"Dulu ya setelah gelap, tidak ada kegiatan, Bu. Susah juga untuk saya jika ada warga yang membutuhkan bantuan kesehatan, lampu petromaks dan pelita tak cukup terang," Bidan Marlin bercerita. Sebagai satu-satunya tenaga kesehatan di Desa Balurebong, Marlin menjadi rujukan semua masyarakat ketika mereka memerlukan bantuan kesehatan, tak hanya soal kehamilan dan kelahiran. Diakuinya, sulit memberikan layanan optimal ketika penerangan terbatas.
Desa Balurebong di Lembata, Nusa Tenggara Timur itu memang belum dialiri listrik.
Balurebong terletak di atas bukit. Perjalanan ke sana memakan waktu satu setengah hingga dua jam mengendarai motor dari ibukota kabupaten, Lewoleba, melewati jalan beraspal, jalan beraspal jelek, jalan berbatu, dan jalan tanah. Hingga Juli tahun ini, Balurebong belum menikmati listrik.
Saat saya ke sana, sudah ada beberapa tiang listrik terpasang di pinggir jalan. Belum sampai ke Balurebong, belum pula berkabel.
Balurebong yang BeruntungÂ
![Lampu yang menyala dengan listrik dari tenaga surya (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/18/bl1-59e72aab0d2d233572545192.png?t=o&v=770)
Namun jelas, dengan jumlah rumah tangga yang mencapai 80, instalasi listrik surya atap itu tentu belum menjawab kebutuhan mereka.
Balurebong hanyalah satu dari ribuan desa yang belum mendapatkan akses listrik. Desa ini bisa dibilang sedikit beruntung sudah "merasakan" terang dalam keterbatasan, karena masih ada 2.519 desa yang benar-benar gelap di Indonesia. Lokasi sering menjadi hambatan, karena perpanjangan jaringan listrik memerlukan biaya yang tak sedikit dan usaha yang ekstra keras. Membawa tiang-tiang listrik melewati hutan, jalan rusak, hingga menyeberang selat bukanlah pekerjaan mudah.
Dalam semangat mewujudkan cita-cita kemerdekaan, lokasi dan kesulitan tak boleh jadi alasan.
Membangun dari Pinggiran dengan Penyediaan Energi
Salah satu nawacita Presiden Jokowi adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa. Pengejawantahan cita-cita itu mendorong munculnya Dana Desa yang bertujuan untuk membekali desa dengan modal finansial untuk mengembangkan desa, dalam kerangka memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Modal ini bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas masyarakat dan pengembangan potensi desa untuk usaha, dengan harapan kebutuhan dasar masyarakat akan air, sanitasi, hingga energi dapat terpenuhi serta mendorong tumbuhnya sentra ekonomi lokal.
Marcelinus, mantan kepala desa Balurebong, melihat potensi penggunaan Dana Desa untuk kebutuhan energi di desanya. Kepala desa ini berencana membeli generator diesel dengan Dana Desa untuk menghadirkan listrik di desanya. Rencana ini kemudian berganti karena Marcelinus melihat bahwa instalasi listrik surya atap dengan sistem rumahan (solar home system) lebih cocok untuk desanya. Matahari berlimpah di Balurebong, dan dengan empat dusun yang tersebar lokasinya, solar home system (SHS)Â dapat dipasang secara individu tanpa mengkhawatirkan jauh dekatnya ketersambungan dengan sumber listrik.
Jadilah kini hampir semua rumah di Balurebong memiliki SHS. Instalasi itu memiliki 3 lampu pasang (untuk di rumah), 1 lampu portabel, dan terminal pengisian daya telepon genggam. SHS itu sangat membantu penduduk Balurebong untuk melakukan aktivitas di malam hari dan mengurangi biaya minyak tanah untuk pelita.
Bagi Bidan Marlin, SHS membantunya melakukan tugasnya dengan lebih baik. Bagi Mama Magdalene, ibu rumah tangga di Balurebong, proses mengupas kemiri menjadi lebih cepat karena bisa dikerjakan bahkan saat hari gelap. Kemiri yang dikupasnya juga lebih bersih. Manfaat ini membuatnya senang karena dapat menjual kemiri lebih cepat dan lebih banyak.
Saking senangnya, Mama Magdalene enggan berganti ke listrik PLN bila jaringan listrik sudah masuk desanya. "Nanti saya barus bayar tagihan listrik, Ibu, kalau pakai tenaga surya kan tak perlu bayar," ujarnya malu-malu.
![Mama Magdalene sangat senang dengan keberadaan SHS di rumahnya (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/18/bl2-59e72aea0d2d2336210491a2.png?t=o&v=770)
Menghadirkan listrik di desa adalah pekerjaan rumah yang menantang. Kita tak bisa meminta warga desa yang belum berlistrik untuk menunggu. Maka salah satu langkah cepat yang dilakukan adalah pendistribusian lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE). Model ini memang cocok diterapkan untuk skala rumah tangga di beragam lokasi, karena tidak memerlukan jaringan dan bisa mengandalkan energi terbarukan setempat, yaitu sinar matahari. Kementerian ESDM mencatat pendistribusian ini akan menjangkau lebih dari 80.000 rumah di 5 provinsi di tahun ini. Hingga tahun 2019, program ini adalah program pra-elektrifikasi, menyediakan penerangan sementara jaringan listrik dibangun.
Energi dalam bentuk penerangan (dan ke depannya, listrik secara penuh) memicu efek pengganda, baik itu dalam mendorong kualitas pendidikan, meningkatkan taraf kesehatan dan ekonomi, hingga keamanan dan keterbukaan informasi.
Capaian juga adalah Tantangan
Nawacita membangun dari desa itu bergulir, capaian yang pantas diapresiasi. Dalam capaian itu pula, tantangan menunggu untuk diselesaikan. Program pra-elektrifikasi dengan LTSHE sangat bergantung pada data yang disampaikan oleh pemerintah daerah dan kesadaran pemerintah daerah setempat untuk pengajuan proposal. Bupati haruslah mengajukan desa mana saja yang menjadi target distribusi LTSHE, artinya desa yang tak diajukan dalam proposal tersebut akan terlewatkan. Sementara data sering menjadi kelemahan kita di Indonesia, pemerintah harus memastikan bahwa distribusi ini mencapai sasaran yang tepat. Masyarakat juga bisa mendorong pemerintah daerah dalam hal pengajuan desa sasaran program. Â
Pra-elektrifikasi juga program semacam "pemadaman kebakaran", solusi sementara untuk menunggu masuknya jaringan listrik lebih permanen. Dengan keterbatasan perluasan jaringan PLN dan/atau pembangunan pembangkit listrik baru, sangat perlu dipikirkan potensi-potensi energi terbarukan setempat yang dapat dimanfaatkan. Potensi-potensi matahari, angin, dan aliran sungai bisa menjadi solusi energi bagi desa-desa di Indonesia. Kamanggih salah satu contohnya, yang memanfaatkan aliran sungai untuk penyediaan listrik desa, dikelola pula oleh masyarakat desa. Energinya bersih, dekat, juga mendorong kemandirian desa. Â
Model-model penyediaan listrik dengan energi terbarukan setempat, baik yang dalam jaringan (on-grid) maupun lepas jaringan (off-grid), punya potensi menjawab tantangan kebutuhan energi dalam skala yang beragam. Di Kamanggih ada kincir angin yang melistriki 20 rumah, lalu di Sulawesi Selatan, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap sedang dibangun. PLTB Sidrap ini akan menjadi PLTB dengan kapasitas terbesar di Indonesia. Indonesia bagian timur memang "kaya" dengan angin, potensi yang tak boleh kita abaikan. Sementara mega proyek 35.000 MW berjalan dan didominasi pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil (BBM dan batubara), kita harus lebih banyak menggali potensi energi terbarukan yang melimpah di Indonesia.
Energi adalah kebutuhan dasar manusia. Kita sedang berjuang membawa terang ke desa, membangun Indonesia dari sana. Tiga tahun ini adalah awalan, dan perjalanan masih panjang. Pesimis bukan jawaban, cepat berpuas diri juga bukan pilihan.
Selamat merefleksikan 3 tahun pemerintahan, Pak Jokowi.
Salam hangat,
Marlistya Citraningrum
Pekerja millennial, pengelola program energi berkelanjutan di sebuah lembaga pemikir di Jakarta Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI