Saya pengikut (follower) Pak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah di Twitter. Pak Ganjar ini termasuk pengguna yang aktif dan asertif dalam menjawab segala mention yang dialamatkan pada beliau, mirip seperti Ridwan Kamil. Berhubung si bapak sering muncul di linimasa, saya suka memperhatikan pola jawaban dan berbagai keluhan yang ditujukan pada beliau.
Mencermati gambar di atas, banyak sekali permasalahan dan usulan yang ditujukan pada gubernur. Misalnya usulan dari Maya Fitriliya P mengenai usulan memperbanyak tempat sampah di daerahnya, Pak Ganjar mengarahkan si pengusul untuk berkomunikasi dengan bupatinya. Atau ketika Berlyn Putra melaporkan ruas jalan yang rusak, jawaban Pak Ganjar juga serupa: usulkan pada bupati setempat. Banyak keluhan/usulan senada yang jawabannya serupa dan membuat saya teringat pada status-status sejenis yang muncul di Facebook.
Ada beberapa teman yang mengeluhkan pelayanan publik atau mengeluhkan perilaku sesama teman dengan mempublikasikannya di Facebook. Jika sedang senggang, saya biasanya iseng bertanya: sudah dibicarakan langsung dengan orangnya?Â
Jawabannya biasanya belum.Â
Mental Pengadu:Â Masalahnya Sama Siapa, Ngomongnya Sama Siapa
Di era media sosial, segala hal itu bisa dibagikan ke publik secara mudah. Generasi Y, yaitu mereka yang lahir di tahun 1977-1994 (jeda tahun ini bisa diperdebatkan), secara umum memiliki karakteristik tech-savvy, menggunakan dan mengadopsi teknologi dengan cepat, termasuk media sosial. Maka tak heran dengan populasi yang tinggi, generasi Y mengubah banyak pendekatan dalam berbagai aspek kehidupan. Didukung dengan kemajuan teknologi yang cepat, muncullah sistem-sistem daring (online) yang tak lagi mensyaratkan tatap muka, baik itu pertemanan, bisnis, hingga edukasi (ingat Coursera?). Everything is now on our hands, literally.
Karena tatap muka tak lagi menjadi syarat, teknologi pun semakin mendekatkan satu manusia dengan yang lainnya, tak terkecuali antara warga negara dan pemerintahnya. Dengan munculnya media sosial seperti Facebook dan Twitter, wakil rakyat di segala lini mulai membuka diri untuk berkomunikasi langsung dengan penduduk, baik secara individu mau pun secara institusi. Ada yang aktif seperti Pak Ganjar dan Ridwan Kamil, ada juga yang membuat akun kemudian selanjutnya menyerahkan pada tim admin atau membiarkannya vakum.Â
Keterbukaan wakil rakyat/institusi, teknologi, dan generasi Y yang aktif di sosial media banyak sekali memberikan dampak positif. Banyak laporan yang ditangani, banyak kondisi yang terekspos, banyak berita baik yang disebarkan. Foto anak-anak Banten yang harus bergelantungan menyeberang sungai untuk pergi ke sekolah tersebar sedemikian rupa hingga akhirnya Kemdikbud dan KemPUPeRa membuka laman pelaporan untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak, misalnya.Â
Selain dampak positif, saya juga melihat kecenderungan dari kita untuk menjadi manja dan pengadu. Sedikit-sedikit mengeluh dan mengadu di media sosial tanpa mencoba cara lain atau menyelesaikan masalahnya secara langsung dengan pihak yang berkepentingan. Masalahnya sama siapa, ngomongnya sama siapa. Terkait urusan birokrasi pemerintah, pola seperti ini bisa saya pahami dari kacamata warga negara yang lelah berurusan dengan birokrasi yang berbelit, misalnya e-KTP saya yang juga tak kunjung jadi hingga akhirnya saya juga lelah mengikuti perkembangan kebijakannya. Ada juga yang lelah mengajukan ini itu pada yang berkepentingan hingga akhirnya memilih potong jalur langsung ke yang lebih tinggi karena sistem top-down yang masih jamak berlaku di masyarakat kita. Saya bisa memaklumi kalau kondisinya begini. Sudah mencoba tanpa hasil, lalu mencari alternatif lain.
Yang sering membuat saya bertanya-tanya adalah ketika semuanya diadukan pada mereka yang posisinya tinggi dan lewat jalur publik tanpa lebih dahulu mencoba menyelesaikannya secara langsung dari bawah. Misalnya ada jalanan rusak di daerahnya, bukannya mencoba dulu menghubungi dinas PU di kabupaten, tapi langsung ngetwit ke gubernur. Bermasalah dengan layanan toko daring, tidak mencoba menghubungi CS dulu tapi langsung memaki-maki di Facebook. Punya masalah dengan temannya, bukannya mencari si teman dan menyelesaikannya, malah ngomel di Twitter dan no mention. Lalu saya mulai bertanya. Apakah ini terjadi karena banyak yang tidak tahu prosedur pelaporan keluhan? Apakah ini terjadi karena banyak yang malas untuk datang langsung ke orang/institusi bersangkutan? Apakah ini terjadi karena banyak yang takut berhadapan langsung dan menyelesaikan masalah dengan frontal sehingga perlu diumbar dan perlu dukungan publik?
Ini refleksi pribadi, sih, saya pun tak lepas dari hal-hal semacam ini.
Fenomena ini bisa jadi menggarisbawahi poin yang berbeda: prosedur konvensional yang kurang efektif sehingga harus langsung ke "kepala", soal birokrasi dan prosedur yang melelahkan dan membuat masyarakat a priori tanpa lebih dulu mencoba, atau kita yang terlalu manja dan kurang berani menyelesaikan masalah secara langsung. Tapi ya, saya menyayangkan bila kita mudah mengadu tanpa lebih dahulu mencoba menyelesaikan masalahnya dengan pihak-pihak yang berhubungan secara langsung.Â
Jadi ya, saya kagum dengan respon Pak Ganjar. Positif dan asertif. Ada masalah di salah satu kabupaten, beliau mengarahkan ke bupati. Ada masalah dengan salah satu instansi, beliau menyebutkan akun Twitter instansi yang bersangkutan. Tak hanya membudayakan keterbukaan dan tanggung jawab pada instansi di bawahnya, beliau juga mengajarkan pada kita untuk belajar menghadapi masalah dengan langkah-langkah yang tepat dan terarah, tak asal mengadu.
Catatan buat saya nih: sebelum mengadu, coba dulu. Yes.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H