Mengamati dan merenung lebih jauh, komentar "ya iyalah" ini ternyata cukup banyak kita lontarkan, dan tak jarang menemani berbagai alasan kegagalan.Â
(lalu saya mengingat apakah saya pernah melakukan hal yang sama)
Ada yang karirnya naik cepat di sebuah perusahaan dikomentari, "Ya iyalah lulusan PTN ternama...."
Ada yang terlihat cukup sering jalan-jalan lintas benua dikomentari, "Ya iyalah duitnya banyak, orangtuanya kaya..."
Ada yang mendapat beasiswa bergengsi ke luar negeri dikomentari, "Ya iyalah banyak koneksi dan les sana sini..."
Mental kok mental ya iyalah.
Pernahkah berpikir jika orang yang pertama adalah seorang pekerja keras, yang jika ditargetkan dalam sebulan harus mendapat klien 10 orang, dia bisa mendapat 15 orang klien? Tidak melulu karena dia lulusan PTN ternama, itu juga karena perilakunya yang mau terus belajar dan mendorong dirinya sendiri untuk melampaui batas.
Pernahkah berpikir jika orang yang kedua adalah orang yang sangat jeli dalam mengatur keuangan dan rencana perjalanannya? Orangtua kaya tidak selalu identik dengan anak-anak yang dimanja. Siapa tahu dia menang kuis, rajin berburu tiket promo, atau memanfaatkan tempat kenalan untuk menginap gratis.
Pernahkah berpikir jika orang yang ketiga memang seseorang yang rajin dan mau berusaha? Bisa jadi dia menyisihkan uangnya untuk les intensif, rekomendasi dari referee juga didapatkannya karena dulu saat kuliah dan bekerja dia bersungguh-sungguh dan profesional.Â
Kita cenderung berkomentar "ya iyalah" tanpa melihat bagaimana latar belakang orang yang bersangkutan. Kecut dan memaklumkan serta menggampangkan apa yang terlihat, seakan semua mudah dan seperti apa yang tampak di permukaan. "Ya iyalah jadi menteri karena dekat dengan si A", "Ya iyalah bisa terkenal karena ibunya artis juga", "Ya iyalah bisa mendirikan start up karena orangtuanya pebisnis", dan sebagainya. Padahal bisa jadi faktor yang mendukung hal-hal baik tadi justru bukan karena faktor utama yang mengikuti "ya iyalah" tadi.
Alih-alih kecut, bukanlah lebih baik ketika kita menumbuhkan rasa penasaran dalam diri? Beda sekali ketika pemakluman dengan frasa "ya iyalah" itu diganti dengan: