Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebuah Refleksi Tentang Prestasi

9 April 2012   12:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:50 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Charlie. Seorang anak berusia 10 tahun blasteran Taiwan dan Belanda. Ceria dan banyak bicara. Dia terlihat senang karena dia akan menuju tempat favoritnya, Tamsui, distrik di ujung Taiwan yang mengarah ke Taiwan Strait. Di Taipei Main Station, ketika ia melihat seorang kakek tua tidak mendapat tempat duduk, ia berdiri, mempersilakan si kakek untuk duduk. Ibunya tersenyum. Ketika ditanya apakah dia rela berdiri padahal Tamsui adalah stasiun terakhir yang memakan waktu 40 menit untuk mencapainya, si kecil Charlie menjawab,”It’s fine. That grandpa needs the seat more than me. I am happy because it’s not a school day and I still can have an achievement today. Helping others is as important as getting 100 for homework, right?”. Beberapa orang yang mendengarnya sedikit terhenyak. Termasuk saya.

Apa yang ada di benak Anda tentang prestasi?

Ranking 1? Masuk kelas akselerasi? Juara olimpiade tingkat internasional? Menjadi kader partai politik di usia muda?

Sadar atau tidak, selama ini yang namanya prestasi selalu dikuantifikasi. Seseorang disebut berprestasi bila menjadi orang yang gilang gemilang bercahaya dan lebih dari yang lain. Menjadi “the one”. Yang berada di bawah sorot cahaya. Yang kelihatan dan tampil di depan.

Padahal prestasi adalah sebuah pencapaian. Tidak ada ukuran mutlak untuk sebuah prestasi. Besar dan kecil adalah manifestasi kegilaan manusia pada ukuran. Apa yang dilakukan si kecil Charlie, mungkin terlihat sepele di mata orang, hanya sekedar memberikan tempat duduk pada yang membutuhkan, tapi lihatlah bagaimana dia memaknainya. Bahwa membantu orang lain juga sama pentingnya dengan mendapatkan nilai bagus di sekolah.

Nama Sir Edmund Hillary mungkin lebih terkenal dibanding Tenzing Norgay. Siapa Tenzing Norgay? Dia adalah sherpa yang ‘mengantarkan’ Sir Edmund Hillary untuk menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest. Meski keduanya tercatat sebagai dua orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Everest, dalam salah satu interview, Tenzing Norgay mengungkapkan bahwa Sir Edmund Hillary-lah yang pertama, bukan dirinya. Tenzing Norgay mempersilakan Sir Edmund Hillary untuk menjadi yang pertama. Ketika ditanya apakah dia tidak ingin mencapai prestasi serupa, jawaban Tenzing Norgay adalah “Because that was his dream, not mine. My dream was successfully escorted him and helped him chased his dream”. Bagi Tenzing Norgay, mengantarkan orang lain mencapai prestasinya adalah prestasi bagi dirinya sendiri. Prestasi bukan hanya sekedar menjadi yang pertama.

Sama juga dengan program Indonesia Mengajar dan program-program serupa yang ada di berbagai institusi pendidikan di Indonesia. Mereka yang bersedia meninggalkan kenyamanan dan pergi ke daerah terpencil untuk mengajar. Prestasi yang tidak ‘dibayar’ dengan kemegahan atau uang sekian puluh juta. Tapi prestasi yang menginspirasi.

Sama seperti orang-orang luar biasa yang berada di balik Idenesia. Idenesia adalah sebuah sharing platform yang bertujuan untuk menyebarkan ide-ide positif tentang Indonesia, melalui video-video yang menginspirasi di Idenesia Arsip Positif, dan boleh disebarkan GRATIS. Legalized piracy. Empat orang di balik Idenesia: Dirgayuza Setiawan, Irine Yusiana, Abdul Qowi Bastian, dan Melita Rahmania Usman; percaya bahwa aset paling berharga yang dimiliki Indonesia adalah ide-ide positif orang Indonesia untuk memajukan bangsanya. Saya mengenal Yuza secara singkat karena dia adalah inisiator Lingkar Ide PPI Australia, yang platformnya diadopsi untuk Lentera Ide PPI Taiwan (dimana saya bekerja sebagai penulis naskah). Saya juga mengenal mbak Irine sekilas karena dia adalah kakak kelas saya saat SMA.

Lihatlah mereka, pemuda-pemudi berprestasi, yang meski tidak naik panggung menerima penghargaan, tapi punya pencapaian lain yang tidak kalah berharga: menginspirasi melalui hal-hal yang sepertinya sederhana, tapi benar-benar mereka lakukan dengan tulus.

Saya teringat pembicaraan sambil lalu saya dengan seorang anak penjual gorengan di salah satu pasar malam di Taiwan. Dia masih mengenakan seragam sekolah dan itu hari biasa, bukan weekend. Ketika saya tanya apakah dia tidak perlu belajar, dia menjawab “Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu meringankan beban ibu. Saya tidak pintar sekali seperti teman-teman yang lain, jarang masuk 10 besar, tapi saya bangga bisa tetap mendapatkan ranking yang lumayan meski harus membantu ibu setiap hari”.

Itu adalah prestasinya. Bukan menjadi yang paling pintar, melainkan bisa tetap belajar dan fokus sekolah meski setelahnya harus membantu ibunya berjualan di pasar.

Jadi, apa prestasimu? :)

-Citra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun