Beberapa bulan lalu saya membaca artikel di Kompas, di kolom Pariwisata. Judul artikelnya, “Enjoy Jakarta”…”Enjoy” Apanya?, yang isinya memaparkan survey Litbang Kompas mengenai permasalahan di ibukota (baca disini).
Saya tidak suka Jakarta, dan saya tidak mau tinggal di Jakarta. Sebuah perkataan yang mungkin dianggap prematur mengingat saya tidak pernah benar-benar “tinggal” di Jakarta. Saya hanya berkesempatan beberapa kali mengunjungi Jakarta dan tinggal di sana maksimum seminggu saja. Saya tahu ada orang yang akan mengatakan, kamu kan belum kenal Jakarta.
Kesan pertama itu penting. Dan kesan pertama saya tentang Jakarta (beserta kesan-kesan berikutnya) tidak membuat saya nyaman berada di Jakarta. Tiga tahun tinggal di Taipei memang membuat toleransi saya terhadap banyak hal menjadi menipis. Terakhir kali saya menginjakkan kaki di Jakarta adalah akhir tahun lalu, saat saya kembali ke Indonesia selama sebulan. Teman yang menjadi guide saya selama beberapa hari di sana menawarkan alternatif pilihan transportasi: taksi, busway, bus kota. Saya memilih taksi saja (bukan masalah punya uangnya, tapi masalah kenyamanan dan keamanan), tapi teman saya mengajak saya untuk ‘merasakan’ busway. Ya sudah, saya manut saja.
Yang ada di bayangan saya tentunya busway semacam bus kota di Taipei, which is datang teratur, nyaman, aman, membayar praktis dengan EasyCard. Tapi ya itu, saya lupa bagaimana Indonesia. Halte busway ada di tengah jalan, dengan sistem pembayaran manual (diberi kartu tapi hanya sebagai ‘pembuka gate’, alias hanya untuk masuk ke halte), bus-nya datang setengah jam kemudian (grrrrr), dan agak sedikit lucu dengan adanya kondektur yang mengatur penumpang di dalam (memang perlu sih kalau melihat perilaku penumpang bus di Indonesia). Sudah begitu meskipun memiliki jalur sendiri, tetap saja jalannya tidak secepat yang saya bayangkan. Plus di dalam bus harus ekstra waspada dengan barang-barang bawaan (kalau di bus kota di Taipei saya bisa dengan tenang tidur meski berdiri). Di beberapa titik antrian penumpang busway cukup panjang, dan membuat saya sudah malas duluan untuk mengantri. Jadi begitulah, sepanjang perjalanan dalam busway penuh itu, saya berkali-kali berkata pada teman saya, udah ah, lain kali naik taksi aja, mahalan dikit tapi nggak ribet. Eh tapi saya senang naik TransJogja, setidaknya ruwetnya tidak seruwet TransJakarta.
Macetnya membuat saya frustasi hanya dalam jangka waktu beberapa hari saya tinggal di Jakarta. Taipei (dan juga Surabaya, tempat saya tinggal sebelumnya) bukannya bebas dari macet, pada jam-jam tertentu Taipei (dan Surabaya) juga mengalami kemacetan terutama jam berangkat dan pulang kerja, tapi itupun di titik-titik tertentu dan kebanyakan di sekitar persimpangan jalan (which is normal). Di luar itu, Taipei memiliki sistem transportasi umum yang efisien. Jakarta? Kemacetan sepanjang hari dimana-mana, bahkan di jalan-jalan kecil. Sopir taksi yang mengantar saya ke Plaza Semanggi sempat bertanya kepada saya, mbaknya bukan orang Jakarta ya?. Saya menjawab, iya Pak, kok Bapak tahu? Si bapak menjawab kalem, kelihatan dari muka tidak sabarannya. Ya begini ini mbak Jakarta, macet dimana-mana. Saya tidak membalas, hanya mrengut.
Kalimat yang paling saya tidak suka. Ya beginilah bla bla bla, dimaklumi saja bla bla bla. Kalimat seperti mengindikasikan sikap hanya menerima dan memaklumi keadaan. Padahal tidak seharusnya kita begitu. Iya kata orang Jawa manusia itu seharusnya nrima, ikhlas dengan apa yang diberikan Tuhan. Bukannya saya mengatakan itu salah, tapi prinsip itu tidak bisa kita terapkan dalam setiap perkara. Tuh kan saya malah ngelantur kemana-mana.
Kembali ke Jakarta. Itu tadi alasan kenapa saya tidak mau tinggal di Jakarta. Saya tidak peduli dengan omongan orang bahwa Jakarta itu kota impian dan bla bla bla. Saya tidak mau berangkat dari rumah jam 5 pagi untuk sampai di kantor jam 8. Saya tidak mau pulang jam 5 sore dan baru sampai di rumah jam 12 malam karena macet. Berlebihan? Bagi saya tidak.
Tinggal dimana saya nanti memang saya belum tahu. Setidaknya masih satu tahun lagi saya tinggal di Taipei. Setelah itu, who knows? Tapi tidak, saya tidak akan memilih Jakarta.
Cheers,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H