Cinta kasih ibu tak pernah putus, bagai jalan yang tak ada ujungnya. Hadiah dari Ibu yang tak pernah saya lupa hingga dewasa, ialah rasa nyaman saat tidur. Setiap hari ketika saya terlelap tanpa sadar di depan televisi, tiba-tiba sesuatu yang dingin menjalar di telapak hingga mata kaki.Â
Seringkali saya tak terbangun, tapi ada saat-saat saya terjaga sebentar dan melihat ibu membersihkan kaki mungil saya dari debu. Itu terjadi hampir setiap hari hingga adik saya lahir.
Tahun berganti tahun, saat keriput dan usianya bertambah. Kasih dan cintanya turut berkembang menemani pertumbuhan saya melewati masa sekolah dasar hingga perguruan tinggi.Â
Tak ada satu pun yang berhasil saya capai tanpa restu dan doanya. Ibu saya tak punya banyak waktu luang untuk mengantarkan saya ke sana ke mari. Mendampingi saya pergi ke sekolah ketika kecil, menyaksikan saya pentas menari dalam suatu acara sekolah, atau menamani saya belajar setiap malam serta mengerjakan PR.
Ibu saya sibuk mencari nafkah membantu bapak, agar saya bisa sekolah dengan layak, tetap makan enak, dan bisa mengikuti berbagai macam les seperti teman-teman saya.Â
Hadiah dari Ibu bukan waktu luang seperti yang diberikan ibu-ibu teman-teman saya kepada mereka. Hadiah dari Ibu yang tak terhingga yaitu pengorbanan agar saya tetap mendapatkan pendidikan layak.
Ibu saya sering berujar, "Ibu bukan orang kaya, begitu pula dengan ayahmu. Kami tak ingin anak-anak kami hidup terbatas, maka kami bekerja keras agar kamu hidup layak dan mendapat pendidikan seperti orang kebanyakan."
***
Doa ibu terbayarkan ketika anaknya mencapai keinginan. Kebahagiaan ibu pun berjalan seiring dengan senyum ceria yang  tersimpul di wajah putrinya. Tapi, apakah hanya sampai itu saja ?Â
Setiap ibu punya impian untuk menghantarkan anak yang dikandungnya sampai ke jenjang pernikahan. Sama dengan ibu lainnya, ibu saya pun ingin melihat saya melewati satu babak baru dalam kehidupan untuk membentuk keluarga. Memiliki pendamping dan teman hidup. Memiliki keturunan dan menyandang predikat ibu bagi bayi yang saya lahirkan kelak.
Lembaran baru ini awalnya tidak mudah, karena dalam cerita kami berdua pasti ada saja selisih paham dan beda pendapat. Pemikiran yang berbeda dan cara pandang pada suatu hal yang tak sama. Perjalanan saya menuju pernikahan pun bukan sesuatu yang mulus. Ketika pilihan saya, tak sejalan dengan keinginan ibu. Tapi, apakah saya mengabaikan beliau ?