Mohon tunggu...
Citra Nurminingsih
Citra Nurminingsih Mohon Tunggu... Freelancer - Salam kenal

I like to share my experiance to you. Visit my website : www.citranurmi.com n i usually share my experiences after travelling. Enjoy.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rajutan Restu Ibu pada Sehelai Kebaya Pernikahan

3 Januari 2018   14:50 Diperbarui: 3 Januari 2018   15:01 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibumu

Ibumu

Ibumu

Begitulah jawaban Nabi Muhammad SAW ketika ditanya sahabat tentang siapakah yang wajib dimuliakan antara ibu dan ayah.

Ayah menempati posisi keempat dari jawaban Sang Rasul.

Rasa terima kasih tentu saja tak pernah cukup untuk menyatakan betapa besar jasa ibu pada setiap anak. Tak ada harta yang sanggup membayar segala tindakan, jerih payah, letih, kasih sayang, dan pengorbanan anak kepada ibunya.

Begitu pula dengan saya, yang tidak akan pernah sanggup mengganti segala hal yang diberikan ibu pada saya. Apalagi soal restu.

Apa yang bisa saya lakukan tanpa ibu ?

Sebuah lukisan dan ornamen di badan truk bagian belakang bertuliskan Doa Ibu, bukanlah hanya hiasan semata. Doa ibu menyertai perjalanan sang supir truk agar ia diberi keselamatan dan dijaga dari segala mara bahaya.

Begitu pula doa ibu saya yang selalu dipanjatkan untuk mengiri setiap langkah dan jalan hidup saya. Doa-doanya lirih diucapkan dalam hati, tak hanya saat sembahyang wajib dan sunnah. Tetapi merapal harapan agar Tuhan melindungi saya setiap saat, di mana pun, dan kapan pun.

Mungkin ibu bukanlah perempuan yang fasih mengutarakan kasih dan restunya secara verbal. Atau setia mengelus kepala saya sebelum tidur dan mendongengkan cerita-cerita agar saya pulas terlelap. Ibu tidak pernah melakukan hal itu di depan mata sang anak ketika matanya terbuka. Perhatian ibu saya sering kali tak terlihat, tapi sangat terasa. 

Cinta kasih ibu tak pernah putus, bagai jalan yang tak ada ujungnya. Hadiah dari Ibu yang tak pernah saya lupa hingga dewasa, ialah rasa nyaman saat tidur. Setiap hari ketika saya terlelap tanpa sadar di depan televisi, tiba-tiba sesuatu yang dingin menjalar di telapak hingga mata kaki. 

Seringkali saya tak terbangun, tapi ada saat-saat saya terjaga sebentar dan melihat ibu membersihkan kaki mungil saya dari debu. Itu terjadi hampir setiap hari hingga adik saya lahir.

Tahun berganti tahun, saat keriput dan usianya bertambah. Kasih dan cintanya turut berkembang menemani pertumbuhan saya melewati masa sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 

Tak ada satu pun yang berhasil saya capai tanpa restu dan doanya. Ibu saya tak punya banyak waktu luang untuk mengantarkan saya ke sana ke mari. Mendampingi saya pergi ke sekolah ketika kecil, menyaksikan saya pentas menari dalam suatu acara sekolah, atau menamani saya belajar setiap malam serta mengerjakan PR.

Ibu saya sibuk mencari nafkah membantu bapak, agar saya bisa sekolah dengan layak, tetap makan enak, dan bisa mengikuti berbagai macam les seperti teman-teman saya. 

Hadiah dari Ibu bukan waktu luang seperti yang diberikan ibu-ibu teman-teman saya kepada mereka. Hadiah dari Ibu yang tak terhingga yaitu pengorbanan agar saya tetap mendapatkan pendidikan layak.

Ibu saya sering berujar, "Ibu bukan orang kaya, begitu pula dengan ayahmu. Kami tak ingin anak-anak kami hidup terbatas, maka kami bekerja keras agar kamu hidup layak dan mendapat pendidikan seperti orang kebanyakan."

***

Doa ibu terbayarkan ketika anaknya mencapai keinginan. Kebahagiaan ibu pun berjalan seiring dengan senyum ceria yang  tersimpul di wajah putrinya. Tapi, apakah hanya sampai itu saja ? 

Setiap ibu punya impian untuk menghantarkan anak yang dikandungnya sampai ke jenjang pernikahan. Sama dengan ibu lainnya, ibu saya pun ingin melihat saya melewati satu babak baru dalam kehidupan untuk membentuk keluarga. Memiliki pendamping dan teman hidup. Memiliki keturunan dan menyandang predikat ibu bagi bayi yang saya lahirkan kelak.

Lembaran baru ini awalnya tidak mudah, karena dalam cerita kami berdua pasti ada saja selisih paham dan beda pendapat. Pemikiran yang berbeda dan cara pandang pada suatu hal yang tak sama. Perjalanan saya menuju pernikahan pun bukan sesuatu yang mulus. Ketika pilihan saya, tak sejalan dengan keinginan ibu. Tapi, apakah saya mengabaikan beliau ?

Tentu tidak.

Perlu waktu lama, tak hanya satu dua tahun untuk meluluhkan hati ibu. Menjelaskan dari A sampai Z, memberi pengertian bahwa apa yang puterinya pilih bukanlah suatu kesalahan.

Ibu..... Tak ada kata yang mampu ku ucap ketika akhirnya jawaban itu datang. Satu kata ya, meloloskanku menuju gerbang baru bersama pasangan yang aku pilih dan cintai. Angukannya yang singkat, diiringi restu yang selama ini ditunggu.

***

Doa ibu dan restu merupakan kunci yang membawa saya mampu melewati segalanya. Saat menyiapkan pernikahan pun, tak sedikit upaya dan curahan tenaga untuk membantu menyiapkan segala acara agar semua berjalan lancar. Begitu pun ketika kebaya pernikahan yang akan saya kenakan, tak luput dari peran serta ibu.

Kami berdua pergi membeli kain, memilih warna, mencari model, hingga menetukan siapa yang akan menjahitnya. Ibu memilih penjahit dari keluarga terdekat yang akan membuat kebaya pernikahan untuk saya kenakan nanti. Ya, kami tidak memilih pergi ke penjahit dengan tarif jutaan rupiah.

Cerita tentang kebaya pernikahan pun belum selesai, karena untuk menambah keindahannya sebuah kebaya tak akan lengkap tanpa hiasan manik-manik yang disematkan di beberapa sisi kain. Selain untuk memperindah, kebaya pernikahan itu punya makna khusus dan mendalam bagi saya.

Setelah kebaya selesai dijahit. Proses penyematan manik-manik juga perlu waktu lebih dari dua hari. Ibu merelakan waktunya selepas bekerja untuk memasang manik-manik berbagai ukuran di kebaya brokat yang panjangnya hingga mata kaki. Menghabiskan waktu hingga tiga sampai empat jam selama satu minggu untuk menyelesaikan pekerjaan memasang manik-manik. Semua itu demi saya, agar tampil istimewa saat pernikahan.

Air mata tak bisa tertahan mendengar sebesar itu pengorbanan ibu saya menghantarkan ke jenjang pernikahan. Mungkin kecil bagi orang lain, tapi apa yang ia berikan tidak terkira. Saat lelah bekerja, ibu bukan pergi beristirahat, melainkan melanjutkan pekerjaan jahit menjahit hingga tengah malam.

Tidak ada kata yang bisa saya gunakan untuk mengutarakan terima kasih. Rasa sayangnya tercurah dalam ikatan benang yang mengikat manik-manik agar tersemat kuat di baju kebaya saya. Kebaya saya tak hanya selembar baju yang memperindah penampilan saya. Lebih dari itu, Hadiah Dari Ibu berupa rajutan restu yang tertuang pada manik-manik kebaya pernikahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun