"Mama sekarang beli gasnya tidak perlu banyak," kata Mama Seni mengenai pengalamannya menggunakan gas dari reaktor biogas untuk memasak. Jika sebelumnya Mama Seni bergantung pada kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak, kini biogas membantunya mengurangi pengeluaran. Jika sebelumnya Mama Seni harus menghabiskan minyak tanah hingga 40 liter sebulan, kini hanya 10 liter saja yang perlu dibeli. Selain itu Mama Seni juga memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus keluarga dan melakukan kegiatan lain.
Buangan dari reaktor biogas di rumah Pak Jhon juga digunakan sebagai pupuk organik. Ampas biogas yang disebut bioslurry ini memiliki kandungan senyawa organik yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Dalam kondisi cair (setelah keluar reaktor fermentasi), kandungan nitrogen pada bioslurry umumnya lebih tinggi dibandingkan ketika dikeringkan. Pak Jhon menyiramkan bioslurry ini ke tanah yang dimilikinya, tak mengira hasilnya akan baik. Dengan pupuk organik ini, Pak Jhon dan Mama Seni melihat bahwa tanah mereka mulai gembur dan bisa ditanami dengan baik. Sayuran, tomat, pare, hingga pepaya dapat ditanam di sana. Selain itu, menurut Mama Senin, tanaman yang menggunakan bioslurry ini memiliki ketahanan lebih tinggi pada hama dan bisa menghasilkan lebih banyak dibanding yang menggunakan pupuk kimia. "Buah dan daunnya juga lebih segar, meski tak segera disimpan di kulkas," tambah Mama Seni. Dengan bioslurry pula, Pak Jhon dan Mama Seni tak perlu membeli pupuk kimia yang biasanya mereka beli dengan harga Rp 90.000/sak. Mereka dulu menggunakan hingga 5 sak per bulan.
Manfaat ini yang kemudian ditularkan oleh Pak Jhon dan Mama Seni. Sebagai ketua kelompok tani di desanya, Pak Jhon menceritakan mengenai manfaat bioslurry dan juga menjual bioslurry di kios pertaniannya. Dalam bentuk cair, bioslurry ini dijual dengan harga Rp 10.000 per liter. Mama Seni yang kemudian memiliki waktu lebih banyak karena tak perlu mencari kayu bakar kemudian juga aktif dan menjadi ketua kelompok tani perempuan. Keberhasilannya tak boleh dinikmati sendiri, katanya. Hingga saat ini lebih dari 23 anggota kelompok tani perempuan merintis jalan serupa, menggunakan bioslurry sebagai pengganti pupuk kimia.
Ketika bertemu lagi di Jakarta, Mama Seni bercerita, "Saya baru beli 2 petak tanah dan satu sepeda motor". Senyumnya kian lebar, matanya bersinar ceria. Penghasilan keluarganya dalam sebulan kini meningkat dari hasil penjualan sayur dan buah dari tanah subur yang dulu kering itu. Diakuinya, memasak menggunakan biogas kini lebih bersih dan sehat, juga lebih hemat. Mama Seni juga merasakan kepuasan dapat berbagi ilmu dan pengalamannya menggunakan biogas dan bioslurry pada para petani perempuan di desanya.
Maka ketika mengingat Sumba, Dian Sastro bukan yang pertama terbersit di ingatan. Kenangan yang muncul adalah cerita dan kehangatan Pak Jhon dan Mama Seni, di rumahnya yang mungil dan kebun sayurnya yang hijau.
Salam hangat,
Citra
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H