Mohon tunggu...
Citra Abimanyu
Citra Abimanyu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Belajar berwiraswasta untuk hidup lebih bahagia dan sejahtera. Belajar menulis untuk ketenangan dan kesehatan jiwa raga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Citra dan Kartika

11 Agustus 2012   01:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:57 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panas terik siang itu tak menyurutkanku pulang dari rumah mertua. Dengan bersepeda motor, aku, istri dan anak perempuanku yang masih berumur 6 bulan. Didekapan ibunya, dengan dibalut kain panjang dan selimut, anakku tertidur lelap sejak meninggalkan rumah neneknya. Tepat jam 12.00, kami melintas di jalan protokol yang ramai. Di sebuah lampu merah, kami berhenti di pinggir jalan, di bawah pohon rindang, agar terhalang sinar mentari yang bersinar cerah. Saat itu, di tempat kami berteduh, seorang ibu sedang mengganti popok anaknya yang ditidurkan di atas trotoar beralaskan koran. Umur anak tersebut kira2 sama dengan umur anakku dan sama2 perempuan. Dengan terampilnya si ibu mengganti popok, tanpa memperdulikan kebersihan anaknya. Aku yakin anak tsb. pipis dan tidak dibasuh air sewaktu mengganti popok. Asap kendaraan dan debu tak menyurutkan si ibu menidurkannya di trotoar.

Lampu hijau pun nampak menyala, kami melanjutkan perjalanan. Belum seratus meter berjalan, pundakku ditepuk istriku.
"Pap memperhatikan anak kecil di bawah pohon tadi?" tanya istriku
"Iya, kenapa?"
"Anak tadi kelihatan sehat dan gemuk. Sepertinya anak kita kalah gemuk"
"Iya, tapi kulitnya bersih anak kita" balasku untuk memberi semangat
"Iya sih"

Kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di rumah dengan selamat.

6 tahun kemudian....

Hari telah senja, aku melintasi jalan kampung yang "berjuta" polisi tidur berserakan. Tanpa kutekan rem, kuterjang saja gundukan2 yang menyebalkan itu. Sampai di jalan protokol, kuhentikan kendaraanku karena lampu lalu lintas merah merona. Aku berhenti ke bahu jalan sekalian memperbaiki plat nomor yang mau lepas. Tak jauh dari tempatku berhenti, ada seorang ibu sedang makan berdua dengan seorang anak perempuan sebaya anakku. Sebungkus nasi dimakan berdua dan digelar tanpa alas di trotoar. Mereka makan dengan lahapnya. Sekilas wajah si ibu pernah kujumpai. Tapi dimana?? Ya..enam tahun yang lalu di lampu merah yang lain, ketika sedang mengganti popok anaknya.

Kartika..
Itulah nama anak perempuan yang sedang makan tersebut. Nama ini kuketahui dari panggilan seorang lelaki tua di seberang jalan yang berteriak dalam bahawa Jawa, "Kartika, mrenea!" (Kartika, kesini) dan anak yang sedang makan tadi menjawab,"Sik pak, kari ngombe!" (sebentar pak, tinggal minum).
"Wis nduk, ndang nemoni bapakmu"(Sudah nak, cepat temui bapakmu)
"Yo mak!" (Ya bu)

Kartika..
Aku yakin dia seumur anakku. Tingginya lebih kurang sama dengan tinggi anakku. Dengan rambut lurus sepundak, berwarna hitam kemerahan tak terawat. Badannya gemuk dengan pipi montok berisi. Kulitnya, bisa ditebak, kehitaman dan kusam terbakar sinar matahari. Sinar matanya tajam. Aku yakin dia cerdas. Dari sisi fisiknya, dia terlihat sehat dan kuat. Sayang, orang tuanya mengajak dia mengemis di lampu merah.

Citra..
Ini dia anakku yang cantik. Karena aku dulu menanam bibit yang terbaik di rahim istriku. Tapi jangan bilang istriku ya..entar diprotes. Karena dia punya alasan bahwa bibit yang baik kalau tidak ditanam di sawah yang subur, ya nggak jadi tumbuh baik dan sehat. Dia berumur 6 tahun kurang 12 hari saat tulisan ini kubuat. Sudah TK besar, tapi dikira orang sudah kelas 2 SD. Tinggi badannya 120cm (diukur 8 bulan yang lalu) dengan berat 20kg. Rambut lebat lurus, hitam kelam sebatas pinggang dan selalu minta dikuncir setelah keramas. Menambah cantik wajahnya yang halus, bersih kuning langsat, walaupun hidungnya minimalis. Tak apa, di jaman sekarang, semuanya serba minimalis. Katanya untuk hemat biaya. Dibalik wajah nan cantik tersebut, dia sudah beberapa kali opname di rumah sakit. Dan yang terparah ketika berumur 3 tahun, operasi usus buntu.

Aku tak habis pikir, anakku yang kujaga demikian ketatnya, terutama hal makanan dan kebersihannya, malah sering sakit. Kubayangkan kehidupan Kartika, sakit berat apakah yang pernah dideritanya? Pernahkah dia opname di rumah sakit? Pernah aku dan istriku melonggarkan kebijakan dalam hal makanan. Apa yang terjadi? Ya, opname lagi....dan yang membuat kami terkejut adalah pernyataan dokter anak yang merawat anakku,"Citra sudah terbiasa dengan makanan yang bersih, sehingga daya tahan tubuhnya tidak mentolerir sedikit saja makanan kotor"

Pernyataan dokter tsb kemungkinan ada benarnya juga, mengingat kehidupan Kartika yang demikian, dia terlihat sehat dan kuat. Dari sini aku harus belajar melihat sisi baik dari kehidupan Kartika dalam "kebersihan". Alangkah indahnya jika Kartika bisa bersekolah dan bermain seperti Citra. Dan alangkah bahagianya jika Citra mempunyai tubuh yang kuat dan sehat seperti Kartika.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun