Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Berwisata Kalau Belum Beretika

22 November 2013   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13851090061388754031

Ketika berpetualang ke Banyuwangi, saya dipertemukan dengan pantai yang saya tidak ragu sebut sebagai pantai terindah yang pernah saya lihat hingga saat ini. Pantainya tidak terlalu panjang, barangkali hanya 200 meter.

Pasirnya putih, tanpa jejak kaki, air lautnya berwarna hijau Persia, ombaknya sedang, dan di sekitarnya banyak pepohonan yang saya taksir umurnya puluhan tahun. Saya tercengang. Saya terpana. Saya bahkan lupa menarik nafas.

Pantai ini hanya bisa dicapai dengan perjalanan menembus hutan dengan kondisi jalan yang luar biasa jelek (batu dan tanah), ditambah berjalan kaki 1 km menerobos pepohonan. Jalan setapak, tentu. Tanah. Lalu melewati pantai berbatu yang perlu kehati-hatian ekstra untuk berjalan melewatinya.

Saya memang sengaja tidak memberitahukan namanya pada Anda.

Semakin susah jalannya, semakin terpencil tempatnya, semakin indah alamnya. Kalau tidak salah saya pernah membacanya di buku karya Trinity. Tentu saja benar. Dan sedihnya, mengapa itu benar adanya adalah karena kita manusia masih belum memiliki etika ketika berwisata. We take all those beautiful places for granted.

Di mata saya, etika berwisata adalah cara untuk melestarikan wisata Indonesia.

Contoh sederhana: tidak membuang sampah sembarangan. Saya sedih melihat seorang wisatawan asing berjalan memunguti sampah di G-Land. Saya sedih melihat tumpukan botol plastik di sekitar Pantai Bama (Banyuwangi), sisa-sisa dari mereka yang camping di sana. Sayang sekali pantai yang indah dengan pasir putih yang sama indahnya itu tercemari dengan plastik. Take nothing but pictures (and garbage, if necessary), leave nothing but footprints. Tidak sulit. Cukup membawa kantong untuk membuang sampah sementara, lalu dibuang ketika sudah bertemu tempat sampah. Sisipkan di kantong tas, bila sampahnya sedikit.

Itu untuk urusan sampah. Urusan lain, banyak. Bagaimana mematuhi anjuran-anjuran yang ada, misalnya. Kalau memang tidak boleh menyentuh sebuah relik di satu candi, ya jangan dilakukan. Banyak yang sok merasa jagoan untuk itu. Ingat dengan kasus seorang wisatawan China yang meninggalkan goresan nama di dinding kuil yang umurnya ribuan tahun? Tidak bisa dihapus. Mereka yang sering membawa cat untuk menulis nama di batu-batuan, sama bersalahnya. Lha ngapain menulis nama sendiri dan nama pacar di sana? Tidak ada yang mengenali juga. Jika memang dilarang memotret untuk objek-objek yang sensitif, turuti. No picture equals to hoax tidak lebih penting daripada menjaga warisan budaya bangsa. Jangan dahulukan pamer. Pamer tapi merusak kok bangga.

Menghormati wisatawan lain juga termasuk etika berwisata. Be considerate. Kenapa? Ketika mood seseorang sudah tidak lagi senang, yang namanya manusia, sisi kontrol dirinya akan berkurang. Yang tadinya kalem-kalem saja, bisa jadi kesal lalu merokok, misalnya. Hal sederhana tapi kalau dilakukan saat sedang jungle walk atau mendaki gunung dengan pepohonan kering disana-sini? Kebakaran hutan itu sulit sekali diatasi, lho. Saya masih ingat jelas dengan pengalaman saya mendaki Kawah Ijen. Jalan setapaknya memang berdebu, dan mereka yang tidak ngeh dengan kondisi jalan ini dan efeknya pada orang lain, kelihatan jelas berjalan sesukanya saat menuruni Ijen. Jalan diseret, keras, dan akibatnya jelas merugikan yang ada di belakangnya, debu beterbangan dimana-mana, membuat sesak. Mood yang tadinya senang setelah melihat matahari terbit, begitu turun jadi kesal.

Pembiasaan etika berwisata tentu saja bisa diajarkan sejak dini. Wong yang namanya darmawisata atau study tour sudah membanjir sejak TK sampai kuliah. Berulang-ulang, bertahap, karena etika itu tidak bisa dihafal, harus diterapkan. Juga dengan tindakan tegas dari petugas di area wisata yang bersangkutan. Teguran dan denda masih menjadi motivasi yang mendorong kita untuk 'taat', bukan?

Etika berwisata juga bukan hanya dari pelancong semata, juga dari pihak pengelola.

Saya justru tidak mendukung pengembangan fisik dan infrastruktur daerah wisata tanpa melihat analisa potensinya terlebih dahulu. Biarkan saja jalan ke G-Land tetap jelek seperti itu, setidaknya mereka yang berniat pergi kesana adalah mereka yang tahu diri, atau dalam kasus ini, wisatawan mancanegara yang bisa dibilang etika berwisatanya lebih baik dari kita. Banyak pengunjung memang membawa banyak keuntungan secara ekonomi, namun tanpa diimbangi dengan analisa mendalam mengenai kelangsungan daerah wisata itu sendiri, pengembangan wisata justru 'membunuh'. Ibaratnya terlalu banyak mempercantik diri (yang sebenarnya sudah cantik) dengan polesan segala rupa, operasi ini dan itu, yang mulanya akan membuat orang tertarik namun kemudian bosan. Setelah bosan dengan kecantikan artifisial, bisa tidak kembali ke kecantikan alami? Sulit.

Ini yang sering dilupakan pemerintah daerah. Sekalinya satu tempat wisata ramai, lalu jalan kesana diperbaiki, toilet didirikan, warung-warung 'diizinkan' bermunculan. Padahal semuanya bisa dibilang tanpa perhitungan: apakah tempat wisata itu bisa menampung sekian banyak orang, apakah mereka bisa memastikan semuanya beretika, apakah ada sumber daya dan sumber dana yang cukup untuk restorasi bila terjadi kerusakan. Yang penting dibangun dulu, retribusi masuk terus, lalu ketika potensi wisata itu meredup, ya sudah, ditinggalkan dengan kondisi rusak, sampah dimana-mana. Apa susahnya meluangkan waktu dan dana untuk melakukan assessment sebelum akhirnya mengembangkan sebuah tempat menjadi area wisata? Membatasi jumlah pengunjung yang datang itu sah-sah saja, jika memang harus demikian adanya untuk kelangsungan daerah wisata, terutama wisata alam dan budaya. Ini siapa yang bisa mengatur? Ya pemerintah, pengelola aset wisata.

Dilema moral, tentu saja ada di penulis memoar perjalanan seperti saya. Apakah saya akan mengabarkan pada dunia bahwa saja baru saja ketemu pantai yang indah, sehingga banyak orang akan kesana dan lalu merusaknya? Atau saya diam saja? Saya berjudi, berbagi ini, dengan harapan optimis bahwa kita semua punya nurani, punya akal sehat, punya kesadaran untuk beretika saat berwisata. Kita semua punya tanggung jawab yang sama, memelihara bumi, rumah kita yang cuma satu-satunya. Memelihara sejarah, karena kita tidak akan ada tanpa masa lalu. Dan ketika alam, sejarah, relik, dan bangunan menjadi tempat wisata, saya berharap kita ingat, bahwa kita 'memiliki' mereka, dan kewajiban kita juga untuk menjaganya.

Biarlah pantai indah yang saya temukan itu tetap sulit dicapai, jalannya tetap jelek, hutannya tetap lebat. Hingga ketika menyentuhnya, manusia sadar betapa alam itu sedemikian mempesona ketika tidak dicemarinya.

XOXO,

-Citra

P.S. Artikel ini ditulis untuk mengikuti lomba dari Kemenparekraf (Indonesia Travel).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun