Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saya Dukung Layanan Kesehatan Universal

16 Mei 2020   15:26 Diperbarui: 17 Mei 2020   09:06 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petugas BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor sedang melayani seorang warga yang sedang mengurus kartu BPJS Kesehatan, di kantor BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor, Cibinong, Bogor, Jawa Barat| Sumber: KOMPAS.com/Ramdhan Triyadi Bempah

Catatan awal: saya adalah peserta BPJS Kesehatan mandiri reguler, terdaftar tahun 2016, dan terbilang rutin membayar iuran sesuai kelas kepesertaan. Saya saat ini bertempat tinggal di DKI Jakarta, pengalaman penggunaan BPJS Kesehatan bisa bervariasi di tiap daerah.

Sebagai warga negara Indonesia yang termasuk dalam kriteria umur milenial, kelas menengah, dan bersentuhan dengan internet setiap hari; beragam hebohnya pemberitaan tentang A sampai Z biasanya saya tahu. 

Kontroversi PSBB, "naiknya" tagihan listrik, sampai ramenya cerita pernikahan anak si itu tuh (saya menolak menyebutnya nikah muda), ya mampir di telinga saya (eh mampir ke telepon genggam ding).

Begitu pula dengan riuhnya protes kenaikan (kembali) iuran BPJS Kesehatan. Kebanyakan netizen memang bereaksi negatif, katanya pemerintah diam-diam menyusahkan rakyat saat kondisinya sedang ruwet begini.

Ini reaksi wajar. Reaksi saya juga bisa dibilang wajar, saya mendukung adanya layanan kesehatan universal (untuk semua) yang sebisa mungkin terjangkau iurannya.

Layanan Kesehatan Universal Memang Penting

Sebagai anak PNS, saya cukup mengerti tentang pentingnya asuransi kesehatan sejak dulu. Berhubung ada jaminan anggota keluarga sampai umur tertentu berhak mendapatkan cakupan Askes ini (heu anak lama banget!), saya beranggapan itu nggak cukup dan pemerintah punya kewajiban menyediakan layanan kesehatan yang baik untuk semua warganya, tidak hanya untuk PNS dan cabang pemerintah lainnya, juga untuk seluruh warga negara lain. 

Ini menjadi semacam kemewahan ya (dan kesenjangan juga), hingga umur 21 masih bisa jadi penerima manfaat Askes dari orang tua.

Dalam perjalanan panjang akses kesehatan universal di Indonesia ini, memang cakupan penerima manfaatnya bertambah secara bertahap: pegawai negara, masyarakat miskin, kelompok masyarakat lain, lalu berusaha total untuk semua warga negara dengan bentuk BPJS Kesehatan sekarang ini.

Saat umur saya secara aturan tidak lagi tercakup dalam Askes orang tua, kebetulan saya berdomisili di luar negeri, yaitu Taiwan. Di sini, layanan kesehatan universalnya bagus banget, penduduk yang bukan warga negara juga harus terdaftar dan bayar iuran. 

Modelnya ya mirip sama BPJS Kesehatan, dikelola dengan baik, pesertanya juga cukup tertib bayar iuran (termasuk perusahaan yang punya kewajiban membayar iuran pegawainya). 

Dokumentasi BPJS Kesehatan
Dokumentasi BPJS Kesehatan
Nggak sempurna, ada peningkatan layanan dan kesejahteraan nakesnya juga; tapi ya orang lokal mengakui bahwa layanan kesehatan universal ini bagus, sampai kabarnya banyak orang Taiwan yang tinggal di AS tetap mempertahankan kewarganegaraan Taiwannya karena alasan ini (Taiwan memperbolehkan kewarganegaraan ganda).

Pulang ke Indonesia, saya juga kemudian mendaftar BPJS Kesehatan reguler mandiri. Saat itu masih banyak yang nggak percaya dengan layanan BPJS Kesehatan, kemudian proses pendaftarannya juga belum rapi. Tapi ya tetap saya lalui karena saya merasa ini penting dan perlu. 

Saya rutin membayar iurannya, karena alasan penting dan perlu tadi, dan saya tidak merasa bahwa ini menyia-nyiakan uang. Namanya asuransi ya seperti payung, dibeli untuk jaga-jaga bisa hujan; kalo nggak hujan ya syukurlah, bukannya marah-marah sama penjual payung.

Layak Bayar atau Tidak?

Perdebatan soal iuran itu biasanya berkutat di sini. Iurannya itu sebenarnya worth it atau kemahalan? Atau jangan-jangan terlalu murah? Layanannya setara dengan iurannya nggak?

Kalo soal itung-itungan, saya memang kurang tahu. Tapi melihat "untung rugi" dalam asuransi, utamanya yang terkait dengan layanan publik begini, agaknya kurang pas. 

Ada tuh ujaran, "sehat itu gratis, sakit yang mahal". Ya kita nggak akan pernah tahu konversi untung rugi bayar iuran tadi sampai kita merasakan sendiri manfaatnya, jadi tentu setiap orang nggak bisa dipukul rata. 

Hanya saja prinsipnya tetap seragam: penyediaan layanan kesehatan universal untuk semua warga negara itu ada biayanya. Kita juga tahu (dan jangan menyangkal faktanya), bahwa iuran peserta itu ada kelasnya, untuk masyarakat yang kurang mampu juga iurannya dibayari pemerintah.

Karena saya tinggal di DKI Jakarta, ketika sakit rujukan saya ke puskesmas terdekat. Provinsi ini memang punya fasilitas puskesmas hingga tingkat kelurahan yang dikelola dengan baik. Sakit, ke puskesmas faskes pertama di BPJS Kesehatan, ya total nggak bayar untuk keluhan-keluhan ringan. 

Ada klinik gigi juga di puskesmas ini, layanannya ada yang gratis, ada yang berbayar murah (tergantung tindakan).

Saya baru sekali saja menggunakan rujukan ke faskes tingkat dua, karena waktu itu tidak bisa ditangani di faskes pertama. Dari puskesmas dibekali rujukan ke dokter spesialis di rumah sakit faskes kedua yang terdekat dan tersedia dokternya, lalu saya ke rumah sakit tersebut, daftar sebagai pasien BPJS Kesehatan, dicek status kepesertaannya, beres, ketemu dokternya, sudah. 

Selesai tanpa bayar sama sekali. Prosesnya juga terbilang lancar, perlu mengantre ya wajar saja menurut saya.

Manfaat BPJS Kesehatan ini juga banyak dirasakan masyarakat yang bisa mendapatkan layanan kesehatan dengan biaya terjangkau atau tidak bayar sama sekali, dari yang tindakan ringan hingga operasi rumit yang jika ditotal biayanya bisa milyaran.

Jenis peserta BPJS Kesehatan itu kan macam-macam juga, mereka yang mandiri bayar sendiri ada yang rajin dan rutin bayar seperti saya(ehem), ada juga yang karena ini dan itu baru membayar ketika akan menggunakan. 

Yang macet bayar karena alasan finansial (BUKAN YANG MALES DAN MAU UNTUNGNYA AJA YHA), skema BPJS Kesehatan itu prinsipnya kan "kemampuan membayar", jadi memang bisa pilih mana yang sesuai dengan penghasilan, bisa banget menurunkan kelas kepesertaan (ingat juga bahwa mereka yang beneran nggak mampu jelas dibayari pemerintah). 

Salah satu penyebab defisitnya BPJS Kesehatan dan tata kelola yang belum rapi itu macetnya pembayaran, apalagi kelompok peserta yang "bayar ketika mau pakai" itu juga lumayan banyak jumlahnya. 

Rumah sakit rujukan BPJS Kesehatan itu kan perlu biaya operasional, kalo pembayaran macet tentu dampaknya bergulir panjang. Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan kita perlu ditambah juga, juga nakesnya, untuk melayani 260 juta lebih warga negara Indonesia ini.

Jika banyak orang yang mengeluh fasilitas kesehatan jadi ruwet dan rame, sebenarnya di satu sisi saya merasa cukup senang, karena artinya banyak masyarakat yang mungkin dulunya takut atau merasa nggak mampu ke faskes lalu jadi bisa berobat. 

Saya melihatnya bukan "makin banyak orang sakit", tapi "makin banyak yang punya akses ke layanan kesehatan". Di sinilah PR pemerintah yang besar: perbaikan layanan kesehatannya, supaya merata, supaya tata kelolanya lebih baik, juga soal data sasaran pesertanya.

Kalo iurannya naik, masih oke nggak? Ini susah dijawab ya, di AS, misalnya, data menunjukkan bahwa biaya kesehatan > 8% pendapatan itu udah nggak wajar. Jika ditarik ke Indonesia, tentunya tidak bisa disamaratakan, karenanya skema kelas dan adanya peserta yang ditanggung pemerintah itu cukup ideal. 

Peserta juga bisa memilih sesuai kemampuan, meski ya idealnya semua disamakan fasilitasnya namun beban anggarannya sepertinya berat, plus jumlah fasilitas kesehatan masih belum mencukupi.

Di masa pandemi dengan ekonomi yang melemah ini, persoalannya juga lebih kompleks karena banyak kelompok masyarakat yang terdampak. Yang tadinya punya penghasilan tetap lumayan, lalu berkurang. Ada juga yang di-PHK. 

Di sini yang diperlukan memang stimulus dan insentif ekonomi yang sesuai dengan kondisi. Aspek legal dengan putusan MA dan penerbitan perpres yang baru untuk kenaikan iuran per 1 Juli 2020 juga perlu dibahas dan diinformasikan dengan jelas, berhubung bukan ahli hukum saya lempar aja bahasan ini ke yang lain ya.

Balik lagi ke judul tulisan ini, saya senang Indonesia mulai belajar memberikan layanan kesehatan universal untuk warganya. Perlu perbaikan di sana sini, perlu memberikan informasi yang jelas, perlu sensitif dengan kondisi masyarakat. 

Kita sebagai peserta ya penuhi kewajiban sesuai kemampuan, sampaikan masukan untuk perbaikan.

Semoga selalu sehat di masa yang sulit ini ya semuanya.

Tabik,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun