Saat ini porsi energi terbarukan yang dipakai di Indonesia memiliki angka yang cukup tinggi, namun didominasi oleh air dan panas bumi. Pemanfaatan angin dan surya cenderung masih menjadi wacana dan diterapkan dalam skala-skala kecil, jauh tertinggal dari negara-negara G20 lainnya. Kebijakan dan peraturan yang ada saat ini juga dilihat belum menarik banyak pihak untuk ikut berinvestasi membangun pembangkit energi terbarukan di Indonesia.
Tantangan energi di Indonesia itu memang luas, kompleks, dan hampir selalu menjadi isu politis. Kita berkaca saja dari dialihkannya subsidi listrik untuk golongan 900 VA. Sadar tidak sadar, mau tidak mau, kita yang bisa membaca ini adalah golongan privileged, punya akses informasi dan punya akses energi. Kita tidak bisa menutup mata pada lebih dari 20 juta penduduk Indonesia yang masih gelap-gelapan. Ini baru isu energi dalam kelistrikan, belum isu transportasi. Jika dibandingkan dengan negara-negara G20 lain, subsidi bahan bakar fosil Indonesia (termasuk BBM) adalah yang terbesar. Mau mengalihkan subsidi, implikasi pada ekonomi, kepercayaan masyarakat, hingga ketahanan nasional menjadi pertimbangan.
Kebijakan tak populer untuk mengurangi subsidi dan mengalihkannya pada agenda lain sesungguhnya pertanda yang cukup positif. Pemerintah juga sudah mulai menggodok berbagai peraturan dan kebijakan yang dapat memberikan ruang kondusif untuk pengembangan energi terbarukan. Efisiensi energi dalam berbagai sektor juga terus digalakkan. Indonesia perlu mempercepat prosesnya, untuk bersama-sama bersama negara-negara G20 lainnya, berkontribusi dalam "menyelamatkan" masa depan bumi, mau bulat atau datar.
Selamat rapat Pak Jokowi dan segenap menteri. Ketertinggalan itu motivasi, bahwa kita punya banyak ruang untuk pengembangan diri.
Salam hangat,
Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H