Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tarif Listrik Naik, Rakyat Menjerit

27 Februari 2018   07:28 Diperbarui: 27 Februari 2018   09:46 3961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumen pribadi

Harga  BBM (non subsidi) naik, status Facebook menjadi viral. Tarif listrik  diisukan naik, sudah menjerit antipati dengan pemerintah. Familiar dengan kondisi ini?

Energi sudah menjadi kebutuhan dasar manusia modern. Semua aspek dalam kehidupan kita memerlukan energi, baik kebutuhan mendasar seperti memasak, penerangan, hingga kebutuhan transportasi. Karena energi tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, harga energi pun menjadi sesuatu yang sangat mempengaruhi beragam harga kebutuhan lainnya.

Sebelum beranjak ke bahasan yang lebih serius, sadarkah kita akan konsumsi energi kita? Berapa banyak bensin yang kita habiskan per hari, misalnya? Atau berapakah listrik yang kita gunakan per bulannya?

Lalu apakah kita mengamati harga yang kita bayarkan untuk kebutuhan energi tersebut? Apakah kita tahu bahwa menggunakan Pertalite itu artinya kita menggunakan BBM non subsidi, misalnya? Apakah kita paham bahwa daya terpasang di rumah kita menentukan tarif listrik yang kita bayar?

Energi dan Pembangunan

Ada  alasan mengapa Presiden Jokowi terkesan ngotot dengan kebijakan BBM 1 harga dan Program 35.000 MW. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas memang memerlukan ketersediaan energi yang handal dan merata, dalam hal ini secara khusus terkait ketersediaan listrik. 

Listrik adalah bentuk energi modern yang menopang kehidupan dan mendorong pembangunan serta pertumbuhan ekonomi. Contohlah lampu. Penerangan memberi kesempatan pada anak-anak untuk belajar di malam hari. Penerangan memberi kesempatan pada perempuan untuk melakukan aktivitas produktif dan berkumpul tanpa dibatasi kegelapan. Penerangan dapat meningkatkan taraf kesehatan karena  berkurangnya penggunaan lampu minyak tanah atau damar yang menyebabkan polusi dalam ruangan. 

Di luar penerangan, keberadaan listrik membantu terbukanya informasi dari luar, mengurangi waktu yang dihabiskan perempuan untuk mengambil air sehingga bisa dialihkan ke kegiatan produktif lain, hingga mendorong perekonomian setempat dengan keberadaan alat-alat yang membuat proses produksi lebih efisien.

Kita yang berlimpah listrik bisa saja menganggap listrik sebagai sesuatu yang biasa, namun bayangkan dampaknya pada saudara-saudara senegara kita yang belum mendapatkannya.

Listrik di Indonesia

Indonesia hingga saat ini masih menghadapi tantangan pemenuhan energi untuk semua warganya. Di tahun 2017, masih terdapat 5 juta rumah tangga atau sekitar 20 juta penduduk Indonesia yang belum mendapatkan akses listrik. Dari angka tersebut, sebagian besar berada di Indonesia bagian timur dan di daerah perdesaan. Mereka yang sudah mendapatkan akses listrik pun belum tentu mendapatkan listrik selama 24 jam penuh. Pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi ini memang masih banyak (baca: Capaian 3 Tahun Kinerja Jokowi JK).

Pemerataan akses listrik di Indonesia banyak terkendala tantangan geografis. Berpulau, banyak pegunungan, banyak lembah, hingga tersebarnya jumlah penduduk. Dengan banyaknya wilayah yang sulit dijangkau karena keterbatasan infrastruktur, biaya penyediaan listrik menjadi mahal. Dengan kebijakan tarif flat yang diterapkan di seluruh Indonesia, pemerintah harus memberikan subsidi pada masyarakat yang kurang mampu. Golongan rumah tangga yang memiliki daya 450 VA dan sebagian 900 VA adalah golongan pelanggan listrik yang menerima subsidi. 

Memerima subsidi artinya pelanggan listrik tersebut tidak membayar penuh. Jatuhnya murah? Iya, karena selisih biaya pembangkitan listrik sebenarnya dengan tarif listrik untuk masyarakat dibayarkan pemerintah. Ini tentu penting bagi masyarakat yang kurang mampu, untuk memastikan mereka mendapatkan keadilan akses listrik.

Sejak Januari 2017, ada pengalihan subsidi listrik untuk kelompok rumah tangga 900 VA yang terhitung mampu (baca: Subsidi Listrik Dicabut? Mahal!). Sejak saat itu, pelanggan rumah tangga non-subsidi (tegangan rendah) membayar tarif Rp 1.467/kWh (ini kita, kebanyakan rumah tangga), pelanggan tegangan menengah membayar Rp 1.114/kWh (pelanggan komersial/gedung bisnis), dan pelanggan tegangan tinggi membayar Rp 996/kWh (pelanggan industri). 

Perlu diingat bahwa tarif listrik kita tidak mengalami kenaikan hingga saat ini, meskipun terjadi  perubahan nilai tukar rupiah, harga minyak mentah, dan inflasi; tiga komponen yang menentukan tarif listrik yang dijual oleh PLN. Perubahan nilai ketiga komponen ini sangat mempengaruhi biaya penyediaan listrik, sehingga sebenarnya tarif listrik untuk pelanggan dapat naik atau turun setiap saat. Kalau harga minyak naik, tarif listrik seharusnya juga naik, begitu juga sebaliknya. Dengan kondisi saat ini, di mana harga minyak mentah merangkak naik, timbul kekhawatiran bahwa tarif listrik akan naik.

Listrik dan Batubara

Sumber energi yang digunakan untuk pembangkitan listrik PLN saat ini sebenarnya bukan lagi didominasi bahan bakar minyak, melainkan batubara (55%). Senasib seperti minyak bumi, harga batubara juga meroket pelan-pelan. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara memang memiliki fluktuasi harga yang tinggi, karena ketersediaannya yang makin berkurang. Belakangan, kenaikan harga batubara global menjadi momok yang cukup serius bagi PLN. 

Harga batu bara yang mencapai USD 90 per ton mengakibatkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik naik dan menjadikan beban keuangan PLN dan pemerintah semakin berat. Dengan kondisi ini, pemerintah membuka wacana untuk mengganti komponen harga minyak mentah (ICP) menjadi harga acuan batu bara (HBA). 

Wacana ini perlu mendapatkan perhatian serius, terutama dengan adanya harapan agar pemerintah mengatur harga batu bara dalam negeri (domestic market obligation). Penggunaan energi primer yang didominasi bahan bakar fosil (minyak dan  batubara) dalam penyediaan listrik membuat PLN dan pemerintah rentan pada fluktuasi harga energi primer yang memiliki dinamika cukup tinggi dan bergantung pada harga pasar internasional.

Sementara itu  pelanggan, utamanya pelanggan golongan rumah tangga dan industri yang  merupakan pengguna utama (masing-masing dengan persentase 38% dan 40%), menginginkan tarif listrik yang murah. Karena listrik merupakan sumber energi modern yang digunakan di hampir semua aspek kehidupan, kenaikan tarif listrik akan mendorong kenaikan harga komoditas lainnya dan dikhawatirkan akan membebani masyarakat. Menaikkan tarif listrik adalah  kebijakan tidak populis. Kalangan menengah yang anggapannya mampu  (karena menerima tarif non subsidi) adalah kalangan yang juga keras  menjerit.

Di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk  mendorong penggunaan energi bersih dan terbarukan (seperti angin,  matahari, panas bumi) untuk penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia.  Faktor eksternalitas dari penggunaan energi fosil dan emisinya yang  memiliki dampak negatif pada lingkungan dan pengguna perlu menjadi  pertimbangan. Meski dianggap sebagai bahan bakar yang dapat  menghasilkan listrik dengan biaya terendah, batubara memiliki harga  eksternalitas, harga yang tak terlihat. Aktivitas penambangan  menghasilkan limbah yang tak sehat dan dapat menyebabkan kerusakan  ekosistem. Emisi karbondioksida menyebabkan pemanasan global dan  perubahan iklim. 

Sementara itu, pembakaran batubara di pembangkit  listrik juga mengeluarkan polusi yang menyebabkan dampak merugikan pada  kesehatan. Apakah biaya-biaya ini dihitung? Tidak. Padahal biaya  eksternalitas ini yang justru jauh lebih mahal dibanding biaya  penyediaan listriknya sendiri.

Energi terbarukan yang bersih dan  berkelanjutan baiknya dipandang sebagai energi masa depan. Dengan  teknologi yang semakin berkembang dan beragam skema pendanaan yang ada,  potensi energi terbarukan yang besar di Indonesia sangat dapat  dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Sayangnya, harga listrik  dari energi terbarukan saat ini masih dianggap tinggi. Untuk  menjadi kompetitif dengan batubara, diperlukan adanya dukungan pemerintah untuk industri dalam negeri, pemberian insentif fiskal dan non fiskal, dan ragam kebijakan yang mempermudah pengembangan energi terbarukan baik untuk badan usaha milik negara ataupun pihak swasta. Ini tentu bukan pekerjaan mudah dan bisa dicapai dalam jangka pendek.

Lalu  dengan kondisi saat ini, saat kita masih bergantung dengan batubara,  bagaimana nasib tarif listrik Indonesia? Apakah "murah" akan menjadi kata kunci penyediaan listrik di Indonesia, apapun risikonya?

XOXO,

Marlistya Citraningrum

Pengelola program energi berkelanjutan di sebuah lembaga pemikir di Jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun