Contoh kedua, soal berobat ke puskesmas.
Dulu saya termasuk kelompok manusia malas periksa ke puskesmas. Banyak pengalaman buruk: mengantri sampai berjamur, dokter atau staf kurang ramah, sering sudah tutup layanan padahal masih jam buka. Iya dengan pegang kartu Askes harga obat dan periksa tak seberapa, tapi nggondoknya banyak.
Pertama ke Jakarta, saya tak tahu dan tak berniat mencari tahu tentang puskesmas terdekat. Sok pede dengan kesehatan (*toyor kepala sendiri*). Lucunya, saya mulai melirik puskesmas terdekat ketika datang ke kantor kelurahan setempat. Puskesmasnya tingkat kelurahan, pas di sebelah kantor kelurahan dan kecamatan. Bersih, rapi, menggunakan sistem antrian rapi di depan yang dijaga pak satpam murah senyum. "Eh, bagus juga puskesmasnya," saya membatin. Belum berniat periksa, lagipula saya sedang sehat.
Suatu ketika gusi saya bengkak. Berhubung info sana sini ternyata dokter gigi di Jakarta habisnya paling murah 200 ribu (hihuuu), jadilah saya nekat ke puskesmas kelurahan itu. Di sana memang praktek dokter gigi dan umum. Datang, antri sebentar, daftar, bayar 2000 (iya, dua ribu) karena faskes tingkat satu saya bukan di sana.
Jika faskes tingkat satu memang di puskesmas tersebut, tidak perlu bayar. Dicek tensi, berat badan dan suhu oleh asisten dokter, lalu antri lagi, baru diperiksa dokter gigi. Karena perlu penanganan, ada tambahan biaya lagi, cukup mahal, yaitu……..(jeng jeng) dua puluh ribu. Bayangkan, hanya sepersepuluh tarif di klinik dokter gigi! Dokternya telaten, ramah, banyak mengingatkan. Obat tentu diberikan tanpa bayar lagi.
Ketika mengantri dokter gigi itu saya bercakap dengan pasien sebelah. Si bapak yang datang dengan satu anaknya itu bercerita dengan sumringah mengenai manfaat BPJS Kesehatan, terutama untuk anak-anaknya. Ketika si kecil sakit dan perlu imunisasi, mereka cukup datang ke puskesmas terdekat.
Ketika si kakak sakit gigi, mereka juga bisa datang ke puskesmas dan menikmati layanan kesehatan yang hampir gratis, karena rujukan faskesnya di sana. Ketika memerlukan tes darah dan di puskesmas kelurahan itu tak ada fasilitasnya, si bapak dirujuk cepat ke rumah sakit untuk penanganan selanjutnya. Si bapak bercerita dengan mata berkaca-kaca.
Saya jadi ikut terharu. Iuran saya dan peserta sehat lain yang belum dipakai dapat digunakan untuk memastikan orang-orang seperti si bapak dan keluarganya, juga si ibu dan keluarganya, guna mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Di lain kesempatan bisa jadi iuran si bapak, si ibu, dan orang-orang lain di luar sana yang menjadi sumber pendanaan layanan kesehatan yang saya terima. Â
Setelah pengalaman pertama yang menyenangkan itu, kini saya jadi advokat puskesmas. Sebagai pendatang di kota yang katanya serba mahal ini, saya selalu menganjurkan pada teman yang perlu berobat untuk mencoba dulu ke puskesmas. Perbaikan dan peningkatan model layanan seperti ini adalah sebuah penanda kemajuan yang baik, bahwa pemerintah sedang berusaha memerikan layanan kesehatan yang memadai untuk warga negaranya.
Aspek yang perlu dikembangkan? Banyak. Serupa seperti NHI Taiwan, revenue BPJS Kesehatan tak menutup expenditure. Iuran untuk peserta Kelas 1 dan 2 pun naik, kenaikan yang cukup signifikan. Mahal? Mirip dengan NHI pula, dengan fasilitas dan layanan yang saya alami hingga sekarang, saya oke dengan biaya sebesar itu.
Plus, jika kenaikan iuran itu dapat menjamin fasilitas kesehatan yang baik dan merata di seluruh Indonesia, I don’t mind. Tentu saja saya berharap antrian sampai tus-tus di loket pasien pengguna BPJS di rumah sakit akan segera berubah. Jumlah dokter dan tenaga kesehatan juga masih belum sebanding dan merata dengan jumlah mereka yang berobat. Tentu saja saya berharap kenaikan iuran dapat mengatasi masalah ini dengan segera. Orang sakit tak bisa menunggu, bukan?