Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jokowi Mendadak Bule

9 Februari 2017   16:13 Diperbarui: 9 Februari 2017   19:15 4438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nggak ada yang sama :)

Bapak bule (yang saya yakin bukan) bernama Jokowi tadi mengingatkan saya untuk merenung tentang ke-Indonesia-an saya dan bagaimana saya memaknainya. Si Mister itu memakai batik, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (dan fasih!), plus sempat-sempatnya menggunakan nama Jokowi. Cinta banget sama Indonesia ya Mister?

Saya jadi ingat pembimbing disertasi saya dulu yang juga suka sekali menggunakan baju batik. Ketika beliau memakainya, sudah mirip sama pak lurah di sini. Bedanya cuma di mata, pembimbing saya matanya sipit. Bulan madunya dulu juga ke Bali. Hobinya makan sate kambing, sampai fasih ngomong “kambing”.

Di mata teman-teman saya yang bukan warga negara Indonesia, negara ini punya banyak sekali kelebihan dan keunikan. Mulai dari negara tropis yang pantai-pantainya membuat iri, laut gunung daratan yang indahnya bikin ngilu, hingga budaya yang kental dan beragam dari ujung barat ke ujung timur. Tak heran Indonesia selalu menjadi hot pick untuk dikunjungi. Menurut World Travel and Tourism Council, pemasukan dari wisata dan kunjungan orang asing ini menyumbang 3,2% GDP di tahun 2014. Kecil? Iya sih, Cuma 300-an miliar. Uhuk.

Dermaga aja cantik, cyin.
Dermaga aja cantik, cyin.
Saya cinta dan bangga jadi orang Indonesia karena apa?

Tentu saja cinta dan bangga jadi orang Indonesia bukan selintas menggunakan batik atau menggunakan bahasa Indonesia alih-alih bahasa asing. Di era penuh ekspresi saat ini, keran (atau bahasa kerennya, facet) untuk menyampaikannya pun banyak sekali.

Sebagai pengamat kontes kecantikan (sambil mengibaskan rambut), saya tentu saja update dengan pemilihan Miss Universe yang diadakan bulan lalu. Kezia Warouw, Puteri Indonesia 2016, tampil memukau dengan kostum nasional seperti kostum Wonder Woman siap bertarung. Berwarna emas kemilau dengan sayap membentang lebar, membawa tongkat dengan bendera Indonesia, Kezia terlihat huwow. Jika sebelumnya inspirasi kostum nasional Indonesia mengambil tema agak-agak lokal, misalnya kostum wayang golek, burung merak, dan pakaian Dayak; kali ini Kezia membawa semangat kesatuan. Kostum keemasan seberat 20 kg itu diberi nama Garuda, Unity in Diversity, yang melambangkan Indonesia dan keragamannya yang tunggal ika. Meski tak mendapatkan predikat kostum nasional terbaik, kostum Kezia ini banyak dipuji pengamat kecantikan dan fans dari mancanegara. Kekayaan budaya Indonesia memang owsom! Melihat kostum nasional puteri-puteri yang dibawa ke kontes internasional itu membuat saya selalu ingat bahwa Indonesia itu banyak sekali ragam budayanya, semua tsantiikkkkk dan tsakeuuuup. Bangga rek dadi wong endonesah!

Kalau ngomongin Indonesia dari perspektif bule, saya suka sekali dengan Sacha Stevenson. Bule Kanada yang juga seorang Youtuber ini pernah membuat video “Enaknya Jadi Orang Indonesia Menurut Bule”. Video berdurasi 13 menitan ini membuat saya ngakak, malu, plus manggut-manggut. Selain membicarakan soal indahnya Indonesia, manusianya yang ramah (meski dia punya catatan tersendiri mengenai itu), Sacha mengatakan kalimat yang menohok: “Dengan paspor Indonesia, kalian bisa mendapatkan pengalaman yang sama dengan saya berpaspor Kanada berkeliling ke 10 negara.” Yep, Sacha mengagumi Indonesia dengan segala perbedaan dan keragaman dari Sabang sampai Merauke. Dari ladang ganja di Aceh (errrr…..) sampai “naik kapal yang keliatannya mau tenggelam” ke “pulau kosong yang ada biawak segede zzzzz”.

Asoi.

I think I love Indonesia that much is because of its diversity. Pergi ke Aceh, minum kopi di emperan, tak kenal waktu. Pergi ke Palembang, menikmati malam di Jembatan Ampera. Pergi ke Majene, makan “tetu”, si jenang sumsum terbalik. Pergi ke Ambon, dioleh-olehin jus pala. Pergi ke Rote, terpana melihat babi dan sapi leyeh-leyeh bersama di tepi empang. Setiap kali pergi ke tempat baru, saya selalu jatuh cinta. Lagi, berkali-kali.

Herannya, bagaimana bisa ya para pejuang kemerdekaan bangsa kita ini sepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan? Padahal bahasa daerah itu ribuan banyaknya. Kenapa bukan bahasa Jawa saja? Atau bahasa Manado? Atau bahasa Dayak? Bingung tapi saya makin cinta!

Mister Jokowi, terima kasih telah mengingatkan saya untuk (lebih) mencintai Indonesia. Sampai jumpa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun