"Ibu, lebih baik turun dulu, jalan ke bawah," seorang mama-mama yang sedang lewat membawa cucian menyarankan saya untuk turun dari boncengan motor dan berjalan saja. Jalanan di depan kami sedang dalam proses diratakan dan dikeraskan.Â
Dengan medan jalan yang menanjak, menurun, dan berkelok-kelok, kami harus ekstra hati-hati. "Terima kasih, Mama," saya menyapanya dan berjalan ke bawah. Engki, yang membonceng saya dari atas, mengendarai motornya perlahan di sela-sela bebatuan dan parit yang cukup dalam.
Beberapa ratus meter di bawah, beberapa oto tertahan. Oto adalah truk yang dimodifikasi dengan atap dan tempat duduk menyilang dan digunakan sebagai sarana transportasi dari kota kabupaten ke desa-desa di beragam penjuru Ende yang sulit dijangkau kecuali dengan kendaraan semacam truk atau mobil 4-wheel drive.Â
Dalam oto-oto itu para penduduk desa di atas dengan sabar menunggu. Kebanyakan dari mereka pergi ke kota untuk membeli barang-barang yang mereka perlukan.
Saat kami melewati mereka, dengan ramah mereka menyapa dan mengajak berbincang singkat, saling bertanya bagaimana jalur perjalanan yang kami lewati. Seorang mama bertanya penasaran, "Ibu yang menggantikan Ibu Mawar, kah?"
Saya mengangguk. Kedatangan saya memang untuk melanjutkan sebuah misi. "Selamat datang, Ibu," para penduduk desa tersenyum lebar. Pada orang asing yang bahkan tak sempat mengenalkan diri dengan pantas.
Kehangatan mereka membuat saya mulai paham, mengapa Soekarno menganggap masa-masa pengasingannya di Ende sebagai masa yang istimewa.
Karena penduduknya istimewa.
Keistimewaan Ende bagi Soekarno
Kota Ende barangkali lebih terkenal sebagai kota lahirnya Pancasila. Itupun tak semua orang mengetahuinya. Pada tahun 1934 hingga tahun 1938, Soekarno diasingkan di kota ini, bersama dengan istrinya, Inggit, ibu mertuanya, Amsi, dan anak angkatnya, Ratna Djuami. Begitulah risiko menjadi seorang 'pembangkang' di masa itu, dikirim ke daerah yang jauh dari kemajuan ibukota pemerintahan, diputus aksesnya pada banyak hal dan dengan banyak orang.
Saya pikir Soekarno merasakan pengasingan ini sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. Tidak hanya daerah yang asing, jauh dari kemajuan artinya jauh pula dari pengetahuan. Orang dengan intelektualitas seperti Soekarno, saya bayangkan, pasti haus dengan pengetahuan, dengan ilmu, dengan bincang-bincang yang sarat berisi, dengan teman diskusi yang bisa menjadi teman berpikir pula.
Mungkin rasanya tak jauh beda dengan dipenjara, meski tanpa jeruji dan tanpa jam kunjung.
Di masa-masa sulit itulah, Soekarno menghabiskan waktunya dengan berkebun, menggambar, berkirim surat, dan mengenal masyarakat sekitar. Di Ende, pada waktu itu, tinggal beberapa misionaris Katolik dari Belanda. Soekarno banyak bercakap dan berdiskusi dengan mereka, juga sering membaca buku di perpustakaan keuskupan; satu dari sedikit tempat di Ende yang memiliki bahan bacaan beragam. Untung ya, ada perpustakaan, coba kalo nggak, orang pinter kayak dia bisa mati gaya.
Soekarno juga banyak berinteraksi dengan penduduk Ende yang majemuk. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Ende merupakan wilayah dengan beragam masyarakat adat dan menganut sistem klen (klan). Mereka mewariskan nilai adat secara turun-temurun, termasuk gotong-royong, musyawarah, dan kekeluargaan.Â
Masalah-masalah yang muncul antar wilayah adat, misalnya, diselesaikan dengan pembicaraan dan tidak dengan kekerasan. Tetua adat memiliki posisi yang dihormati dalam masyarakat, dan mereka memberikan banyak pendampingan untuk warganya.Â
Sebagai bagian dari masyarakat adat yang sama, masyarakat juga menunjukkan penghormatan dan rasa kekeluargaan yang erat, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan, termasuk kepercayaan. Masyarakat Ende sebagian besar beragama Katolik, sisanya Muslim dan kepercayaan-kepercayaan lama dari nenek moyang.
Interaksi masyarakat di Ende ini diamati Soekarno dan direnungkannya secara mendalam hampir setiap hari sepanjang pengasingannya. Di tepi pantai, di bawah sebuah pohon sukun sembari melayangkan pandang ke laut, Soekarno bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyendiri, berpikir, berefleksi. Saya duga Soekarno ini pasti introvert kayak saya. Haha.
Lima sila dipilihnya. Pancasila, lahir di Ende, di bawah pohon sukun. Di tempat yang kini dengan bangga menyandang namanya, Taman Pancasila.
Dulu dan Kini
Sekian puluh tahun berlalu, Ende masih punya karakter yang sama. Hangat masyarakatnya tidak pudar. Keinginan saling membantu tidak lantas hilang. Potret kerukunan ini bisa dilihat setiap hari, bahkan untuk hal-hal kecil.Â
Para perantau yang bermukim di Ende banyak mengatakan bahwa keberagaman yang ada di Ende diterima masyarakat dengan baik, sehingga tidak ada sekat antara mereka yang berbeda. Ende juga memiliki Forum Kerukunan Umat Beragama yang sangat aktif, yang tak hanya melibatkan para tetua, juga para pemuda.
Di pinggiran sungai itu, orang-orang yang tak mengenal satu dengan lainnya berbagi tempat, berbagi sabun, dan bercakap hangat sembari mencuci sepeda motor atau mobil masing-masing. Tak jauh dari sana, di bagian yang lebih atas, anak-anak bercanda riang bermain air, mama-mama mencuci dan bersenandung.
Mungkin pemandangan seperti ini juga yang dulu dilihat Soekarno setiap hari, yang meyakinkannya tentang nilai-nilai luhur tentang Indonesia.
Tabik,
Citra