Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Les Miserables: Dari Pentas Musikal ke Layar Lebar

23 Februari 2013   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:50 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membicarakan sebuah kisah klasik biasanya tidak akan ada habisnya. Les Miserables, salah satunya. Diakui sebagai salah satu karya sastra terbesar di abad ke-19, Victor Hugo membawa pembacanya terhanyut dalam sebuah tragedi yang berlatar belakang Revolusi Prancis. Novel aslinya yang setebal lebih dari 1.400 tidak menjadikannya sebagai bacaan yang membosankan, meski sebagian orang lebih memilih untuk membaca novel versi pendeknya (versi abridged), yang sudah dipangkas untuk menekankan pada adegan-adegan dan pesan-pesan penting.

Kisah klasik ini sudah diangkat ke layar kaca/lebar lebih dari 10 kali, termasuk versi musikalnya. Adaptasi Les Miserables ke dalam film yang pertama tercatat dalam sejarah ditayangkan tahun 1909, masih dalam bentuk film bisu. Lalu banyak bermunculan film adaptasi lain, hingga ke adaptasi versi anime, Les Miserables: Shojo Cosette, yang keluar di tahun 2007. Versi pentas musikalnya sendiri baru digarap di tahun 1980 dalam bahasa Prancis, kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Inggris di tahun 1985 dan dipentaskan oleh Royal Shakespeare Company. Pentas musikal inilah yang kemudian melegenda dan terus-menerus diproduksi, meski awalnya mendapatkan tanggapan negatif.

Jika film Les Miserables tahun 1998 yang dibintangi Liam Neeson dan Uma Thurman diadaptasi langsung dari novel versi abridged, maka Les Miserables tahun 2012 diadaptasi dari versi musikalnya.

Pembuatan film musikal tentu saja memiliki tantangan yang berbeda dibandingkan dengan film biasa. Tidak hanya dibutuhkan kemampuan akting yang mumpuni, yang penting juga adalah kemampuan bernyanyi. Selain masalah akting, tidak semua orang menyukai film musikal. Selain karena lambat dan mendayu-dayu, pelafalan dialog menjadi tidak sejelas ketika mengucapkannya secara biasa. Sementara dialog biasa terasa wajar bila diterjemahkan, lirik lagu yang digunakan dalam film musikal biasanya diset dengan rima tertentu sehingga terasa kurang wajar bila diterjemahkan. Karena beberapa faktor inilah, film musikal bisa jadi kurang bisa dinikmati oleh penonton.

Les Miserables versi musikal juga dihadapkan pada tantangan yang sama. Sutradara Tom Hooper bersikeras untuk merekam semua nyanyian secara langsung saat pengambilan gambar, tidak dengan lagu yang direkam sebelumnya dan saat berakting para aktor dan aktrisnya tinggal lipsync. Metode ini riskan karena suara yang terekam bisa jadi bukan merupakan suara paling prima dari para aktor dan aktris, apalagi karena mereka harus berakting. Meski begitu, Tom Hooper membuktikan bahwa para aktor, aktris, dan krunya mampu menyuguhkan film dengan akting berkualitas dan dengan suara yang tidak kalah mumpuni. Siapa menyangka Russel Crowe dan Anne Hathaway bisa mempertunjukkan kemampuan mereka menyanyi?

Lepas dari kisahnya yang legendaris, film musikal Les Miserables ini menjadi hits dimana-mana karena peran besar pemain-pemainnya yang memang tidak main-main. Saya memilih mengatakan bahwa Les Miserables adalah film yang bagus dengan pemain-pemain luar biasa. The movie is great, but the actors/actresses are awesome. Bagian paling menonjol selain ‘direct recording’ di film ini menurut saya adalah bagaimana Hooper sebagai sutradara memaksa penonton untuk ‘menelan mentah-mentah’ ceritanya dengan mengedepankan banyak gambar dekat (close-up). Banyak teman yang berkomentar bahwa film ini kasar, tidak runtut, perpindahan adegannya kurang dimengerti; tapi saya justru melihatnya sebagai sebuah penyajian dari sisi yang berbeda: mendewasakan penonton dengan membuat mereka ‘merapikan’ sendiri film ini. Ibaratnya, Hooper menawarkan sebuah ruangan bergaya Renaissance dengan lukisan-lukisan indah tergantung di dinding namun penuh dengan kertas-kertas dan serpihan yang berserakan. Mereka yang melihat kertas-kertas berserakan di ruangan dan bukannya cantiknya ruangan itu secara keseluruhan tentu saja tidak bisa mengatakan film ini bagus. But again, everyone to their own opinion, right?

Hooper juga membuat keseluruhan film ini bernuansa sendu, dengan hanya memberikan nuansa konyol dan lucu pada keluarga Thenardier. Helena Bonham Carter, tentu saja menjadi favorit saya. Dengan akting yang meyakinkan, sejak pertama melihatnya di Harry Potter (Carter memerankan Beatrix Lestrange), saya tahu dia seorang aktris yang mumpuni.

Lepas dari segala segi teknis Les Miserables yang dipentaskan dalam berbagai bentuk, sebagai seorang kutu buku saya selalu senang, kita hidup di era dimana buku itu bisa diwujudkan secara nyata dengan tata artistik yang mengagumkan.

XOXO,

-Citra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun