Sebagai pejalan kaki yang antusias, saya menikmati jalan kaki 2,2 kilometer yang saya tempuh tiap harinya. Trotoar yang tak telalu lebar tak menyurutkan niat saya. Sayangnya memang pedestrians have the rights of way itu masih sekadar slogan. Banyak sekali pemotor (yang kebanyakan tukang ojek!) seenaknya naik ke trotoar, terutama di jalan dengan rute putar balik yang jauh. Saya, dengan hak sah berjalan di trotoar, tak pernah sekalipun mau mengalah ketika ada sepeda motor di belakang atau depan saya, tidak peduli mereka mengeraskan suara motornya atau membunyikan klakson.
Saya tetap berjalan dengan regal, kalau perlu di tengah, sampai mereka kesal sendiri. Sebenarnya tak sekali dua kali pula saya mengingatkan, dan berakhir dengan sedikit adu argumen. But let's admit it, saya berada di pihak yang benar.
Hal ini saya tahu juga dilakukan oleh teman-teman saya. Satu fakta yang menyenangkan, karena tenyata kita tidak diam. Berusaha pula tak mendiamkan dengan menganjurkan hal yang benar.
Ini cerita penutup saya.
Di sebuah akhir minggu, saya mampir ke rumah seorang teman di Bandung. Ketika saya pulang, ada sekelompok anak kecil di ujung gang, salah satunya merokok.
"Kamu umur berapa?" saya bertanya.
"Sebelas"
"Umur sebelas udah ngerokok?"
"Iya," jawabnya dengan nada tak bersalah.
Teman-temannya juga bersikap biasa saja, begitu juga 2-3 orang bapak-bapak (yang juga merokok! duh!) yang berdiri tak jauh dari mereka.
Saya ambil rokok dari mulut si anak dan mematikannya.
"Nggak ngerokok lagi ya," saya berujar.
Si anak cuma mengangguk.
Itu satu contoh kecil saja yang menunjukkan bahwa rokok itu udah jadi masalah genting di Indonesia. Anak-anak udah banyak yang merokok dan orangtuanya, orang dewasa mendiamkan. Saya tak rela kesehatan mereka dikorbankan. Saya tak rela masa depan mereka berantakan. Saya tak rela diam.
Jadi, apakah kita bermental diam? Apakah kita akan diam dan mendiamkan?
XOXO,
-Citra