If you don’t have time to read, you don’t have the time or the tools to write.
-Stephen King
Ketika saya menulis, saya sering terjebak dalam dilema antara “menuliskan apa yang saya mau” dan “menuliskan apa yang pembaca ingin baca”. “Karir” menulis saya memang dimulai dari membaca, dan saya menyadari benar bahwa hobi membaca itu membantu banyak ketika saya menulis. Kalau Anda jeli mengamati, meski tidak terlalu kentara, gaya penulisan saya sebagian besar mengikuti pola naratif deskriptif, karena dalam dilema dua hal tadi, saya cenderung “memenangkan” yang kedua. Bagaimana “bercerita” supaya pembaca tahu (dan kemudian mengerti) apa yang saya maksudkan. Pengaruh dari banyaknya buku “cerita” yang saya baca sejak kecil.
Dengan membaca, kita menjadi peka pada kata-kata. Tidak hanya sekedar soal diksi atau pemilihan kata, melainkan juga bagaimana menangkap pesan yang tersurat atau yang tersirat dalam jajaran kata-kata tersebut. Bagaimana alur yang digunakan si penulis, bagaimana caranya mendeskripsikan sesuatu, bagaimana caranya mengalirkan emosi pembaca. Kepekaan pada kata-kata itu sedikit banyak (kalau saya, banyak) membuat kita secara tidak sadar akan berpengaruh pada gaya kita menulis. Bukan soal menjiplak. Analoginya sama seperti menyanyi. Setiap penyanyi pasti memiliki karakteristik yang dipengaruhi dari penyanyi lain, namun penyanyi berbeda pasti memiliki karakteristiknya sendiri, tidak sekedar meniru.
Mereka yang tidak atau kurang membaca namun segera terjun ke dunia menulis cenderung memiliki gaya menulis yang meledak-ledak, segala sesuatu ditumpahkan saat itu juga tanpa memikirkan alur, pemilihan kata, dan pesan yang ingin disampaikan. Ini bukan sesuatu yang sepenuhnya buruk, namun tulisan yang dilahirkan dengan ketergesaan akan menjadikan tulisan tersebut kurang matang, baik secara kualitas, teknis, maupun konteks.
Membaca juga akan mengajarkan kita bagaimana menyusun alur dengan cara-cara yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Saya cenderung punya pola “PREP” (point, reason, example, point) dimana di awal saya memberikan pembuka (berupa pertanyaan atau pernyataan) lalu menekankan point atau pesan yang ingin saya bagikan, mengungkapkan alasan/uraian, memberikan contoh, lalu di akhir menegaskan kembali pesan yang ingin saya sampaikan dengan kata-kata yang sebisa mungkin berbeda (parafrase). Pola ini saya pelajari sewaktu saya belajar Speaking untuk tes IELTS. Terkesan kaku memang (beruntung gaya bahasa saya hampir selalu “colloquial” alias “bercakap”). Dan dengan banyak membaca, kita akan disuguhi dengan banyak pilihan. Kesimpulan tidak harus di belakang, kesimpulan bisa diletakkan lebih dulu di awal, baru uraian. Ketika makan kacang kulit (bukan kulit kacang ya), ada yang memilih pola 1-1: membuka kulit kacang 1, lalu segera dimakan. Ada juga yang membuka kulitnya semua baru dimakan. Ada lagi yang makan langsung beserta kulitnya. Seperti itu.
Membaca buku-buku yang unik sering membuka wawasan kita mengenai penggunaan kata yang sepertinya “nggak masuk” untuk sebuah tulisan populer. Saya belajar menggunakan istilah yang sifatnya teknis dalam menulis dari buku-buku yang saya miliki, terutama science fiction. Sering terjadi, ketika menulis kita membatasi diri dengan penggunaan istilah karena karakteristiknya yang sulit untuk diposisikan dalam tulisan. Dewi “Dee” Lestari menempatkan istilah “badai serotonin” dalam novelnya Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh untuk mendeskripsikan euforia. Serotonin adalah neurotransmitter yang dalam dunia sains sering dihubungkan dengan “perasaan” bahagia. Teknis sekali memang, tapi dari Dee saya belajar mengintegrasikan istilah-istilah teknis untuk tulisan yang “non-teknis”. Bagaimana membuatnya tidak terkesan teknis dan mampu mendukung pesan yang ingin saya sampaikan tanpa terjebak dalam diksi kata yang terbatas.
Kemudian sebagai pembaca dan sekaligus penulis, kita harus sadar bahwa tidak setiap ide, pengalaman, kesaksian, dan apa yang kita tuliskan bisa ditangkap dengan baik oleh mereka yang membacanya. Karena itu saya menutuskan untuk membuat blog pribadi supaya saya bisa mengamati apakah tulisan saya bisa “dimaknai” sesuai apa yang ingin saya tekankan atau tidak. Begitu juga dengan menulis di Kompasiana dimana setiap tulisan saya bisa dikomentari. Saya suka tersenyum dan cemberut sendiri ketika membaca komentar. Karakter pembaca tidaklah sama, dan melihat bagaimana reaksi yang timbul setelah membaca tulisan itu membuat saya belajar juga, bahwa tidak setiap pesan yang ingin saya sampaikan itu ditangkap secara pas oleh pembaca. Dari situ tulisan saya (dan saya) didewasakan, ditempa, dari sekian banyak komentar yang nadanya setuju, memuji, menghujat atau mengolok-olok.
Sama seperti pesan sebuah tulisan yang seringkali diterima berbeda oleh pembaca, tulisan ini tentunya juga tidak eksak, tidak 100% menjamin bahwa kebiasaan membaca akan membuat kita menjadi penulis yang berkualitas. Harus tetap diingat bahwa ada banyak faktor dalam segala segi kehidupan manusia.
Selamat membaca dan selamat menulis,
-Citra, an avid reader and enthusiastic writer
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H