Mohon tunggu...
Citra Nurminingsih
Citra Nurminingsih Mohon Tunggu... Freelancer - Salam kenal

I like to share my experiance to you. Visit my website : www.citranurmi.com n i usually share my experiences after travelling. Enjoy.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Inikah Cara Generasi Muda Memperlakukan Peninggalan Leluhurnya?

2 Oktober 2013   11:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_282588" align="alignnone" width="640" caption="Anak sekolah sedang berpose di atas Candi Semar"][/caption] Perjalanan wisata ke sebuah dataran tinggi di tengah pulau jawa, tak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga memberikan pengalaman dan wawasan baru. Di Dataran Tinggi Dieng, menjelajahi beberapa tempat wisata mengagumkan mulai dari Kawah Si Kidang, Telaga Warna, Gunung Prau hingga menikmati minuman penambah tenaga traditional, purwaceng.

Di sinilah tempat dibangun Kerajaan Hindu tertua di Pulau Jawa. Tempat awal di mana Dinasti Sanjaya mendirikan kerajaan besar sampai menggepakkan sayap, memperluas wilayahnya. Meno, salah satu pemandu wisata yang mengantarkan saya ke Gunung Prau menuturkan, di Dieng inilah, kerajaan Hindu tertua membangun ratusan candi untuk memuja leluhur pada masa itu. Hingga perebutan kekuasaan oleh kerajaan lain yang memiliki aliran agama berbeda, membasmi dan memusnahkan sebagian besar bangunan yang ada. Di mana pun perang selalu membawa petaka. Tak hanya manusia yang dimusnahkan. Dihilangkan nyawanya demi menghentikan suatu ajaran atau kepercayaan. Tetapi juga jejak dan peninggalan yang menjadi hasil karyanya. Candi-candi Hindu yang tersebar di Dataran Tinggi Dieng dihancurkan. Mungkin, untuk menghilangkan sisa-sisa aliran yang bisa saja tumbuh subur di masa depan.

Di dataran tinggi yang dingin ini tersisa sebuah kompleks candi Hindu. Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Semar, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa terletak berdekatan. Susunannya sangat sederhana dan tak banyak relief yang menyertainya. Diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-7. Sedangkan beberapa candi lainnya seperti Candi Bima, Candi Gatutkaca, Candi Dwarawati, dan Candi Amarta tersebar dengan jarak cukup jauh sekitar 700 meter hingga 3 kilometer dari kompleks Candi Arjuna.

Hawa yang nyaman, karena saat saya datang cuaca tak terlalu dingin dan sinar matahari samar memancarkan kehangatan di sore itu. Saya tak datang di hari libur sekolah atau liburan panjang. Suasana seperti ini yang sangat saya nikmati, berkunjung ke suatu tempat yang tak terlalu ramai. Saya bisa mengamati puas-puas, tanpa usikan suara atau kesibukan wisatawan yang terlalu bernafsu mengabadikan dirinya dengan latar tempat wisata.

Area Candi Arjuna sudah tertata baik. Di sekelilingnya dibangun taman sehingga wisatawan bisa duduk santai sembari menikmati sisa peninggalan nenek moyang. Di sini juga menjadi tempat yang pas untuk wisata keluarga, memperkenalkan anak-anak pada situs bersejarah di masa lampau.

Awalnya, hanya ada kurang dari 10 wisatawan yang mendatangi kompleks candi. Kebanyakan wisatawan domestik termasuk saya dan seorang turis asing. Bule itu kagum akan mahakarya berumur ratusan tahun ini. Berkeliling mengamati candi satu persatu dan mengabadikannya dengan kamera.

Tak lama kemudian, datang segerombolan anak muda berjaket biru. Berbondong-bondong menuju Candi Arjuna sambil bercengkrama riuh. Susana mendadak ramai. Entah melakukan wisata atau sedang tur belajar dalam rangka tugas sekolah. Rombongan anak sekolah menengah atas itu menghiasi candi yang awalnya sepi.

Gelak tawa dan gaya ala kota hadir. Dengan kacamata hitam, jaket biru, menyandang tas punggung, dan menenteng telepon genggam berkamera. Mereka berbincang dengan logat “ngapak”. Bergantian minta difoto dan terkekeh saat melihat hasil jepretan kamera. Beberapa berkumpul di depan Candi Arjuna dan bergaya saat dibadikan. Ada lagi yang mampir ke Candi Sembadra untuk duduk dengan formasi tertentu sebelum di foto.

Oh, tiba-tiba mata saya tertuju pada gerombolan anak lelaki yang mendekati Candi Semar. Mereka lebih agresif dan heboh. Bergaya bak coverboy majalah, bergantian minta di foto. Dan, tiidakk… pekik saya dalam hati. Satu di antaranya dengan gesit naik ke atas Candi Semar, bak si pitung bermain silat. Ia mematung saat dijepret kamera. Keterlaluan. Tak ada yang melarang berfoto dengan dengan candi kuno itu. Tak ada pula yang memarahi jika menempel dan sedikit bersandar di dinding candi. Tapi yang saya lihat, betul-betul di luar dugaan. Menaiki atap candi semar dan menginjak-injaknya. Itu sungguh kesalahan. Itukah sikap generasi muda Indonesia terhadap peninggalan nenek moyangnya? Itukah penghargaan anak muda pada candi yang sudah berumur ratusan tahun?

Tak hanya sekali. Dua kali dia bergaya lalu bergegas turun dengan kaki menjejak tanah. Nampak bangga dan tertawa-tawa. Candi kuno itu seperti batu biasa yang tak ada harganya.

Penulis aktif mengisi di www.geonation.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun