Mohon tunggu...
Citra Yuda Nur Fatihah
Citra Yuda Nur Fatihah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2010, Program Kekhususan Hukum Internasional, Mahasiswa Berprestasi. Kini tengah melanjutkan pendidikan Master Hukum (LL.M.) di Pennsylvania State University, AS. Benci sekali dengan korupsi dan birokrasi/pelayanan yang lamban. Setuju dengan Revolusi Mental dan mendukung Indonesia Bersih Bebas Korupsi!

Selanjutnya

Tutup

Nature

Konvensi Perubahan Iklim COP-19 (Warsawa, 11-20 November 2013), Menemui Jalan Buntu?

16 November 2013   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:05 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sidang Conference of the Parties (COP) ke-18 di Doha pada tahun 2012 lalu menghasilkan Doha Climate Gateway yang dirumuskan ke dalam beberapa keputusan penting, yaitu: (1) Amandemen Protokol Kyoto termasuk implikasi dari implementasi berbagai metodologi dalam Komitmen Periode Kedua (CP2); (2) Timeframe untuk perjanjian perubahan iklim global tahun 2015 dan mengakomodir upaya-upaya lain untuk mengurangi emisi sebelum 2020, serta kelanjutan program kerja untuk menyusun kesepakatan rezim pasca 2020; (3) Penyelesaian infrastruktur baru yang mendukung alih teknologi dan dukungan pendanaan bagi negara berkembang; (4) Sistematika pendanaan jangka panjang untuk mendukung upaya mengurangi efek perubahan iklim; dan (5) Penyelesaian mandat Bali Action Plan, dengan beberapa keputusan yang terkait dengan implementasinya termasuk mengenai pendanaan, teknologi dan adaptasi.

Butir pertama dari Doha Cilamte Gateway mengenai Amandemen Protokol Kyoto (Doha Amendment to the Kyoto Protocol) inilah yang terpenting karena mengangkat isu utama mengenai implementasi dalam Komitmen Periode Kedua Protokol Kyoto selama 8 tahun, yaitu dari 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2020. Hal ini karena Komitmen Periode Pertama dari Protokol Kyoto (CP1), yang mengatur target penurunan emisi gas rumah kaca di negara-negara maju, hanya berlaku hingga 31 Desember 2012. Untuk itu, sejak tahun 2005 diselenggarakan berbagai diskusi dan negosiasi mengenai rejim perubahan iklim pasca tahun 2012.

Namun demikian, pada faktanya, hasil-hasil keputusan dalam COP 18 yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang normatif, resmi, dan memberikan kesan bahwa para pihak telah bersapakat dalam suatu komitmen yang kuat tersebut belum juga dapat sepenuhnya diterapkan oleh para pihak. Perundingan berkepanjangan hampir tujuh tahun tentang komitmen periode kedua pengurangan emisi gas rumah kaca di bawah Protokol Kyoto justru kian terperosok dalam perbedaan dan ketidaksepakatan antara negara berkembang dan negara maju. Negara-negara berkembang menginginkan perundingan Doha menghasilkan ambisi peningkatan pengurangan emisi untuk komitmen periode kedua, sementara negara-negara maju sebaliknya tetap bersikukuh menjaga target lemah mereka saat ini, dengan ketidakpastian atas tinjauan target masa depan tersebut.

Selain itu, negara-negara berkembang juga bersikeras bahwa CP2 yang akan ditetapkan dengan amandemen haruslah mengikat secara hukum Annex B dari Protokol, yang berisi pembatasan jumlah emisi atau tujuan pengurangan Quantified Emission Limitation or Reduction Objectives (QELROs) dari masing-masing pihak negara maju. Dengan demikian, disepakatinya komitmen periode kedua Protokol Kyoto 2013 – 2020 di satu sisi menghapus kegalauan banyak pihak terhadap semangat prinsip common but differentiated responsibilities (CBDR). Namun, di sisi yang lain, perlu kita catat adalah bahwa komitmen periode kedua ini tidak cukup kuat menghadapi tantangan perubahan iklim, baik untuk negara maju, apalagi negara berkembang. Salah satunya karena belum disertai QELROs itu sendiri. Hasil dari COP 17 yang diselenggarakan di Durban pada tahun 2011, yang juga disebut Durban Platform yang mengoperasionalisasikan Cancun Agreement, termasuk di dalamnya pembentukan Komite Adaptasi, Mekanisme Teknologi, dan Green Climate Fund, pun hanya mempersiapkan perjanjian global perubahan iklim mengikat berikutnya untuk disetujui tahun 2015 dan dilaksanakan mulai tahun 2020.

Dengan kata lain, terdapat empat permasalahan mendasar dalam mempersiapkan dan memberlakukan CP2 dalam durasi delapan tahun ke depan. Pertama, terkait target ambisi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara-negara berkembang menginginkan perundingan Doha menghasilkan target ambisi yang jelas mengenai peningkatan pengurangan emisi untuk CP2 bagi negara-negara Annex 1. Sementara itu, tidak adanya kemauan yang kuat dari negara-negara Annex 1 untuk meningkatkan tingkat ambisi mereka terkait dengan janji pengurangan emisi yang rendah. Kedua, terkait kekuatan hukum yang mengikat (legally binding). Seperti juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara-negara berkembang bersikeras untuk menetapkan CP2 dengan amandemen agar mengikat secara hukum Annex B dari Protokol, yang berisi pembatasan jumlah emisi atau tujuan pengurangan QELROs yang tidak didiukung negara Annex 1.

Ketiga, terkait penetapan QELROs. Belum disepkatinya secara jelas mengenai ketentuan QELROs dalam CP2 ini juga semakin menipiskan harapan negara-negara berkembang akan komitmen negara-negara Annex 1. Pembatasan jumlah emisi atau tujuan pengurangan QELROs dari masing-masing pihak negara maju belum mengikat secara hukum bagi negara Annex 1. Dan, yang keempat adalah terkait dengan format atau kerangka instrumen hukum CP2. Bagaimana format/kerangka multilateral perubahan iklim pasca berakhirnya komitmen periode kedua Protokol Kyoto yang diadopsi paling lambat pada tahun 2015? Apakah itu dengan membentuk sebuah protokol baru ataupun melalui format atau suatu instrumen hukum lain, yang penting protokol atau instrumen hukum tersebut haruslah memiliki legal certainty dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak.

Bagaimana dengan posisi negara-negara Annex 1 dan kelompok-kelompok negara lainnya? Percaya atau tidak, ada dua isu yang paling menarik perhatian dan paling potensial menimbulkan konflik di antara negara-negara yang membahasnya, yaitu energi dan perubahan iklim. Perubahan iklim sendiri pun sebenarnya merupakan isu turunan dari isu energi itu sendiri. Kalau sudah membahas masalah energi, negara-negara pasti akan selalu mengedepankan kepentingan nasional masing-masing tanpa memikirkan dampak dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap negara lain.

Untuk kelompok Uni Eropa/European Union (EU), sebanyak 37 negara UE memang telah menyepakati pelaksanaan CP2 tersebut selama 8 tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Namun, UE yang sebelum KTT Copenhagen menggebu-gebu berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kacanya hingga 30% pada tahun 2020, harus memendam ambisi mereka mengingat para pemimpinnya sangat disibukkan dengan upaya menyelamatkan ekonomi Eropa yang sedang dilanda krisis finansial. Untuk kelompok G-77 dan Cina, Aljazair atas nama Kelompok 77 dan Cina menekankan pentingnya pilihan hukum untuk menghindari kesenjangan antara komitmen periode pertama dan kedua. CP2 di bawah Protokol Kyoto adalah penting dan harus dapat menetapkan target yang ambisius sejak 1 Januari 2013 tanggal dimulainya, tidak dapat ditunda. CP2 harus memberikan hasil yang kuat dan mengikat secara hukum dan menjamin tidak ada kesenjangan.

Untuk kelompok negara-negara Afrika, Swaziland atas nama Kelompok Afrika mengatakan sangat prihatin atas lambatnya kemajuan dalam diskusi CP2. Kelompok Afrika menekankan kunci yang telah ditunjukkan berulang kali, yaitu meningkatkan tingkat ambisi Pihak Annex 1. Kelompok Afrika menyesalkan kurangnya kepemimpinan dari Annex 1 dalam menanggulangi masalah perubahan iklim dan rendahnya janji saat ini. Sementara itu, Arab Saudi berbicara untuk Arab Group (Kelompok Arab) dari 22 negara menekankan bahwa mencapai kesepakatan komitmen periode kedua dan periode komitmen berikutnya adalah kewajiban hukum dari Para Pihak, tetapi harus ada komitmen yang jelas dan ambisi Pihak Annex I untuk mengurangi emisi mereka. Arab Group juga menyatakan keprihatinan mendalam atas upaya meninggalkan prinsip-prinsip utama yang mengatur kerjasama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, atau re-negosiasi, atau mengakhiri Protokol Kyoto dan memodifikasi ketentuan-ketentuan untuk menghindari tanggung jawab hukum dari negara-negara Annex 1 tersebut.

China berbicara atas nama Brazil, India, Afrika Selatan dan Cina (BASIC) mengatakan Protokol Kyoto akan tetap menjadi landasan rezim iklim internasional, dan bahwa komitmen periode kedua adalah kunci untuk Doha, yang selanjutnya merupakan dasar penting bagi ambisi dalam rezim. China menggarisbawahi pentingnya sebuah komitmen periode kedua yang efektif dan mengikat melalui kesepakatan amandemen sepenuhnya yang seharusnya mulai berlaku sejak 1 Januari 2013. Norwegia, Australia, dan New Zealand bersedia melanjutkan periode kedua komitmen Protokol Kyoto dengan syarat bahwa traktat baru tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat, selain itu mengikutsertakan negara-negara penghasil emisi terbesar (major emitter), termasuk diantaranya Amerika Serikat dan negara-negara berkembang yang lebih maju (advance developing countries), diantaranya: Cina, India, Brasil dan Afrika Selatan.

Dengan demikian, terlihat bahwa masing-masing negara memperjuangkan kepentingan nasionalnya tanpa memperhatikan kepentingan negara-negara lain. Hal yang sangat lumrah dalam suatu forum atau diskusi internasional. Sangat lumrah, bahkan. Tentulah, tidak ada negara yang mau merugi, terutama dari segi ekonomi, demi kepentingan negara lain, atau katakanlah demi kepentingan bersama. Sangat sulit menyatukan pemahaman, pendapat, dan persepsi negara-negara peserta COP ini, terlebih lagi negara-negara Annex 1 dengan keadaan perekonomian dunia sekarang yang serba sulit.

Di satu sisi, mereka dituntut untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas dunia industri dan perdagangan, yang notabene akan sangat memerlukan “energi” termasuk minyak bumi dan batubara yang pastinya tidak ramah lingkungan. Namun, di sisi yang lain, mereka juga harus tetap berpegang teguh pada komitmen mereka untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C sesuai dengan kesepakatan internasional. Ya, pilihan yang berat. Kita tunggu saja bagaimana pada akhirnya hasil perundingan iklim yang saat ini tengah diselenggarakan di Warsawa. Apakah mereka (negara-negara Annex I) tetap bersikukuh memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing, atau mulai sedikit berpaling melihat keadaan iklim bumi yang kian hari kian tidak menentu dan tidak dapat diprediksi seperti sekarang.

Jakarta, 16 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun