Mohon tunggu...
Citra Racindy
Citra Racindy Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pendidik, Aktivis

Indahla dengan iman, pengetahuan dan moral.

Selanjutnya

Tutup

Book

Kita Tidak Sedang Jalan di Tempat

27 Oktober 2023   09:31 Diperbarui: 27 Oktober 2023   10:17 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Dalam sub judul ini, aku mau mengajak para pembaca untuk flashback ke masa kecil. Ingat ga rasanya semasa kecil dulu, saat kita baru bisa merangkak, mecoba melangkah satu langkah.. dua langkah.. hingga pada akhirnya kita sampai di tahap bisa berjalan. Ingat ga disaat orang-orang disekitar kita, melatih kita untuk mengatakan "Mama", Papa" atau sekadar bilang "satu...dua...tiga..." hingga sampai kita bisa berbicara  atau mengucapkan kata-kata yang tidak begitu fasih sampai bisa menjadi public speaking terbaik. Dalam proses tersebut, orang-orang di sekitar kita memberikan dukungan yang sangat hangat bahkan memberikan hadiah kecil di saat kita berhasil. Semua orang secara tidak langsung bersorak sorai untuk merayakan keberhasilan kecil kita.

Waktu terus merenggut masa kecil kita, lalu kemudian kita beralih ke remaja. Namun tanpa kita sadari kita di paksa untuk menjadi juara kelas disekolahan, mendapat nilai yang maksimal di semua mata pelajaran, semua hal yang membuat diri kita menjadi ambisius. Orang-orang mendukung namun sekaligus memaksa kita untuk terus bekerja keras demi harapan-harapan mereka yang sudah di bangun untuk perkembangan dan pertumbuhan kita. Tak berhenti di masa remaja, bahkan sampai kita duduk di dunia perkuliahan dimana masa peralihan remaja menjadi dewasa, tubuh kita juga dipaksa untuk dapat menghasilkan yang terbaik dalam setiap hasilnya tanpa melihat kerasnya proses yang kita lakukan. Sedihnya, terkadang semua itu bukan karena kemauan kita sendiri, melainkan adalah harapan-harapan orang di sekitar kita terhadap jiwa dan raga yang ada atas diri kita.

Namun saat kita beranjak dewasa rasanya pencapaian kecil hanyalah sebuah kewajiban bagi mereka. Diri milik kita namun orang lain yang menentukan arah dan langkah kita. Walau sebenarnya itu juga bukanlah sebuah hal yang buruk, namun sadarkah kita selama umur kita, ketika belum sadar tentang diri kita, kita akan terus hidup atas kemauan orang lain. Terkadang dalam pencapaian tersebut, kita sering menyiksa diri, lupa makan, lupa tidur, lupa untuk sekadar memberikan apresiasi kepada diri yang sudah melakukan banyak hal, sampai kita lupa untuk sekadar mengetahui apa yang sebenarnya diri sendiri inginkan.

Rasanya seperti setiap hari adalah sebuah hari yang melelahkan, karena setiap hari merasa apa yang sudah kita lakukan kurang di mata orang lain. Lalu kemudian kita memutuskan untuk beranjak meninggalkan orang-orang tersebut. Namun apa yang terjadi? Memang, secara fisik kita sudah terasa jauh namun secara digital kita ternyata masih begitu dekat. Dan kita mulai terbiasa dengan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah kita lakukan. Ya, karena kita sudah terbiasa mendapat validasi dari orang-orang pada setiap pencapaian kita. Semua itu terbangun dari masa kecil kita. Semenjak itu kita mulai membandingkan diri dengan orang lain yang seusia dengan kita atau bahkan dengan orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan usia kita.

Mungkinkah media social yang menjadi penyebabnya? Dulu kita hanya perlu hasil yang berhasil untuk memamerkannya kepada orang-orang terdekat kita demi sebuah pengakuan dan hadiah kecil yang memuaskan. Sekarang kita menyiksa diri kita kembali dengan membandingkan diri ini dengan teman-teman sekitar kita. Mereka yang secara fisik memiliki jarak yang begitu jauh dengan kita, namun secara maya seperti begitu dekat dengan kita.  Kita membandingkan diri dengan orang lain yang bahkan memiliki titik nol yang berbeda dengan kita. Kita memaksakan diri untuk juga berhasil di waktu bersamaan dengan mereka. Garis start yang berbeda, namun harus berada di garis finish dalam waktu yang sama itu adalah sebuah ketidakadilan yang nyata yang sering kita berikan kepada diri kita. Tidak melulu sebenarnya membandingkan diri kita dengan orang lain untuk sebuah motivasi yang mampu membuat kita jadi lebih semangat dan selalu ingin mencoba hal baru. Sehingga hal tersebut menjadi motivasi dan makanan rasa lapar keinginan kita. 

Tapi apakah itu cukup bijak untuk kita lakukan secara terus menerus? Tanpa memikirkan, melihat dan menganalisis situasi dan kondisi yang ada pada diri kita? Coba tanyakan pada diri apakah mau hidup seperti ini terus? merasa tidak pernah cukup dan bersyukur? Sudah banyak pencapaian kita yang perlu kita syukurin dan kita apresiasi. Semua itu perlu kita syukurin dan ucapkan terimakasih kepada diri dan Tuhan Yang Maha Esa atas semuanya. Berhenti menyiksa diri dengan hal-hal yang diluar kapasitas kita. Mencoba kembali lagi untuk mengenali diri sendiri, sebenarnya apa tujuan dari diri kita ini diciptakan di alam semesta. Karena sejatinya dunia tidak sekejam itu untuk kita terus-terusan melakukan hal yang tidak akan pernah habisnya, sampai kita lupa menikmati indahnya gunung, tenangnya pantai, hangatnya pelukan keluarga dan nikmatnya menangis karena rasa syukur yang sudah di berikan sang pemilik kehidupan kepada kita.

Tenang, Kita tidak sedang berjalan ditempat, karena setiap hari kita berproses dan bertumbuh sesuai kapasitas kita. Kita sudah berusaha yang terbaik untuk menjadikan diri lebih baik. Dan pastikan kembali, bahwa kita akan melakukannya karena kita sadar apa yang kita mau, kita sadar apa yang kita bisa, dan kita menyadari bahwa semua itu adalah yang terbaik untuk kita.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun