Kemarin (21/08/2017), gerhana matahari terjadi di beberapa lokasi di Amerika Serikat. Rasanya semua heboh membicarakannya, termasuk Elon Musk (ehem) yang menyaksikan gerhana dari mobil Tesla-nya hingga para pelancong dan fotografer yang sudah mencari lokasi premium sejak berbulan-bulan sebelumnya. Euforia seperti ini juga sempat terjadi di Indonesia, banyak yang sudah merencanakan perjalanan ke spot-spot yang dilewati gerhana matahari.
Kini gerhana matahari merupakan sesuatu yang menarik dan dinantikan untuk dilihat. Padahal di zaman kuno dan di beberapa kebudayaan, gerhana matahari kerap dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Dalam kebudayaan China misalnya, gerhana matahari konon disebabkan karena seekor naga melumat matahari.
Orang Jepang percaya bahwa gerhana matahari berarti sedang ada wabah yang menyebar, sehingga mereka menutup sumur-sumur. Sementara kearifan lokal Indonesia, misalnya Jawa, mempercayai bahwa gerhana matahari terjadi karena Batara Kala dendam dengan Surya. Ini ditambah dengan larangan wanita hamil dan anak-anak untuk keluar rumah supaya tidak terkena murka Batara Kala.
Gerhananya tahun depan aja boleh?
Matahari, alias Mas Surya, adalah potensi energi terbarukan yang paling panas. Panas secara harfiah dan juga panas untuk diperbincangkan. Ya mau gimana ya, surya ini adalah sumber energi kehidupan yang sangat krusial plus memiliki potensi yang juga sangat tinggi. Indonesia khususnya, karena kita negara tropis dan berlimpah matahari. Secara teori potensi tenaga itu lebih dari 3.000 GW, meski secara teknis barangkali "hanya" 560 GW yang bisa digunakan sebagai sumber energi. Kecil? Melistriki sepertiga pulau Jawa kira-kira hanya perlu 7 GW, lho.
Masalahnya adalah, surya ini termasuk dalam golongan energi terbarukan yang sifatnya bervariasi. Bahasa kerennya variable renewable energy (VRE), yaitu sumber energi terbarukan yang galau alias berubah-ubah seperti matahari dan angin. Gimana nggak galau kalau menit ini cerah, menit berikutnya bisa mendung. Energi galau (kita sebut saja begitu) ini juga keras kepala. Jika pembangkit listrik batubara bisa dimatikan dan dihidupkan sesuka hati (nggak gampang juga sih), maka pembangkit listrik energi galau ini tidak bisa kita "perintah". Atau mungkin bisa dengan pawang hujan? Ehehehe.
Jadi bayangkan jika kita berada di sebuah PLTS skala besar di padang gurun Mojave. Luasnya 1600 hektar, mampu menghasilkan listrik 300 MW (ya kira-kira sebesar PLTP Kamojang). Mendadak mendung, otomatis produksi berkurang. Kalau mendadak gerhana? Jika satu lokasi bergantung pada tenaga surya untuk listriknya, ya risikonya mereka akan mengalami pemadaman listrik. Matahari ditelan naga berarti sumber energi untuk menghasilkan listrik itu hilang. Kita tentu nggak bisa bilang, "Plis, jangan gerhana dongs...."
Harus bisa meramal
Kalau dulu meramal cuaca dan gerhana itu dengan melakukan pengamatan bintang-bintang di bebatuan, di era ini kita sudah punya komputer dan para ahli. Kemampuan meramal alias memperkirakan cuaca dan peristiwa astronomi ini sangat krusial dalam mengukur bagaimana tenaga surya bisa dan tidak bisa diandalkan. Dengan data meteorologi yang lengkap serta model dan persamaan yang valid, kita bisa menghitung di mana area yang memiliki potensi tenaga surya optimal, pada hari apa pembangkit tenaga surya bisa beroperasi maksimal, hingga soal jika terjadi gerhana apakah pembangkit masih bisa beroperasi.
Amerika Serikat cukup ketar-ketir menyikapi gerhana. Batara Kala terakhir ngamuk di AS di tahun 1979. Dari tahun 70an sampai sekarang lansekap energi di AS jelas berbeda jauh. Saat ini AS memiliki banyak "ladang surya", beberapa di antaranya masuk geng terbesar di dunia. Jadi Energy Information Administration juga meramal jauh-jauh hari mana saja "ladang" yang akan terpengaruh gerhana, supaya bisa direncanakan cadangannya.
Selain peristiwa sekali dalam beberapa tahun seperti gerhana matahari, kemampuan meramal juga penting untuk menentukan harga. Ini hanya berlaku khususon negara yang harga listriknya ditentukan oleh pasar. Logikanya, semakin banyak suplai tentu semakin murah. Enak buat pelanggan, sungguh pahit untuk yang jualan.
Pernah dengar harga listrik negatif? Ini terjadi di negara yang punya sistem bursa listrik seperti Jerman. Ketika angin berhembus kuencang sampai jemuran terbang ke negara tetangga, produksi listrik meningkat dengan tajam dan jauh melebihi permintaan. Di bursa listrik, harga listrik per kWh atau MWh akan menjadi negatif. Kalau negatifnya sedikit, konsumen bayarnya juga lebih sedikit. Kalau negatifnya agak banyak, penjual listrik harus membayar konsumen supaya mereka mau beli listriknya. Jadi kemampuan meramal sungguh penting untuk membuat neraca untung rugi yang pas.
Itu kalau negara yang produsen listriknya bukan satu perusahaan ya. Jika menilik Indonesia, kasusnya tentu berbeda karena harganya ditentukan pemerintah. Bicara harga, saat ini pembangkit listrik tenaga energi galau masih sulit bersaing dengan energi fosil. Tarif listrik dari energi fosil saja kita masih disubsidi, mana mampu (dan mau) kita bayar listrik dari energi galau yang masih mahal? Mau diramal seperti apa juga kayaknya nggak ngefek.
Tapi kita sudah mulai mendorong pembangunan pembangkit listrik dari energi terbarukan termasuk energi galau, kok. Karena pemerintah perlu dibantu, maka pihak-pihak non pemerintah juga diundang untuk mengajukan proposal. Harga tentu masih diatur supaya masyarakat bisa membeli.Â
Serasi, seimbang, dan didekatkan
Karena kegalauannya itu pula, menggandeng energi galau untuk masuk ke jaringan listrik terintegrasi haruslah dilakukan secara seksama, serasi, dan seimbang (tidak perlu dalam waktu sesingkat-singkatnya).
Mengapa?
Karena harus ada tenaga penyeimbang ketika energi galau ini ngambek. Jika ada 2 MW tenaga surya yang masuk dalam jaringan, harus ada cadangan dalam jumlah yang kira-kira sama untuk antisipasi apabila mendadak mendung. Nggak bisa disimpan saja? Teknologi baterai saat ini masih tergolong "muda" (sehingga mahal) dan ukurannya juga masih besar (pernah lihat baterai mobil Tesla? Coba lihat ukurannya di bawah). Itu untuk mobil ya, bagaimana untuk pembangkit listrik yang bisa melistriki 1 kota?
Selain tantangan penyeimbangan, ini juga soal kedekatan. Lho kok kayak membahas hubungan. Biasanya, biasanya ya, daerah dengan potensi energi galau besar itu jauh letaknya dari mereka yang membutuhkannya. Angin misalnya, untuk mendapatkan kecepatan angin yang besar biasanya turbinnya harus dipasang di puncak bukit. "Mendekatkan" energi yang dihasilkan dari turbin di puncak bukit ke desa di kaki bukit tentu membutuhkan jaringan. Belum jika mau nyambung dengan jaringan PLN, bisa makin jauh. Makin jauh, makin mahal. Kalau mau menilik Jerman, mereka sumber anginnya banyak di utara, jadi harga listrik lebih murah di sana dibanding di selatan.
Jerman cuma daratan ya, bandingkan dengan Indonesia. Seberapa sulitnya, dan mahalnya. Namun karena kita adalah bangsa pejuang, segala upaya harus diusahakan untuk bisa menyediakan energi yang berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Maka pilihan membangun pembangkit jomblo alias terpisah dari jaringan PLN (off-grid) juga dinilai sesuai untuk daerah-daerah yang lokasinya sulit dijangkau. Kapasitasnya biasanya kecil, cukup untuk melistriki satu desa dengan pemakaian normal.
Begitulah tantangan energi galau ini. Indonesia jelas PR-nya lumayan ya. Namun seperti kata orang bijak: tantangan bisa banyak, usaha tentu tak boleh kalah banyak.
Orang bijaknya adalah saya.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H