Tentu saja. Lalu tulisan ini berakhir di sini (wkwkwwk).
Beberapa waktu lalu, junjungan saya Elon Musk menyatakan hal ini:
Am departing presidential councils. Climate change is real. Leaving Paris is not good for America or the world.--- Elon Musk (@elonmusk) June 1, 2017
Benar, Amerika Serikat melalui presidennya yang fenomenal itu telah menyatakan akan keluar dari Paris Agreement, kesepakatan Konvensi Kerja PBB tentang perubahan iklim. Isinya sederhana saja: dunia bersepakat untuk menghentikan pemanasan suhu global hingga tak lebih dari 2 derajat celcius dari level era pra-industri, dan jika bisa, 1,5 derajat Celcius saja. Bersepakat tentunya harus disertai dengan perencanaan dan aksi jangka panjang. Begitu Trump mengumumkan keluarnya AS dari Paris Agreement, banyaklah figur publik dan CEO yang menyatakan keluar dari presidential councils,salah satunya Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX.
Meski secara resmi baru bisa keluar dari Paris Agreement (karena ada aspek legalnya) di tahun 2020, mundurnya Amerika Serikat sebagai salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) jelas mempengaruhi motivasi dan komitmen negara lain. Padahal negara-negara di dunia sudah bersepakat bahwa pemanasan global karena perubahan iklim harus ditanggulangi dengan aksi bersama dan dalam skala yang besar. Semakin banyak orang yang tinggal di water-stressed area,tanaman sulit ditumbuhkan, hingga punahnya berbagai spesies (paling ikonik terlihat kepunahannya: beruang kutub).
Di mana posisi Indonesia? Jokowi bukan Trump, dan begitulah yang kita harapkan bahwa Indonesia akan memegang komitmennya dalam mengurangi emisi GRK dan berperan aktif dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
Komitmen Indonesia
Tahun 2010, Indonesia sudah pernah menyatakan komitmen pengurangan emisi GRK pada dunia internasional. Angka yang dijanjikan pada waktu itu adalah mengurangi 26% emisi dari BAU/business as usual (kondisi tanpa aksi apa-apa) di tahun 2020 dengan usaha sendiri dan sebesar 41% dengan bantuan internasional (cocok ya dipakein tagar #KerjaBersama, hehe). Komitmen ini dipertegas dengan berbagai peraturan termasuk peraturan presiden.
Energi adalah salah satu sektor yang menyumbang emisi GRK terbesar (nomor satunya lahan). Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah bahan bakar fosil. Kehidupan kita dikelilingi bahan bakar fosil, lho. "Masa sih Mbak, aku ke kantor naik sepeda lho, nggak pake BBM kan itu, " ada yang berujar. Bagus, Mbak, tenanan. Masalahnya adalah, kita hidup di era "terang". Kita menikmati listrik untuk penerangan, pendingin ruangan, hingga mengisi daya alat elektronik. Listrik di Indonesia bersumber dari pembangkit listrik batubara. Dan gimanaaa? Yak, batubara adalah bahan bakar fosil.
Komitmen Indonesia pada dunia ini juga ditegaskan oleh Presiden Jokowi melalui nawacita program pemerintahannya, yang mencita-citakan tercapainya kemandiran energi dan ketahanan energi nasional. Di sektor energi, target spesifik yang ingin dicapai adalah porsi energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025. Namanya target ya kudu ambisius ya, cyin.
Transisi Energi dan Potensi Indonesia