Dan Kartini mengetahui hal ini. Dilema berat, memang.
Kartini menuliskan kegundahannya ini dalam beberapa suratnya, termasuk pada Mejuffrouw Stella Zeehandelaar (tertanggal 23 Agustus 1900), "Stella, aku sering mengatakan bahwa aku sangat menyayangi ayahku. Aku tak tahu apakah aku punya keberanian dan kenekatan untuk mengejar impianku (kebebasan dan pendidikan), karena itu akan membuatnya sedih, mematahkan hatinya, yang penuh cinta untuk anak-anaknya."
Dan dalam kegundahan itu, ketika akhirnya Kartini melihat potensi dari lelaki yang mengajukan lamaran untuknya, potensi bahwa sang calon suami bisa menjadi mitra untuk tetap mewujudkan mimpi dan visinya; Kartini mengatakan iya.
Dan benarlah, bersama suaminya, ia bisa merealisasikan sedikit dari ide-ide besar dan luar biasanya yang dimilikinya sejak lama.
Sedikit, di sepanjang hidupnya yang singkat. Namun dari surat-suratnya yang seakan tak ditulis oleh perempuan Jawa di masa itu; ia telah meletakkan fondasi tertulis dan jelas tentang aspirasinya untuk para perempuan dan masyarakat banyak.
Melihat kemiripan pandangan dan caranya menuangkan pikir dalam tulisan, mungkin Soekarno melihat Kartini dalam dirinya sendiri saat ia memutuskan menetapkan Kartini sebagai pahlawan nasional emansipasi wanita.
Salam hangat,
Marlistya Citraningrum
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI