Jika saya menyebut nama Dee Lestari, Ayu Utami, Fira Basuki, Okky Madasari, apa kesamaan di antara mereka? Benar, mereka semua adalah penulis novel, yang semuanya wanita. Faktanya memang di Indonesia banyak wanita yang berkiprah di dunia penulisan dan sastra, yang membuat ragam sastra Indonesia makin kaya, bersanding dengan nama-nama legendaris seperti Seno Gumira Ajidharma atau Joko Pinurbo.
Tapi bagaimana dengan media penulisan lain? Komik, to be precise? Adakah penulis komik wanita?
Lho, emangnya ada penulis komik?
Pertanyaan bagus. Komik adalah cerita bergambar, dan seringkali identik dengan artisnya, dengan perupa yang mengerjakan penuangan visualnya. Padahal komik mengandung cerita, plot, makna, yang semuanya berawal dari penulisan cerita. Tak ada cerita, tak ada yang bisa divisualisasikan. Istilah penulis komik kemudian sepertinya tak populer karena banyak komikus yang kerjanya memang dobel: menulis cerita dan menggambar. Orang tahunya Fujiko F. Fujio, yang sebenarnya adalah dua orang, sebagai komikus Doraemon, yang menggambar Doraemon. Siapa yang menulis ceritanya? Hiroshi Fujimoto atau Motoo Abiko?
Kenyataannya, memang ada yang namanya penulis komik. Mereka yang menulis cerita untuk komik, yang kemudian divisualisasikan oleh si artis. Tak semua artis komik memiliki kemampuan dan kemauan untuk membangun cerita, begitu pun sebaliknya, ada penulis yang memang menyukai media komik namun tak disertai dengan teknik untuk menerjemahkannya dalam gambar.
Ines dan NusantaRanger
Saya punya seorang teman. Keinesasih Hapsari Puteri, nama lengkapnya. Namanya memang membuat lidah sering kesrimpet (itu menurutnya sendiri), dan dia sering disapa Ines. Saya pertama kali bertemu dengannya sekitar tahun 2010 (maaf kalau lupa ya, Nes). Dikenalkan teman lain, lalu lebih sering berinteraksi lewat Twitter. Ketika akhirnya saya mampir bekerja di Jakarta, kami sesekali bertemu.
Akhir tahun 2013, dari akun Twitter-nya juga saya "kenal" dengan NusantaRanger. Dari namanya yang mengandung kata ranger,barangkali yang terbersit pertama di benak adalah Power Ranger. Benar, NusantaRanger adalah lima superhero yang "asli" Indonesia. Rangga, Naya, Rimba, Renata, dan George adalah lima pemuda berkekuatan super yang menjaga dunia (Marcapada) dari sosok jahat Kelana. Ceritanya Indonesia banget, percaya deh.Pertama kali membacanya, saya langsung kesengsem.
Ines adalah penulis ceritanya (dan artis komiknya Sweta Kartika). Ketika saya bertanya padanya mengapa ia mau bergabung dalam proyek yang diinisiasi oleh Shani Budi Pandita dan Tamalia Arundhina ini, Ines menjawab dengan senyum simpul, "Kalau komik Jepang bisa memasukkan unsur budaya kentalnya dalam komik-komik mereka tanpa membuatnya overly ethnic,kenapa kita tidak?" Selain misi utama pembuatan NusantaRanger untuk menyajikan cerita kepahlawanan yang berjiwa nusantara, Ines memiliki kerinduan membaca komik lokal yang tak cuma kuat di cerita, melainkan juga berunsur budaya. Para komikus Jepang luwes sekali memasukkan unsur budaya mereka seperti berdoa di kuil, hanami(kebiasaan melihat bunga sakura), juga budaya sesederhana mengantri di stasiun kereta. Ines berkeinginan menuliskan cerita yang demikian adanya, mengangkat nilai Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, keragamannya, bahwa Indonesia tak hanya memakai batik. Bahwa komik itu tak identik dengan Jepang, bahwa komik dengan nafas Indonesia sekaya NusantaRanger bisa hadir.
Di tangannya, cerita kepahlawanan yang tak berat hadir dengan sentuhan Indonesia yang pekat. Mulai dari universe(dunia) yang didesain menyesuaikan dengan lini masa dunia senyatanya, hingga pemilihan warna untuk para ranger.Kelana, sosok jahat yang ingin menguasai Marcapada, diceritakan memicu ledakan supervolcanoToba ketika hendak disegel oleh para ranger.Pertempuran sengit berikutnya terjadi di Tambora, Kelana tersegel untuk kedua kalinya, namun letusan Tambora saat itu memicu penurunan suhu secara global. Rangga, sang Nusa-Red, memiliki ruhelang Jawa, binatang endemik yang memang menonjol dari Pulau Jawa. Mengapa merah? Ines berkata, "Karena Pulau Jawa memiliki banyak gunung berapi yang aktif, maka merah adalah warna yang sesuai untuknya".
Saya tercengang. Setiap elemen dalam NusantaRanger didesain sarat dengan elemen Indonesia namun tak lantas membuatnya eneguntuk dibaca. Ines menceritakan resepnya: masukkan elemen Indonesia ketika ceritanya sudah ada. Menurutnya, jika dipaksakan untuk "harus ada yang Indonesia banget" baru kemudian dibuat ceritanya, kisahnya bisa jadi tak mengalir. Ines juga memilih untuk memasukkan sesuatu yang Indonesia bangetsesederhana hebohnya orang Indonesia untuk berkerumun ketika ada rame-ramesatu tempat.
Wow.
Ines dan Dunia Penulisan Komik
Ines memang baru memulai kiprahnya sebagai penulis komik. NusantaRanger adalah komik pertama yang ditulisnya, yang alirannya sangat manga; kemudian komik keduanya, God Complex (yang akan dirilis worldwide!), memiliki format Amerika Serikat. Baginya, dunia penulisan komik ini menantang dan menyenangkan.
Gaya dan teknik menulis komik tentu saja berbeda dengan menulis novel yang sarat kata dan prosa. Formatnya yang gambar dan memiliki panel membuat penulis komik harus fleksible, pandai menyesuaikan diri. Ines menjabarkan pada saya tentang tipe penulisan komik yang prosa bangetseperti Stan Lee (Marvel), juga tipe stripyang dituliskan untuk ilustrasi per panel atau per halaman. "Kalau sama Sweta (Sweta Kartika, artis NusantaRanger), naskahnya justru harus dibuat dalam poin-poin, karena dia lebih suka kebebasan menggambar", tuturnya.
Ines mengasah keterampilannya secara otodidak. Banyak membaca komik, banyak membaca mengenai penulisan komik, juga banyak berinteraksi dengan artis komik untuk mendalami gaya mereka menggambar. Dalam menyusun cerita, lagi-lagi Ines juga banyak membaca untuk menemukan referensi yang pas. Cerita yang menarik dan dapat dipercaya sehingga pembaca bisa menarik hubungan dekat dengan karakter yang ada di komik tersebut tak lahir dalam waktu singkat, tak juga proses yang mudah. Meski begitu, dari intonasi berbicara dan matanya yang berbinar-binar saat bercerita, saya tahu Ines sangat menikmati prosesnya.
Tak berhenti hanya sampai di hobi (membaca kemudian menulis komik), Ines memang berniat untuk menjadi penulis komik penuh waktu, dan ke depannya, menjadi editor penerbitan komik. Tahun lalu, Ines memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan menekuni dunia penulisan komik. Tantangan yang dihadapinya memang banyak, mulai dari profesi penulis komik yang belum dihargai optimal, referensi yang terbatas, hingga belum adanya standar industri komik di Indonesia. Ines berkeinginan dunia komik Indonesia bisa berkembang, tak hanya tidak dianaktirikan atau disalahartikan sebagai konsumsi anak-anak semata, juga bagaimana mengangkat nilai-nilai Indonesia yang kaya dalam media yang tak melulu tulisan dan sekilas pengetahuan.
Di antara Christiawan Lie dengan Return to Labyrinth (yang terkenal juga karena menjadi ilustrator untuk komik Transformer dan G.I. Joe), Ardian Syaf dengan The Dresden Files 11 (bekerja di DC Comics Amerika Serikat, dia suka menyelipkan Indonesia di ilustrasinya, seperti warung soto ayam di komik Batman), Faza Meonk dan Si Juki, Adimas Bayu dan Masdimboy, hingga Sweta Kartika dengan Maharaja Moksa dan Grey & Jingga; kini dunia komik Indonesia (and inextension,dunia!) disegarkan dengan si cantik Ines dan ceritanya yang mengundang untuk dibaca.
Sebagai fans berat NusantaRanger, saya tentu menunggu karya-karya Ines selanjutnya.
XOXO,
-Citra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H