Jika kita keluar dari paradigma sentralisasi energi, kita akan tercengang dengan banyaknya sumber energi setempat yang bisa kita manfaatkan. Inilah yang terjadi di Kataka. Sumba (dan Indonesia!) berlimpah cahaya matahari. Kekayaan matahari ini yang kemudian menjadi modal Kataka. Musim panas jarang awan yang panjang di Sumba menjadi berkah tersendiri. Sejak dua tahun lalu, panel surya hadir di Kataka. Membawa terang di sekolah dan di rumah.
Dengan kapasitas 1,5 kWp (kiloWattpeak), panel surya yang merupakan bantuan dari sebuah lembaga pengembangan internasional itu mampu mencukupi kebutuhan listrik di sekolah. Selain membantu para guru untuk bisa menggunakan komputer, mereka juga tak perlu menempuh perjalanan ke Kota Waingapu untuk mengkopi dokumen dan soal ujian. Proses belajar mengajar kini bisa dilakukan dengan proyektor dan sistem audio. Perubahan ini sangat disukai oleh para murid di Kataka. Mereka lebih bersemangat pergi dan belajar di sekolah. Model pembelajaran yang lebih interaktif membuat mereka betah. Panel surya yang terpasang di halaman sekolah itu juga menjadi subjek pembelajaran yang menarik.
Lampu tenaga surya itu sangat membantu anak-anak untuk belajar di malam hari, juga membantu orangtuanya untuk melakukan kegiatan produktif. Ibu-ibu Kataka adalah penenun ikat, dan mereka sangat terbantu dengan adanya penerangan yang cukup di malam hari. Penjualan ikat itu membantu menambah penghasilan keluarga, terutama saat pertanian menjadi sulit di musim kering. Mereka juga dapat mengurangi pengeluaran keluarga untuk membeli minyak tanah.
Sekolah satu atap itu kini dikenal sebagai Kataka Solar School. Â
Dari Kataka ke Jakarta
Dari ragam energi terbarukan, matahari adalah sumber energi yang harfiahnya bisa digunakan oleh siapa saja, di mana saja, dalam skala apa saja. Tak hanya mereka di Indonesia bagian timur yang memang rata-rata berlimpah sinar matahari sepanjang tahun dengan intensitas cukup tinggi, kita pun sebenarnya bisa memanfaatkannya.
"Tagihan listrik saya bisa berkurang hingga 1 juta per bulan," Pak Sumaryo bercerita. Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) ini memasang panel surya dengan kapasitas 6.000 Wp (wattpeak) di rumahnya di bilangan Depok. Sebagai solar power enthusiast,beliau menyebut dirinya, menggunakan tenaga surya adalah salah satu ikhtiar penggunaan energi terbarukan dan sekaligus pemanfaatan sumber energi setempat. "Kini kita pun bisa jadi prosumerlistrik," tambahnya.
Ketika ditanya mengenai harga, Pak Sumaryo tersenyum simpul. "Iya memang untuk soal harga masih relatif mahal, namun seiring perkembangan teknologi itu akan menjadi lebih murah," jelasnya. Belum banyaknya permintaan, teknologi yang belum sepenuhnya matang, hingga persoalan komponen yang lebih banyak impor memang menjadikan instalasi panel surya rumahan belum banyak dilirik orang. Padahal penggunaannya sangat bisa mengurangi tagihan listrik di rumah, sebuah hal yang biasanya menjadi prioritas ibu-ibu. Hahaha. Saat ini harga instalasi panel surya berkisar di Rp 15.000 - 17.000 per watt, yang berarti jika kita ingin memasang panel surya berkapasitas 1 kWp, ya harganya setara dengan 1 buah iPhone 7.
Pertanyaannya, untuk skala rumahan, baiknya kita pasang kapasitas berapa? Secara kasar, perhitungan kebutuhannya sederhana. Kita tinggal menghitung konsumsi listrik harian dalam kWh (kiloWatt hour). Dengan asumsi listrik yang dapat diproduksi efektif oleh panel surya adalah selama 3 jam, kebutuhan tersebut tinggal dibagi 3 dan didapatkan hasil berupa kapasitas dengan besaran Wp atau kWp. Ini hitungan kasar, karena belum memperhitungkan listrik untuk inventeryang mengubah listrik DC dari tenaga surya menjadi AC (untuk alat rumah tangga) dan juga baterai.