Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mimpi yang Tinggi dan Hijau

30 September 2015   20:17 Diperbarui: 30 September 2015   20:22 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Iklim berubah, dan karenanya kita harus sigap dan mengedepankan kerjasama dalam menghadapinya.”

Kata-kata itu diucapkan oleh Professor Mooyoung Han dengan nada optimis dan bukan keputusasaan.  Saya tergelitik mendengarnya. Dikenal sebagai Dr. Rainwater – doktor air hujan – Professor Han memang seseorang yang memiliki minat tinggi dan pengalaman banyak terkait hujan dan penanganan masalah yang menyertainya. Di kampung halamannya, Seoul, Professor Han terus mengembangkan berbagai solusi untuk tantangan yang dihadapi kota metropolitan ini, tak terkecuali ruang hijau terbuka (RTH).

Salah satu proyek yang dikerjakannya adalah taman hijau di atap gedung (rooftop garden).

Menjadikan atap salah satu gedung di universitasnya sebagai model, Professor Han mendesain ruang terbuka hijau dengan berbagai tanaman dan dengan bantuan berbagai pihak: pemerintah dan swasta mengenai pendanaan, mahasiswa, dosen, dan masyarakat sekitar untuk pengeloaan tamannya. Selain berfungsi untuk mengurangi volume air yang tersirkulasi ke saluran bawah (yang sering menyebabkan banjir), taman ini juga menambah portfolio solusi ruang terbuka hijau di Seoul yang sebelas dua belas dengan Jakarta: penuh gedung bertingkat dan sangat metropolis.

Sejak tahun 2002, pemerintah kota Seoul memang memberikan alokasi dana untuk membantu pembuatan “small ecological parks” di berbagai atap gedung di seluruh kota. Dengan menihilkan biaya pembebasan lahan dan mengajak pihak swasta untuk berkontribusi, Seoul kini punya berbagai rooftop garden yang nyaman untuk warganya. Gedungnya bisa jadi milik privat, namun pemerintah kota Seoul berbangga dengan caranya yang cerdik: dana dari pemerintah datang dengan syarat, bahwa taman itu harus dibuka untuk umum sepanjang lima tahun setelah selesai dibuat.

Jakarta dan Seoul: Saudara Kembar

Ketika berpikir tentang taman terbuka di atap di Jakarta, lucunya saya tak punya referensi. Ada satu, sebuah restoran terkenal yang harga makanan dan minumannya cukup mahal (yang jelas tak masuk kategori ruang publik atau ruang terbuka hijau). Lucunya lagi, Jakarta dan Seoul adalah dua ibukota negara yang memiliki banyak kesamaan, terutama terkait jumlah bangunan tinggi yang ada.

(sumber: The Skyscrapper Center)

Jakarta ranking 12, Seoul ranking 10 untuk daftar kota di dunia berdasar jumlah bangunan yang tingginya lebih dari 150 m. Dengan jumlah populasi yang tidak berbeda jauh, berbagai masalah yang menyertai jumlah populasi ini juga tak jauh berbeda, termasuk di antaranya kurangnya ruang publik, terutama ruang terbuka hijau. Tanah sudah menjadi mahal, tanah sudah dimiliki oleh pengembang, tanah sudah terhimpit berbagai bangunan.

Then again, belajar dari Seoul, apakah anggaran besar milik pemerintah untuk membeli lahan itu bisa dialihkan menjadi insentif bagi pembuatan taman atap di berbagai gedung milik swasta di Jakarta?

Tinggi, Hijau, dan Fungsional

Konsep taman atap sendiri sudah lama kita kenal dengan satu contohnya yang paling sering diulang di buku ilmu pengetahuan sosial atau sejarah: Taman Gantung Babilonia. Adopsinya kemudian mulai berkembang ketika kita membangun gedung-gedung tinggi. Di tahun 1980an, Jerman memiliki program Ecoroof. Asia pun menyusul dengan Flying Green Project di Jepang, Skyrise Greening Project di Singapura, dan rooftop garden yang diintegrasikan oleh pemerintah Seoul untuk program Green Seoul.

Rooftop garden, sesuai namanya, memang berfungsi sebagai area hijau. Area hijau memiliki fungsi yang jelas dan terukur (tangible), misalnya memberikan ruang teduh, “menghasilkan” jika digunakan untuk area tanam, dan menyerap air. Namun taman atap juga memiliki fungsi lain yang dampaknya berkelanjutan: pelestarian fungsi lingkungan, pendukung keindahan arsitektural, hingga ruang interaksi.

Ruang interaksi ini yang menarik untuk dibicarakan.

Satu, mengenai political will. Untuk mewujudkan taman atap yang terintegrasi, memadai, dan cukup dalam segi jumlah, pemerintah memang harus mau turun tangan. Peraturan Menteri PU No 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan bahkan sudah mengatur mengenai konsep dan aturan taman atap, mulai dari konstruksi hingga jenis media taman. Landasan hukumnya sudah ada, dan penerapannya yang ditunggu-tunggu. Kemauan pemerintah untuk menegaskan, memodifikasi, atau mengembangkan aturan ini bisa menjadi awal untuk membuat Jakarta tak ketinggalan dengan negara-negara tetangga, atau tak usah jauh-jauh, kota tetangga. Walikota Bandung Ridwan Kamil pernah menyatakan Pemerintah Kota Bandung mewajibkan bangunan memiliki taman atap. Kilas balik di tahun 2008, Pemerintah Kota Jakarta pernah menolak usulan Dinas Pertamanan Jakarta untuk membangun taman di 29 stasiun pengisian bensin (menilik angkanya, mungkin itu yang masuk dalam perencanaan Dinas Pertamanan Jakarta saat ini). Political will memang faktor yang penting, juga interaksi antar aktor yang ada di dalam dunia pemerintahan itu sendiri. Alangkah lucunya bila izin pembangunan mall dan perkantoran bisa diberikan, namun izin pembuatan taman tidak.

Dua, kolaborasi. Yang disebut ruang interaksi mensyaratkan adanya berbagai pihak. Jika hasil jadinya, yaitu taman atap, adalah ruang interaksi sosial untuk warga yang menikmatinya; maka jalan panjang proses pembuatannya adalah ruang interaksi antara pemerintah (sebagai penentu kebijakan) dengan pihak swasta (sebagai pemilik bangunan). Kebijakan akan berakhir kebijakan jika tidak dilaksanakan dan “dipaksakan”. Pihak swasta dalam hal ini memiliki peranan yang tak kalah penting karena kepemilikan bangunan (dan dengan demikian fungsinya) ada di mereka. Tantangan utama yang disebutkan biasanya biaya.  

Ahok sempat menyebut jumlah anggaran senilai 2,4 triliun untuk Dinas Pertamanan yang sedianya digunakan untuk pembebasan lahan belum terserap maksimal. Pada kenyataannya memang harga lahan yang tinggi adalah kendala yang besar bagi pemerintah untuk mulai membangun ruang publik. Target 50 hektar taman baru yang dicanangkan sejak 2012 belum juga tercapai karena masalah pembebasan lahan. Dan kita perlu juga berbahagia karena anggaran sejumlah 56,6 triliun akan dikucurkan untuk membangun 29 taman baru di Jakarta sepanjang 2012-2017.

Uang triliunan itu jelas bukan jumlah kecil. Dengan harga lahan di Jakarta yang mencapai sekian juta per meter persegi, biaya pembebasan lahan memang rumit. Seoul mensiasati tantangan ini dengan memberikan insentif pada pihak swasta untuk membangun taman atap. Sebuah langkah yang bisa dicontoh Jakarta. Jika pemilik gedung memang tidak memiliki pos untuk pembangunan taman atap, subsidi dari pemerintah akan membantu memastikan bahwa mereka akan mengerjakan itu, dengan biaya yang sepersekian kali lebih rendah dibanding mengeluarkan uang sendiri. Dengan mensubsidi biaya pembangunannya, pemerintah kemudian punya nilai tawar sehingga taman atap tersebut terbuka untuk umum. Dengan menggandeng pihak swasta pula, proses panjang taman atap ini adalah sebuah kolaborasi yang menguntungkan bagi dua pihak: pemerintah bisa menyediakan lebih banyak ruang terbuka hijau untuk warganya, pemilik bangunan memiliki nilai tambah di properti yang dimilikinya.

Tiga, tearing down the boundaries. Sebagaimana kota metropolitan lainnya di dunia, jarak yang lebar antara mereka yang berpenghasilan tinggi dan rendah adalah sebuah keniscayaan. Gedung tinggi hampir selalu identik dengan si kaya, sebagaimana harga hunian yang makin mahal jika makin tinggi. Dengan kolaborasi antara pemerintah kota dan pihak swasta, taman atap yang dibuka aksesnya untuk umum akan menjembatani jarak yang semakin melebar ini. Setiap warga berhak menikmati ruang terbuka hijau, tak peduli berapa penghasilannya sebulan. Akan menarik melihat interaksi yang terjadi bukan?

Taman atap, atau ruang publik lainnya, akan membuka interaksi dinamis yang tak putus di sebatas sapa, melainkan dapat mendukung kreativitas, pertukaran ekonomi, hingga mendorong kompetisi sehat dalam mewujudkan ruang terbuka yang menyenangkan untuk warga kota. Dan lagi-lagi, semangat kerjasama, semangat kolaborasi seperti yang diungkapkan Professor Han adalah kunci untuk mewujudkan cita-cita dan mimpi bersama. Pemerintah dengan political will, pihak swasta dengan kemauan bekerja sama dan menaati peraturan, kita warga biasa dengan semangat mendukung, berbagi, dan menjaga.

Kata pepatah, tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada tanah, atap pun jadi. Setuju?

XOXO,

-Citra

  

  

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun