Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Kejayaan Negeri Bollywood

24 Agustus 2017   21:49 Diperbarui: 25 Agustus 2017   18:42 3219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si ganteng SRK (kredit foto: Getty Images)

Suatu hari Shah Rukh Khan (SRK) diundang untuk berbicara di TED Conference. Jika SRK sangat terkenal di Indonesia (setidaknya untuk mereka yang kira-kira usianya tak jauh dari saya atau lebih tua, hehe), maka tidak demikian adanya dengan para audiens TED waktu itu. SRK dengan rendah hati (dan sekaligus pede) mengatakan, "I've also been made to understand there are lots of you here who haven't seen my work, and I feel really sad for you."

Audiens tertawa dan memberinya tepuk tangan meriah.

SRK adalah sedikit dari sekian banyak pemain peran dan bintang di Bollywood yang layak disebut ikon. Siapa yang tak ingat Kuch Kuch Hota Hai, Mohabbatein, dan My Name is Khan? Sejak aktif dari tahun 1988 hingga sekarang, SRK tetap merupakan figur yang berpengaruh dan diingat orang di dunia Bollywood, bahkan di dunia. SRK sering sekali disebut sebagai salah satu figur India yang paling dikenal dunia.

India Punya Seribu Cerita

Bicara Bollywood, India punya banyak sekali cerita dan pemain peran yang berbakat. Selain SRK, saya punya Khan lain yang menjadi favorit: Aamir Khan. Sebagai produser sekaligus aktor, film dan peran yang dimainkannya sungguh membuat geleng-geleng kepala. Dari mana dia bisa mendapat ide film tersebut, bagaimana dia bisa berperan dengan begitu bagusnya? Dan mengapa India ini begitu sukses dan masif "menyerbu" dunia dengan film-film Bollywood-nya?

Tak hanya film, India juga merupakan negara yang disegani di bidang IT. Banyak sekali orang India yang menjadi ahli IT, menawarkan bisnis IT, hingga menjadi bagian dari business process outsourcing. 

Saking suka dan besarnya potensi India di bidang IT, perdana menteri Narenda Modi sampai mendeklarasikan Digital India di tahun 2015. Kampanye ini terfokus pada meningkatkan layanan masyarakat melalui internet, meningkatkan ketersambungan, dan mendorong India menjadi negara yang kuat di bidang teknologi informasi.

Semangat membara di urusan "duniawi" ini tak lantas membuat India melupakan urusan lain. Misi Chandrayaan-2 dijadwalkan akan diluncurkan awal tahun 2018, setelah Chandrayaan-1 berhasil mengorbit bulan. India sudah mau dua kali ke luar angkasa, man.

Bentar, masih ada lagi.....

Modi vs Merkel

India ini negara yang sebenarnya punya kemiripan dengan Indonesia. Iklim tropis nyrempet, punya area luas, punya penduduk banyak (India sampai milyaran sih). Sebagai negara berkembang, tantangannya pun mirip-mirip: peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia, peningkatan pertumbuhan ekonomi, juga persoalan infrastruktur dan akses energi. Yang terakhir ini angkanya cukup fantastis jika dibandingkan. 

Di Indonesia, masih ada sekitar 5 juta rumah tangga (atau sekitar 20 juta penduduk) yang belum mendapatkan akses listrik. Di India, jumlahnya lebih dari 10 kali lipatnya! Iya, masih ada sekitar 230 JUTA penduduk India yang belum menikmati akses listrik.

Merasa sedikit lebih baik? Jangan.

Jika Merkel berani melakukan revolusi energi, perdana menteri India juga tak mau kalah. Sebelum Modi menjadi perdana menteri, Manmohan Singh meresmikan sebuah prakarsa tenaga surya nasional yang disebut The Jawaharlal Nehru Solar Mission. 

Di tahun 2010 saat diumumkan, pemerintah berkomitmen untuk memproduksi 20 GW listrik dari tenaga surya di tahun 2022. Mungkin karena gengsi dengan perdana menteri sebelumnya, Modi mengubah target tersebut menjadi 100 (SERATUS!) GW, masih dengan kerangka waktu yang sama.

Gile lu Mod.......

Kebun panel surya di India (kredit foto: Scroll.in)
Kebun panel surya di India (kredit foto: Scroll.in)
Modi memang tak main-main. Mirip seperti Merkel, Modi sangat mendukung penggunaan energi terbarukan untuk pembangkitan listrik. Pemerintah India sendiri sudah mendeklarasikan bahwa mereka tak lagi memerlukan pembangkit listrik bertenaga batubara dan berkomitmen kuat untuk mewujudkan cita-cita Modi yang tinggi ini. 

Banyak yang mengatakan target 100 GW ini terlalu tinggi, terlalu ambisius; meski potensi besar, penerapan di lapangan tentu memerlukan perencanaan yang matang. Tak hanya rencana, juga pendanaan yang jelas, penyaluran listrik yang berkelanjutan, dan dukungan untuk pihak-pihak non-pemerintah yang ikut ambil bagian dalam cita-cita besar ini.

Per Juni 2017, kapasitas total pembangkit listrik tenaga surya yang sudah terpasang adalah 13 GW. Pertumbuhan ini fenomenal, mengingat hanya 3 tahun sebelumnya, India baru memproduksi listrik dari tenaga surya sekitar 2,7 GW saja. Sebagai catatan, Kementerian ESDM saat ini memiliki target PLTS 6,4 GW di tahun 2025.

Pemerintah India memang tak setengah-setengah dalam usaha mengejar cita-cita luar biasa ini. Kekeraskepalaan Modi untuk memasang target tinggi adalah pertanda komitmen politik yang kuat. Dalam urusan negara yang melibatkan banyak lembaga, komitmen politik amatlah penting untuk memastikan ada target yang jelas, arah yang sama jelasnya, dan kepastian adanya anggaran. 

Selain itu, komitmen politik juga mendorong tumbuhnya kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan (atau dalam kasus India: tenaga surya), yang bila diturunkan berkaitan erat dengan bagaimana rencana diimplementasikan, bagaimana koordinasi dilakukan, bagaimana berbagai pihak dilibatkan, bagaimana pendanaan dipikirkan dari segala sisi, serta bagaimana terus "mendewasakan" teknologi dan mendorong inovasi.  

Cita-cita Modi ini tentu bukannya tanpa masalah. Untuk mengimbangi kegalauan tenaga surya ini, India masih bergantung pada batubara, yang sedang diusahakan dikurangi dengan penyimpanan listrik dari tenaga air atau penggunaan gas alam yang lebih bersih. Kepadatan penduduk di India juga berarti sulitnya pembebasan lahan, mirip dengan pertanyaan, "Di mana bisa mendapat tanah luas untuk dijadikan kebun PLTS di Pulau Jawa?" 

Belum urusan bayar membayar alias pendanaan dan industri panel surya. Paling huwow adalah India pernah dituntut AS karena pemerintah India mensyaratkan beberapa komponen kunci dalam pembuatan panel surya dibuat dalam negeri. Maksud pemerintah India baik, melindungi produsen dalam negeri dan mendorong industrinya, namun ini dinilai tak sejalan dengan kesepakatan internasional berdasarkan perjanjian WTO. Selain itu, 

Modi juga masih terfokus pada PLTS skala besar pada jaringan yang sudah ada untuk mengejar target besar 100 GW tadi. Sementara untuk dua ratus jutaan penduduk India yang belum mendapat listrik tadi, seharusnya juga dijadikan prioritas dengan proyek-proyek skala kecil atau program panel surya atap.

But anyway, India is moving forward, fast. Apakah orang India memang ambisius untuk segala hal dan ngotot mengejar cita-cita mereka? Bisa jadi. Bollywood berjaya, solar mission juga tak boleh di belakang terlalu jauh. Modi punya waktu 5 tahun untuk mengejar 87 GW.

Jadi, belajar apa kita dari India hari ini?

Salam hangat,

Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun