Pengalaman saya membuat film indie (film independen) hanyalah sebagai penulis naskah. Dan bukan film fiksi, melainkan dokumenter. But it is always worth to share, right?
Selama setahun, dari bulan April 2011 hingga April tahun ini, saya punya pekerjaan sampingan sebagai penulis naskah untuk tim video dokumenter Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan yang diberi nama Lentera Ide. Ada lima orang dalam tim ini: produser, sutradara,director of photography, video editor, dan penulis naskah. Karena merupakan video dokumenter dan formatnya distandarkan (dariplatformyang dikembangkan PPI Australia), tugas saya penulis naskah bukanlah menulis naskahfrom scratch, melainkan memberikan panduan pada narasumber untuk menuliskan kisah mereka (sebagai mahasiswa) dan mengedit naskah tersebut supaya sesuai dengan kaidah bahasa standar dan durasi. Selama setahun masa kerja saya, selain dua video reguler, Lentera Ide bekerja sama dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei (KDEI) juga membuat satu video dokumenter khusus mengenai anak buah kapal (ABK) Indonesia di Taiwan berjudul Baruna-Baruna Formosa.
Susah? Iya.Tapi menyenangkan (dan melelahkan).
Video dokumenter reguler yang durasinya “hanya” delapan menit dan Baruna-Baruna Formosa yang durasinya 30 menit itu merupakan kondensasi dari proses produksi berminggu-minggu. Kami semuanya “hanyalah” penggiat (ya fotografi, videografi, dan penulisan) dan bukan pemain profesional sehingga semuanya terasa berat.Sebelum tahap produksi (syuting); naskah, peralatan, shot-list, waktu, dan tempat harus dipersiapkan secara detail. Naskah sudah harus final dan ‘dipraktekkan’ supaya durasi yang ditetapkan sesuai. Kamera yang digunakan sudah harus disamakan setting-nya (jika yang digunakan lebih dari satu, meminjam sih seringnya :D), baterai semuanya harus penuh, juga alat-alat lain semacam reflektor, kabel data, dan microphone terpisah untuk merekam audio. Video dokumenter pertama yang merupakan proyek pertama hampir seluruhnya menggunakan “barang pinjaman”, karena waktu itu Lentera Ide belum memiliki alat sendiri. Kamera milik videografer, recorder milik teman lab, reflektor membuat sendiri dari aluminium foil. Hahaha.
Shot-list (adegan, pemeran, tempat, waktu) disusun berdasarkan kebutuhan naskah dan survei tempat. Adegan mengenai eksperimen di lab ya harus dilakukan di lab, jam sekian, dengan pemeran si A dan si B. Pengambilan gambar di ruang terbuka juga harus memperhatikan cuaca. Tentu saja kami tidak bisa merekam satu adegan dalam satu kali take. Adaaaaaaa saja kendalanya. Suara di mic kurang keras, hujan, naskah dibaca terlalu cepat, atau noise yang berlebihan di latar belakang. Ada satu cerita lucu (banyak sebenarnya), karena ada satu adegan yang direkam di depan kampus, maka recording harus dilakukan saat lampu merah untuk menghindari suara kendaraan. Lampu merah itu durasinya paling 30-40 detik. Gagal sekali, harus menunggu lampu merah lagi. Gagal dua tiga kali, ya menunggu lagi. Hahaha. Salah satu anggota tim waktu itu mengatakan, pantes kualitas sinetron Indonesia begitu, sekalinya ada satu yang salah, ga sempet re-take karena kejar tayang. Hihihi.
Video reguler yang kami kerjakan “cukup ringan”, karena naskah sudah siap sebelum syuting, narasumbernya jelas, dan tempatnya juga tidak bervariasi alias di kampus narasumber (dan sekitarnya). Berbeda dengan Baruna-Baruna Formosa. Denganfootageyang merupakan campuran dariinterviewdanfiller shot, naskah harus dibuat dari nol dan disesuaikan denganfootageyang ada (atau sebaliknya,footagedisesuaikan dengan naskah karena semua dijalankan bersamaan). Naskah tidak bisa dikerjakan di awal karena ceritanya belum utuh. Tim hanya bisa bekerja saat akhir minggu karena semuanya mahasiswa, sehingga semua pengambilan gambar dipadatkan pada hari Sabtu dan Minggu (Sabtu pagi berangkat, pulang Minggu malam). Tim Lentera Ide berkeliling dari ujung Taiwan utara hingga selatan untuk mengunjungi pelabuhan-pelabuhan dimana banyak ABK Indonesia di sana, melakukaninterview(kebanyakan tanpa janji), mengambilfiller shot, lalu sepulang dari sana, menuliskan hasilinterviewtersebut sekaligus mengembangkan naskah. Menjadi interviewer juga tidak mudah, karena tidak semua ABK mau membuka pengalamannya. Tim tidak bisa langsung “masuk” dan membuat mereka duduk manis lalu bercerita. Sesekali ada perbincangan spontan tanpa rencana yang tidak sempat direkam audionya atau dicatat sehingga harus diingat.