Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Pertama Sekolah: Mendikbud vs Gubernur Jakarta

15 Juli 2016   11:43 Diperbarui: 15 Juli 2016   13:43 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin saya berbincang dengan seorang teman yang bekerja di lingkungan pemerintahan di DKI Jakarta. Saya bertanya apakah dia sudah kembali ngantor setelah mudik. Jawabannya membuat saya tertawa.

“Hooh Senin kudu masuk gak boleh telat nanti dimarahi Koh Ahok,” dirinya mengakui bahwa gubernur Jakarta yang ini memang menekankan disiplin yang tinggi pada para pegawai yang ada di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta, bahkan hingga ke tingkat terkecil.

Tak berapa lama, saya membaca berita mengenai ketidaksetujuan Ahok pada himbauan Mendikbud Anies Baswedan terkait #HariPertamaSekolah. Seperti sudah diketahui sejak beberapa minggu lalu, Kemdikbud mengkampanyekan pada masyarakat supaya para orang tua mengantarkan anaknya di #HariPertamaSekolah yang jatuh pada tanggal 18 Juli nanti. Mendikbud juga mengirimkan surat himbauan yang ditembuskan pada beberapa kementerian, meminta gubernur dan bupati memberikan dispensasi pada aparatur sipil daerah untuk bisa mengantar anaknya ke sekolah dan bekerja setelahnya. Sementara Ahok tidak setuju dengan ini karena berpendapat bahwa dispensasi jika diberikan bisa disalahgunakan. Sifat disiplinnya konsisten, sama seperti yang dialami teman saya tadi.

Lalu bagaimana?

Menurut Mendikbud....

Mendikbud Anies Baswedan berpendapat bahwa mengantar anak di hari pertama sekolah adalah bagian dari mendorong interaksi antara orang tua dan guru di sekolah untuk sama-sama menjalankan peran dalam pendidikan anak. Anies juga menambahkan pentingnya meningkatkan keterlibatan publik dalam pendidikan, bahwa pendidikan tak semata tanggung jawab pelaku pendidikan di sekolah.

Makes sense? Sangat. Kita tentu masih mengikuti perkembangan kasus guru yang dilaporkan muridnya ke pihak berwajib karena melakukan kekerasan (yaitu mencubitnya). Sementara kasus ini masih diproses, masyarakat dengan cepat membicarakan juga tentang orang tua si anak. Banyak yang mempertanyakan peran orang tua si anak dari dua sisi yang berbeda: sisi menyalahkan dan sisi mendukung. Banyak yang mendukung guru, tak sedikit pula yang mendukung si anak, terutama untuk sisi eliminasi penggunaan kekerasan di sekolah.

Sekolah memang seharusnya menjadi “taman”, tempat belajar yang menyenangkan, setidaknya itu yang saya alami. Tak ada yang mau dikerasi (apalagi secara fisik) orang dewasa saja tidak mau, bayangkan anak-anak. Namun seperti layaknya semua kejadian di muka bumi ini, hal-hal seperti itu tak unidimensional. Tidak satu dimensi, tidak pula satu sisi. Anak yang “nakal” (saya berikan tanda kutip karena definisinya luas) di sekolah, akar kenakalannya bisa berbagai hal. Salah satunya adalah pengasuhan orang tua. Tak sedikit orang tua yang abai dengan anaknya karena merasa sudah disekolahkan, sudah ada gurunya, semua beres. Padahal role modelutama dan terutama bagi anak adalah orang tua. Kalau orang tua tak peduli, tahunya mengirim anak ke sekolah, bayar, selesai; tanggung jawab guru dan pelaku pendidikan di sekolah berat sekali. Lalu ketika ada yang salah, yang disalahkan sekolahnya.

Fenomena seperti inilah yang mendorong Mendikbud untuk mengkampanyekan ajakan orang tua mengantar anak di hari pertama sekolah. Iya soal bondingdengan anak, juga soal membangun interaksi yang positif antara orang tua dan pelaku pendidikan di sekolah. Saya bukan anak yang dulu diantar sekolah, namun saya melihat bahwa orang tua saya juga menjalin komunikasi yang baik dengan guru-guru, setidaknya tahu dan pernah bertemu. Saya pun sesekali menyempatkan bercerita tentang guru-guru saya di sekolah. Untungnya saya anak rajin, jadi tak ada komplain dari guru-guru di sekolah (*uhuk).

Menurut Gubernur Jakarta....

Ahem. Mau membahas tokoh satu ini sebenarnya membuat seram. Hahaha. Bercanda. Konsistensinya soal disiplin memang perlu diacungi jempol. Bukan dengan alasan buruk, Ahok tentu melihat bahwa aparatur sipil pemerintah, apalagi yang urusannya dengan pelayanan publik, harus bekerja dengan maksimal. Ahok berpendapat bahwa himbauan tersebut bisa dijadikan alasan oleh PNS untuk masuk kerja telat. Mungkin sudah jadi rahasia umum bahwa tingkat kedisiplinan PNS sering dikritisi, misalnya petugas kelurahan yang datang jam 11 jam 12 pulang, pemrosesan dokumen yang lama, hingga tak adanya petugas di puskemas. Jangan sampai PNS di lingkup pemerintahan DKI Jakarta kemudian berbondong-bondong telat dengan alasan mengantar anak, itu yang menjadi kekhawatiran Ahok.

Ahok pun tak mengatakan bahwa himbauan Mendikbud ini tak baik, Ahok melihat ini sulit diterapkan. Ahok bahkan juga bercerita mengenai pengalamannya dengan Nicholas, anaknya. Ahok mengakui bahwa dulu ketika menjadi pengusaha, kesempatan mengantar anak itu besar. Ketika menjadi gubernur, disempatkan sebisanya karena ada urusan menyangkut hajat hidup orang banyak. Ahok juga mengatakan jika salah satu orang tua saja yang PNS, yang bukan PNS bisa saja yang mengantarkan anak.

Saya ingat tulisan Sri Mulyani Indrawati yang ini. Inti dari tulisan ini tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan (policymakers) sebaiknya melihat definisi kesuksesan. Kalimat pertamanya langsung menohokThe most important word in “public policy” is‘public’ – the people affected by the choices of policymakers.

It is never easy to be policymakers. Saya kira Ahok pun punya sudut pandang yang sama dengan Sri Mulyani. Ketika menjadi aparatur (sipil) negara yang memang bertugas memberikan pelayanan publik, kepentingan publik adalah yang terutama. Ahok sepertinya tak mau ada yang tak mendapatkan pelayanan di puskesmas atau tak bisa membuat KTP di kelurahan karena petugas yang bersangkutan masuk terlambat, misalnya.

Dilema?

Karena saya bukan orang tua, bukan juga guru, apalagi gubernur; saya melihat dua pendapat berbeda mengenai #HariPertamaSekolah ini bisa disepakati bagaimana menyikapinya. Saya setuju bahwa interaksi orang tua dengan pelaku pendidikan di sekolah itu penting, dan salah satu caranya adalah dengan mengantar anak ke sekolah dan berkenalan dengan guru-gurunya. Ahok juga punya pendapat yang berdasar, bahwa mereka yang bekerja sebagai aparatur sipil negara hendaknya bekerja dengan maksimal, termasuk soal aturan jam kerja.

Mengantar anak ke sekolah hanyalah satu cara, ada banyak cara lain. Pun ketika orang tua tak bisa mengantar anak di #HariPertamaSekolah, orang tua bisa menyempatkan diri datang di lain waktu. Interaksi itu bisa dibangun dengan media komunikasi yang bermacam-macam pula. Mereka (terutama PNS) DKI Jakarta yang hendak mengantar anak ke sekolah di #HariPertamaSekolah, bisa ambil cuti (Ahok tidak melarang cuti kan ya? Hihi). Pergantian tugas bisa juga dilakukan, sepanjang tidak mengganggu kinerja. Cara menyikapinya tidak hanya satu, bisa macam-macam dan bisa dipikirkan.

Saya malah berpikir soal macet. Tahu sendiri semua sekarang menggunakan kendaraan. Jika semua anak diantar orang tuanya, cem mana itu jalan depan sekolah?

Atau jangan-jangan Ahok melarang PNS DKI mengantar anaknya supaya jalanan Jakarta tidak bertambah bikin stress?

XOXO,

Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun