Kebijakan sektoral yang parsial sebenarnya dapat diintegrasikan dengan kebijakan nasional tentang perlindungan iklim (climate policy) sebagai perekatnya. Oleh karena itu, pemerintah nasional yang berada di tingkat pusat harus berupaya membahas isu ini secara lintas sektoral dan terus-menerus. Keterlibatan stakeholder yang lain harus didorong sehingga banyak pihak dapat mengambil manfaat dari perjanjian tersebut. Selain itu, untuk mengimplementasikan pikiran global tersebut ke dalam tindakan lokal disadari masih akan banyak hambatan atau kendala yang harus dihadapi. Dari sekian banyak kendala itu, secara umum dapat dikategorikan ke dalam 3 aspek, antara lain:
- Aspek Hukum. Dalam implementasi multilateral treaty seperti UNFCCC dan Protokol Kyoto ini secara lintas sektoral akan dihadapi kemungkinan tidak harmonisnya antara kebijakan satu sektor dengan kebijakan lainnya. Harmonisasi dan penyelarasan hukum nasional yang ada bukanlah merupakan suatu langkah yang mudah dan murah.
- Aspek Kelembagaan. Isu mengenai perubahan iklim masih belum banyak dipahami masyarakat luas sehingga untuk mengantisipasinya dari segi kelembagaan masih banyak menimbulkan kebingungan. Lembaga (bukan hanya organisasi) dan perangkat yang akan digunakan untuk menangani masalah-masalah lintas sektoral ini harus dikenal dan di dukung tidak hanya dalam pemerintah pusat secara umum, tetapi juga bahkan sangat memerlukan dukungan dari dalam kabinet (eksekutif). Suara yang utuh dari kalangan eksekutif tentu saja akan mengurangi keraguan kalangan legislatif untuk mendukungnya.
- Aspek Sumber Daya Manusia (SDM). Kelemahan pada aspek ini hampir merata di semua jenjang dan lini, baik pusat maupun daerah, swasta maupun publik, pemerintah maupun non-pemerintah. Belajar sambil bertindak (learning by doing) adalah resep yang paling cocok dan ampuh untuk mengatasi hal ini. Sebab, tidak mungkin kita menunggu sampai semua orang menjadi “pintar” terlebih dahulu baru kita implementasikan. Tetapi, juga tidak mungkin kita melakukan sesuatu dengan kepala kosong dan mata gelap. Dengan tindakan praktis yang nyata kita akan belajar dari kesalahan dan memiliki alasan untuk memperbaikinya.
Dengan demikian, posisi Indonesia terkait pasca komitmen periode kedua Protokol Kyoto ini adalah untuk terus aktif dalam setiap negosiasi, perundingan, dan pertemuan-pertemuan terkait isu lingkungan hidup, dimana Indonesia harus selalu menekankan kebijakan-kebijakan strategis, inovatif, dan kreatif yang difokuskan pada penurunan emisi, terutama dalam mendorong negara-negara Annex I agar mau terlibat membentuk instrumen hukum atau protokol baru pasca komitmen periode kedua Protokol Kyoto ini yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat atau dengan kata lain adanya kepastian hukum (legal certainty). Di sisi yang lain, Indonesia juga harus dapat memanfaatkan peluang yang ada, terutama dalam pengembangan kegiatan untuk pasar karbon, pengembangan aksi mitigasi NAMAs, peluang dukungan pendanaan bagi mitigasi dan adaptasi, dan peluang dalam pengembangan dan alih teknologi dengan disepakatinya CTC (Climate Technology Center) serta network-nya.
Jakarta, 16 November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H