standar penilaian pegawai yang tidak menabrak aturan dasar reformasi birokrasi.

Sebab, kata ‘memadai’ kurang mendapatkan perhatian di sejumlah daerah tingkat kabupaten/kota di provinsi Banten, lantaran posisi sejumlah jabatan dijadikan sebagai “hadiah” bagi prosesi hajat pilkada kemarin.

Muncul fenomena guru loncat pagar menjadi lurah, lucu tapi nyata, gagap tapi merasa tegap berkuasa. Sebaliknya, muncul enginer, politisi dan administratur yang justru merasa tegap mengarsiteksi pendidikan.

Penutup 

Praktek interdepensi berarti menempatkan pihak yang support dan mendukung hajat politik yang kemudian menang akan bermain “the winner takes all”. Kemudian para pegawai yang abstain tetap berada dalam zona aman, tak memetik untung tidak pula mendulang panen. Dan terlebih bagi birokrasi yang tidak menunjukkan support, dipastikan akan masuk kotak peti dan kepadanya dilebeli: oposan.

Praktik interdependensi membuka ruang legitimasi bagi KASN, bahwa benar diperlukan komisi yang memantau kepala daerah mendisposisi ASN pada pos-pos yang dikehendaki sesuai dengan agenda politik mereka.

Tetapi KASN juga tiada elok menyandera kebijakan kepala daerah “mengatur, dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam menempatkan birokrasi yang dinilai secara subjektif dapat bersinergi, menerjemahkan program-program visi misi kepala daerah ke dalam tindakan operasional yang terukur dan inovatif.

Kita perlu memberi ruang kepercayaan bahwa masih ada akal sehat kepala daerah, gubernur, untuk menempatkan person in charge berdasarkan kesamaan visi kerja: clean and good governance agar Banten semakin lebih baik.

Bef Abda Palawijaya

Inisiator Civics Society for Research and Strategic, Tinggal di Kota Serang  
#gubernur #Banten #openbidding #Dindik #KASN #birokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun