Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cerita Sumba di Balik Instagram Dian Sastro

19 Agustus 2017   15:36 Diperbarui: 20 Agustus 2017   17:01 2558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu menginjakkan kaki di halaman sebuah rumah, mata saya langsung tertuju pada pojok halaman yang rimbun dengan berbagai tanaman menjalar. Di sudut kecil itu, buah pare berukuran besar bergelantungan indah dari bambu penyangganya, menggoda untuk dipetik.

Pak Jhon Ludgi berdiri di menyambut kami di depan kios pertaniannya. Istrinya, Mama Seni, tergopoh-gopoh menyediakan kursi plastik. "Sa kira masih nanti datangnya, tak sempat ganti bajulah ini," ujarnya sambil menyalami kami, tamunya. Senyumnya yang hangat dan lebar segera membuat saya melupakan perjalanan 5 jam berkendara dari Sumba Barat ke Waingapu di bagian timur Pulau Sumba.

Sumba Memang Instagrammable, Tapi.....


Beberapa waktu lalu, Instagram milik artis kenamaan Dian Sastro dipenuhi dengan banyak foto si cantik ini mengenakan tenun Sumba, menunggang kuda, hingga bermain berlari dengan anak-anak di Wairinding, sebuah bukit dengan pemandangan luar biasa di Sumba Timur. Foto-fotonya sungguh mempesona, cantiknya Dian dan cantiknya Sumba membuat foto-foto tersebut banyak menuai pujian. Dian Sastro berada di sana untuk mendukung kerajinan tenun Sumba dan kegiatan sosial untuk penyediaan air bagi masyarakat Sumba.

Sumba memang instragammable. Lansekap daerahnya eksotis, ada bukit, ada pantai, ada padang rumput. Di saat musim penghujan, tanaman dan rerumputan yang hijau semakin menambah manisnya pulau ini. Namun Sumba adalah pulau yang memiliki iklim kering. Musim kemarau di Sumba relatif panjang, yaitu 8 bulan. Musim hujannya berkisar di bulan Desember hingga Maret saja, saat di mana air cukup berlimpah di daerah yang berada di sepanjang jalur sungai dan resapan air. Di musim kemarau, biasanya daerah utara Sumba yang memiliki cukup air. Di daerah lain, masyarakat dan anak-anak harus berjalan jauh untuk mendapatkan air.

Jika air untuk kehidupan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk bertani. Padahal pertanian adalah mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Sumba. Di beberapa daerah, penduduk harus berganti mata pencaharian saat air langka, karena tanah mereka kering dan mereka tidak bisa bertanam. Banyak dari mereka yang memelihara hewan, seperti kerbau, sapi, kuda, dan kambing; yang kemudian diternakkan dan dijual untuk mengimbangi ketiadaan panen. Para perempuan juga umumnya menenun kemudian menjual hasilnya. Kain tenun Sumba memang terkenal cantik, secantik Dian Sastro.

Di luar tantangan musim, Sumba juga merupakan daerah yang miskin energi. Listrik belum tersedia total di sana, masyarakat masih bergantung pada cara memasak tradisional menggunakan kayu bakar. Selain tak ramah lingkungan, ibu dan anak-anak terpapar pada asap yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Penggunaan minyak tanah juga membuat keluarga harus mengeluarkan puluhan ribu per bulannya untuk membeli minyak tanah yang kini semakin langka.

Cerita Pak Jhon dan Mama Seni

Pak Jhon di halaman belakang rumahnya
Pak Jhon di halaman belakang rumahnya
Pak Jhon dan Mama Seni juga petani yang memiliki hewan peliharaan. Mereka memiliki sebidang tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Musim tak menentu, air sulit didapat, tanah juga semakin kering karena penggunaan urea yang selalu berulang. Mama Seni bercerita, beberapa tahun lalu mereka pernah tak panen dalam setahun. Tanah tak menghasilkan tentu sama dengan tak mendapatkan pemasukan.

"Tanah kering sudah, kebanyakan urea. Mana bisa tumbuh itu sayuran," Pak Jhon bercerita.

Di tahun 2015, Pak Jhon dan Mama Seni berkenalan dengan teknologi reaktor biogas. Masyarakat di Sumba umumnya memiliki hewan ternak, misalnya sapi, kerbau, babi, dan kambing. Melihat kotoran ternak miliknya hanya dibuang tanpa dimanfaatkan, Pak Jhon tertarik untuk memasang reaktor biogas di rumahnya. Reaktor biogas adalah teknologi fermentasi yang mengubah kotoran hewan (dan bisa jadi manusia) serta material organik lain seperti sampah basah dari dapur menjadi gas. Gas ini dapat digunakan untuk memasak (dengan kompor gas) atau untuk penerangan rumah. Salah satu teknologi energi terbarukan ini adalah alternatif tepat guna yang dapat digunakan sebagai pengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti minyak tanah.

"Mama sekarang beli gasnya tidak perlu banyak," kata Mama Seni mengenai pengalamannya menggunakan gas dari reaktor biogas untuk memasak. Jika sebelumnya Mama Seni bergantung pada kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak, kini biogas membantunya mengurangi pengeluaran. Jika sebelumnya Mama Seni harus menghabiskan minyak tanah hingga 40 liter sebulan, kini hanya 10 liter saja yang perlu dibeli. Selain itu Mama Seni juga memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus keluarga dan melakukan kegiatan lain.

Buangan dari reaktor biogas di rumah Pak Jhon juga digunakan sebagai pupuk organik. Ampas biogas yang disebut bioslurry ini memiliki kandungan senyawa organik yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Dalam kondisi cair (setelah keluar reaktor fermentasi), kandungan nitrogen pada bioslurry umumnya lebih tinggi dibandingkan ketika dikeringkan. Pak Jhon menyiramkan bioslurry ini ke tanah yang dimilikinya, tak mengira hasilnya akan baik. Dengan pupuk organik ini, Pak Jhon dan Mama Seni melihat bahwa tanah mereka mulai gembur dan bisa ditanami dengan baik. Sayuran, tomat, pare, hingga pepaya dapat ditanam di sana. Selain itu, menurut Mama Senin, tanaman yang menggunakan bioslurry ini memiliki ketahanan lebih tinggi pada hama dan bisa menghasilkan lebih banyak dibanding yang menggunakan pupuk kimia. "Buah dan daunnya juga lebih segar, meski tak segera disimpan di kulkas," tambah Mama Seni. Dengan bioslurry pula, Pak Jhon dan Mama Seni tak perlu membeli pupuk kimia yang biasanya mereka beli dengan harga Rp 90.000/sak. Mereka dulu menggunakan hingga 5 sak per bulan.

Manfaat ini yang kemudian ditularkan oleh Pak Jhon dan Mama Seni. Sebagai ketua kelompok tani di desanya, Pak Jhon menceritakan mengenai manfaat bioslurry dan juga menjual bioslurry di kios pertaniannya. Dalam bentuk cair, bioslurry ini dijual dengan harga Rp 10.000 per liter. Mama Seni yang kemudian memiliki waktu lebih banyak karena tak perlu mencari kayu bakar kemudian juga aktif dan menjadi ketua kelompok tani perempuan. Keberhasilannya tak boleh dinikmati sendiri, katanya. Hingga saat ini lebih dari 23 anggota kelompok tani perempuan merintis jalan serupa, menggunakan bioslurry sebagai pengganti pupuk kimia.

Pare, salah satu sayur yang ditanam Mama Seni
Pare, salah satu sayur yang ditanam Mama Seni
Hasil panen dari kebun Pak Jhon dan Mama Seni berlimpah, seperti yang saya lihat sore itu. Kualitas sayuran dan buah organik yang ditanam itu sungguh baik, sehingga kios pertanian Pak Jhon dan Mama Seni selalu laris. Selain menjualnya ke kantor-kantor di kota Waingapu, banyak pula yang langsung datang ke rumah. Tak heran, Pak Jhon dan Mama Seni kemudian menjadi local champion dan aktor percontohan Progam Biogas Rumah, sebuah kerjasama multistakeholder yang melibatkan Kementerian ESDM, lembaga donor, dan lembaga nirlaba.

Ketika bertemu lagi di Jakarta, Mama Seni bercerita, "Saya baru beli 2 petak tanah dan satu sepeda motor". Senyumnya kian lebar, matanya bersinar ceria. Penghasilan keluarganya dalam sebulan kini meningkat dari hasil penjualan sayur dan buah dari tanah subur yang dulu kering itu. Diakuinya, memasak menggunakan biogas kini lebih bersih dan sehat, juga lebih hemat. Mama Seni juga merasakan kepuasan dapat berbagi ilmu dan pengalamannya menggunakan biogas dan bioslurry pada para petani perempuan di desanya.

Maka ketika mengingat Sumba, Dian Sastro bukan yang pertama terbersit di ingatan. Kenangan yang muncul adalah cerita dan kehangatan Pak Jhon dan Mama Seni, di rumahnya yang mungil dan kebun sayurnya yang hijau.

Salam hangat,

Citra

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun