Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Pawang Gajah yang Baik

26 Januari 2019   13:24 Diperbarui: 26 Januari 2019   13:35 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: RawPixel on Unsplash

"Kamu masih punya waktu untuk membaca buku setiap harinya?" satu, dua, sepuluh kawan bertanya pada saya. Saya memang cukup sering berbagi mengenai buku apa yang sedang saya baca di akun media sosial saya. Jawaban saya seragam, "Membaca adalah cara sederhana untuk membuat otak kita tetap bekerja."

Terlepas dari fakta bahwa membaca adalah hobi, saya cukup sering "memaksakan" diri untuk membaca buku, berita, artikel, dan jenis tulisan lain yang saya pilih karena saya sejujurnya insekyur dengan usia (uhuk!) dan tren perilaku manusia belakangan ini. Membaca membuat saya berpikir, supaya otak tetap bugar dan supaya saya bisa membekali diri dengan ragam banjir informasi di era pasca-kebenaran (post-truth era) ini.

Pasca-Kebenaran dan Harga Demokrasi

Pada bulan November 2016, Kamus Besar Bahasa Inggris Oxford menjadikan kata post-truth sebagai Kata Tahun Ini (Word of The Year). Meskipun konsep pasca-kebenaran sebenarnya sudah ada sejak tahun-tahun sebelumnya (Kamus Oxford menyebutnya sejak satu dekade terakhir), namun pada tahun 2015 penggunaan dan penyebutannya naik hingga 2.000% (dua ribu persen!) sehubungan dengan pemilu di Amerika Serikat dan peristiwa Brexit. Lebih spesifik lagi, konsep pasca-kebenaran ini menjadi sangat dihubungkan dengan politik.

Kamus Oxford mendefinisikan pasca-kebenaran sebagai sebuah kata sifat yang berhubungan dengan atau menunjukkan sebuah peristiwa di mana fakta objektif menjadi lebih tidak berpengaruh untuk membentuk persepsi publik dibanding seruan yang terfokus pada emosi dan kepercayaan pribadi.

Mengapa kata ini menjadi Kata Tahun Ini, karena fenomena politik yang terjadi tahun itu memang banyak didominasi bagaimana pembelokan persepsi publik dilakukan dengan kebohongan, kesalahan klaim yang disengaja, dan misinformasi. The Washington Post sampai mengeluarkan lini pengecekan informasi tersendiri, The Fact Checker. Lini ini mencatat, dalam 9 bulan pertama, Presiden Trump telah membuat 1.318 (seribu lebih!) klaim yang salah atau berpotensi menyesatkan (misleading). 

Fakta yang objektif bukan lagi menjadi sesuatu yang menarik, orang lebih suka mendengar sesuatu yang memancing sisi emosi mereka (mau sedih, marah, tersentuh) dan yang secara personal mereka yakini (lepas dari benar atau tidak). Dalam politik praktis, konsep pasca-kebenaran ini menjadi amunisi karena para politisi jelas memperebutkan suara orang-orang yang diharapkan bisa mendukung mereka.

Inilah harga demokrasi. Suara terbanyak menang, dan menjaring suara dilakukan dengan banyak cara; termasuk membanjiri kita dengan misinformasi.

Gajah dan Pawangnya

Bila secara global kata pasca-kebenaran yang populer, di Indonesia kita lebih sering mendengar kata hoaks. Fenomenanya serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, hanya saja kata pasca-kebenaran terdengar asing dan kurang menarik. Kita dibanjiri dengan misinformasi tentang segala hal, kebanyakan politik, dari beragam kanal. Kita juga punya platform turnbackhoax.id, yang lahir karena kejengahan akan banjir informasi palsu yang meresahkan. Mengapa meresahkan? Kembali ke definisi pasca-kebenaran tadi, cara manusia berpikir dan bertindak memang secara natural dan secara evolusi banyak melibatkan insting dan emosi.

Jonathan Haidt, dalam bukunya yang berjudul Why Good People are Divided by Politics and Religion, memberikan sebuah analogi yang mudah dicerna. Ia mengumpamakan manusia sebagai gajah dan pawang di atasnya (yang mengarahkan). Si pawang adalah otak, logika dan sumber pemikiran; sedangkan si gajah adalah insting, emosi, dan reaksi. 

Pawang bisa saja menimbang-nimbang alasan, memikirkan risiko dan kemungkinan jauh ke depan, dan menginstruksikan si gajah untuk melakukan sesuatu yang beralasan (reasonable); namun dalam kondisi ketika emosi dan insting yang dipantik, mau si pawang punya pemikiran tajam dan mendalam tentu saja akan kalah dengan kekuatan si gajah. 

We may have better judgement, but when emotional appeals kick in, good bye logics. Kita bisa menuju peperangan, konflik, karena gajah-gajah itu terkumpul dalam jumlah besar. Sudah terjadi, dan bisa jadi terjadi lagi.

Inilah mengapa fakta menjadi tak begitu penting dalam "pertarungan" pasca-kebenaran, atau mungkin penting namun seakan tak punya kekuatan. Ya karena pawangnya kalah dengan gajah.

"Jurnalisme Berkualitas adalah Layanan Publik"

Indira Lakshmanan, jurnalis veteran yang juga Direktur Eksekutif Pulitzer Center, mengatakan demikian. Quality journalism is a public service. Ia mengatakan demikian karena jurnalisme yang dilakukan dengan berimbang, menyajikan fakta dan kebenaran, serta berkomitmen untuk memberikan informasi yang benar pada publik merupakan sebuah layanan yang sepatutnya dianggap serupa seperti layanan kesehatan dan layanan publik lainnya. 

Masyarakat memang kehilangan kepercayaan pada media, di satu sisi karena media bisa menjadi partisan dan di sisi lain kita tidak mau mendengar fakta namun lebih percaya berita yang menurut kita benar. Dan alasan-alasan ini menjadi bola salju yang lebih besar, media pun sulit mempertahankan kualitas jurnalisme mereka karena oplah menurun, iklan tidak banyak karena berpindah ke kanal digital lain, hingga kecenderungan masyarakat untuk enggan membaca.

Tidak sekali dua kali saya mendengar istilah "baca berita di WhatsApp". Nobody wants to read news anymore. 

Saya termasuk "penganut" nilai yang dikatakan Indira. Sebisa mungkin, saya paksakan diri untuk rajin membaca buku, ulasan, berita-berita dari kanal yang saya pikir, saya amati, dan saya timbang berkualitas. Ini bukan lagi tentang menekuni hobi, ini adalah ikhtiar membekali pawang gajah saya dengan sebanyak mungkin amunisi untuk tidak terseret arus. 

Sebagai manusia biasa yang tidak mungkin mengecek semua kabar dan berita hingga ke sumber utama, saya berterima kasih pada media yang mampu menyediakan berita dan ulasan dengan fakta dan kebenaran. Saya tidak ragu untuk berlangganan dan membayar kanal-kanal informasi yang menurut saya cukup sehat dan berimbang (tidak ada ruginya membayar berlangganan, dan ini membantu media-media berkualitas untuk tetap melakukan tugas jurnalismenya dengan baik). 

Saya tidak ragu membeli buku-buku bagus, bahkan untuk buku impor yang harganya menguras kantong. Saya tidak ragu menyisihkan waktu saya setiap harinya untuk membaca semuanya. Saya tidak ragu berbagi apa yang saya baca di kanal media sosial.

Mungkin saya bisa bilang, saya tidak boleh ragu melakukan semuanya karena saya sebagai individu punya kewajiban membuat pawang gajah itu tetap waras dan mengerjakan tugasnya dengan baik. 

Iya, gejala pasca-kebenaran juga harus "diperangi" secara sistemik dan bahwa kita harus menyerukannya lebih lantang dan dengan lebih banyak orang. Di lain sisi, sebagai individu, kita pun bisa melakukan sesuatu, kok.

Salam hangat,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun