Habis Gelap Terbitlah Terang; saya baru menyelesaikan (terjemahan) kumpulan surat itu tahun lalu. Benar-benar menyelesaikan, membaca satu per satu 77 surat Kartini yang dikumpulkan oleh J.H. Abendanon.
Meski telah banyak membaca kutipan (quotes) dari Kartini atau tentang Kartini, juga dengan sedemikian populernya kumpulan surat Kartini (utamanya di bulan April),Menyelesaikan surat-surat itu membuat saya tercenung cukup lama.
Betapa kita mengingat Kartini mungkin hanya karena seremonial Hari Kartini yang dirayakan setiap tahun. Bahwa kita sebatas tahu di permukaan dan mungkin tak jarang meragukan mengapa ia yang secara simbolis "dipilih" Soekarno menjadi pahlawan nasional, aktivis emansipasi perempuan. Tak sekali dua kali pula saya mendengar bahwa Kartini terlalu ditinggikan karena desakan Belanda, untuk memperbaiki citra mereka.
Membaca surat-surat Kartini, satu demi satu, membuka mata saya akan dimensi-dimensi perjalanannya yang barangkali terlalu pendek untuk dirangkum hanya sebagai "raden ayu yang mendukung pemberdayaan dan pendidikan bagi perempuan, yang kemudian meninggal muda."
"Minim" Pencapaian Semasa Hidup
Sebagai seseorang yang ditokohkan sebagai aktivis emansipasi perempuan, sebenarnya apa yang dicapai Kartini semasa hidupnya memang minim. Sekolah formal khusus perempuan (keputrian) pribumi pertama di Indonesia yang diberi nama Sekolah Kartini, justru berdiri setelah Kartini wafat. Sekolah ini juga dipelopori oleh kawan-kawan bersurat Kartini semasa ia hidup.
Tahun 1903, ia dan kedua adiknya memang membuka "sekolah" di Jepara, sebuah awalan yang menjanjikan. Tak berapa lama, ia dipinang oleh Bupati Rembang. Pindah ke sana, Kartini juga membuka ruang-ruang di pendopo kabupaten untuk belajar, itu pun singkat masanya karena umurnya yang tak panjang.
Kontribusinya yang terlihat secara fisik memang sedikit bukan?
Namun membaca surat-suratnya pada kawan-kawannya orang Belanda, kita baru bisa memahami kegundahan Kartini akan ketimpangan antara Barat dan Timur, priyayi dan rakyat biasa, laki-laki dan perempuan. Kegundahan yang terus muncul dalam surat-suratnya selama bertahun-tahun. Kartini merasa terganggu dengan ketimpangan yang ia lihat, rasakan, alami, dan amati.
Ia yang terlahir di keluarga ningrat, punya kemewahan untuk bersekolah, belajar bahasa Belanda, dan bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda di masa itu. Ayahnya memang terbilang "liberal", ia memperbolehkan Kartini melanjutkan belajarnya di rumah setelah ia tak lagi boleh bersekolah di usia 12 tahun, usia perempuan untuk dipingit. Begitu pula kakak-kakak laki-lakinya, terutama Sosrokartono yang disebut jenius, mereka banyak berdiskusi dengan Kartini dan memberikan buku-buku untuk dibaca.
Dari ujaran Kartini yang tersurat dan tersirat dalam beberapa suratnya, saya bisa menangkap bahwa sosok lelaki dalam keluarganya adalah sosok-sosok berpikiran terbuka yang bertolak belakang dengan budaya patriarki di masa itu. Kartini memang penuh rasa ingin tahu dan cerdas, dan para lelaki dalam keluarganyalah yang menjadi "bahan bakarnya" untuk berpikir maju dan jauh. Sekolah ala-ala yang dibuatnya di rumahnya di Jepara, juga berdiri karena dukungan keluarganya.
Ia menyebutkan dalam salah satu suratnya pada Mevrouw Ovink-Soer (hanya bertanggal 1900), "Kakek (saya) adalah seorang pionir, hampir setengah abad yang lalu. Ia memberikan pendidikan Eropa untuk anak-anaknya, laki-laki dan perempuan."