Menurut data BPS, per bulan Mei hingga September tahun 2024, Indonesia mengalami deflasi sebanyak 5 kali yakni: 0,03%, 0,08%, 0,18%, 0,03%, dan 0,12%. Deflasi berkelanjutan ini merupakan fenomena yang cukup jarang terjadi dialami Indonesia. Secara teoritis, deflasi merupakan penurunan harga barang dan jasa secara umum yang dapat dianggap sebagai kabar baik bagi konsumen, karena daya beli mereka meningkat. Namun, deflasi yang berlangsung terus-menerus juga dapat menjadi sinyal peringatan bagi perekonomian. Apakah tren ini mencerminkan pemulihan ekonomi atau justru menjadi pertanda ancaman resesi yang lebih dalam?
Mengapa Deflasi Terjadi?
Salah satu penyebab utama deflasi adalah penurunan permintaan pada konsumen. Ketika masyarakat menahan pengeluaran, perusahaan terpaksa menurunkan harga untuk menarik pembeli. Di sisi lain, faktor global seperti penurunan harga komoditas, melemahnya permintaan ekspor, serta kebijakan moneter yang longgar turut berkontribusi terhadap deflasi. Di Indonesia, deflasi tidak hanya disebabkan oleh lemahnya permintaan, tetapi juga oleh berkurangnya tekanan pada harga pangan akibat panen melimpah dan stabilitas harga energi. Faktor musiman ini memang dapat membawa deflasi jangka pendek, tetapi lima bulan berturut-turut menimbulkan pertanyaan apakah ada masalah. struktural yang lebih dalam.
Apakah Deflasi Tanda Pemulihan?
Bagi sebagian pihak, deflasi dapat dilihat sebagai sinyal pemulihan. Turunnya harga barang dan jasa memberikan ruang lebih besar bagi konsumen untuk meningkatkan daya beli mereka. Di tengah deflasi, nilai riil pendapatan masyarakat bisa meningkat, sehingga mereka bisa membeli lebih banyak. barang dan jasa dengan jumlah uang yang sama. Dalam konteks ini, deflasi bisa dianggap sebagai fenomena positif sementara, terutama jika disebabkan oleh penurunan harga komoditas atau efisiensi di sektor tertentu. Jika pemerintah dan bank sentral mampu menjaga stabilitas ekonomi melalui kebijakan moneter yang tepat, deflasi bisa menjadi momentum untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Ataukah Ini Pertanda Bahaya?
Deflasi yang berkelanjutan bisa menjadi tanda bahaya bagi perekonomian. Ketika konsumen
menunda pembelian dengan harapan harga akan terus turun, permintaan barang dan jasa dapat semakin tertekan. Ini bisa menyebabkan siklus penurunan harga yang berkelanjutan, yang pada. akhirnya dapat merugikan produsen. Perusahaan-perusahaan akan melihat pendapatan mereka menurun, yang bisa memaksa mereka untuk memotong biaya produksi, termasuk pengurangan tenaga kerja sehingga banyak pekerja akan mengalami PHK. Pada akhirnya, ini bisa memicu pengangguran, yang akan memperburuk masalah permintaan. Kemudian deflasi yang terus berlanjut juga bisa memperlambat investasi. Ketika harga barang dan jasa menurun, margin keuntungan perusahaan mengecil, sehingga mereka mungkin enggan melakukan investasi baru. Dalam jangka panjang, penurunan investasi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kesimpulanya deflasi lima bulan berturut-turut di Indonesia harus diwaspadai, tetapi juga tidak perlu dianggap sebagai bencana ekonomi. Namun kondisi ini adalah cerminan dari penurunan daya beli. sebuah krisis yang diam-diam menghantui ekonomi Indonesia. Apakah ini merupakan pertanda pemulihan atau sinyal bahaya, tergantung pada bagaimana pemerintah dan Bank Indonesia merespons tren ini. Dalam kondisi ekonomi yang kompleks dan dinamis, kebijakan yang tepat waktu dan bijaksana sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H