Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Majene, Aset Pariwisata Sulawesi Barat

13 Juli 2015   11:03 Diperbarui: 13 Juli 2015   11:03 3917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Majene, Mandar, dan Manis

Penduduk Majene kebanyakan adalah suku Mandar, yang kental dengan budaya Islam. Nama Majene sendiri, yang sebenarnya diucapkan Maje'ne (Majekne, dengan "je" diucapkan seperti melafalkan huruf J), memiliki arti berwudhu atau bersuci. Konon ceritanya, dahulu kala ada seorang Belanda yang datang ke daerah ini. Si Belanda bertanya pada seorang nenek, apakah nama tempat tersebut. Sang nenek yang tak mengerti bahasa Belanda menjawab "maje'ne, maje'ne" karena beliau sedang berwudhu.

Tradisi unik di Majene adalah nyantap. Ketika kita bertamu ke rumah orang, kita akan selalu disuguhi dengan minuman dan makanan, dan kita diwajibkan untuk meminum dan memakannya. Menurut kepercayaan lokal, jika itu tidak dilakukan, bisa-bisa kita tidak selamat di jalan. Karenanya, jika kita keberatan untuk mengkonsumsi hidangan yang disediakan sampai habis, tamu harus mencicipi hidangan yang disediakan. Jika ada minuman, tuangkan minuman sedikit ke piring alasnya, kemudian ambil seculik air dengan telunjuk dan masukkan ke mulut. Atau mengambil seculik nasi dari centong kemudian memakannya jika disediakan makanan. Begitulah nyantap dilakukan di Majene.

Orang Mandar juga sangat suka dengan yang manis-manis, karenanya jangan heran ketika teh atau kopi yang dihidangkan sangat manis (agak terlalu manis untuk saya yang kadang minumnya tawar). Kue-kue dan camilan yang dihidangkan tentu saja berkawan erat dengan gula, misalnya tetu. Tetu ini serupa dengan jenang sumsum (bubur putih dengan kuah gula merah), hanya saja posisinya terbaik. Tetu ditempatkan di daun pandan, kuah gula merahnya ada di bawah, sedangkan bubur putihnya di atas. Ketika disendok, barulah kuah gula merahnya terlihat. Manis dan lezat! 

Sebagai pengganti nasi, jepa adalah sumber karbohidrat yang dikonsumsi penduduk Majene. Diolah dari singkong, jepa dimakan dengan lauk sebagaimana nasi. Bentuknya mirip dengan roti canai dari India. Satu lagi kebiasaan di Majene adalah makan dengan menggunakan tangan, meskipun ada sayur. Jepa juga dimakan dengan tangan, dikerat sedikit demi sedikit kemudian ditelan dengan lauk, yang kebanyakan adalah variasi masakan berbahan dasar ikan. 

Sebagian area di Majene juga merupakan perkebunan cokelat dan kopi, jadi jangan heran ketika disuguhi dengan kopi buatan sendiri. Pulang dari Manyamba, salah satu desa di Majene, saya dibawakan dua bungkus kopi buatan mamak (ibu). Sedap!

Jadi, kapan kita ke Majene lagi?

XOXO,

-Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun