Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Catatan Asem Manis Pejuang Busway

7 Juni 2014   01:36 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:57 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai seseorang yang mendeklarasikan diri sebagai pejuang busway, saya punya beberapa catatan tentang Transjakarta (TJ). Ada yang manis, ada pula yang sedikit asem.

1) Over capacity

Pada dasarnya saya mengamati saat jam-jam sibuk, jumlah armada dalam satu jalur memang lebih banyak dibanding bukan saat jam sibuk. Sebuah langkah yang tepat diambil untuk mengatasi jumlah penumpang yang membludak, meski tetap saja jangan berharap menemukan TJ yang lowong sehingga bisa nari balet di dalemnya. I know that. Entah karena jumlah armada yang tidak sebanding dengan penumpang atau memang kurang bisa memperkirakan standar 'kenyamanan' jumlah penumpang berdiri dalam TJ, saya sering menemukan petugas (dalam bus) TJ yang kurang pas menghentikan penumpang yang masuk. Seakan-akan kalau pintu masih bisa ditutup, angkut saja. Tidak hanya tidak nyaman menggunakan TJ dengan metode jejalkan ikan teri dalam satu wadah, situasi seperti ini rentan copet. Tidak sekali dua kali saya menjumpai penumpang yang kehilangan dompet atau telepon genggam, terutama mereka yang berdesak-desakan di pintu tengah TJ panjang.

Tak cuma petugas TJ yang 'salah', penumpang juga. Banyak yang memaksa masuk meskipun sudah jelas TJ di depan mata itu penuh sepenuh-penuhnya.

2) Keamanan

Berhubungan dengan over capacity juga ya. Tempat rentan memang di bagian tengah, zona campur wanita dengan pria. Namun pihak TJ sendiri sudah menunjukkan langkah proaktif dengan pengumuman waspada yang selalu diulang-ulang di setiap halte, tak cuma dengan rekaman, juga oleh petugas pintu TJ yang tak bosan mengingatkan. Petugas TJ juga cukup sigap dengan laporan kehilangan dan sepertinya dilatih untuk mengenali gerak-gerik pencopet (atau sering memperhatikan sendiri). Pernah satu kali ada seorang bapak yang kecopetan di TJ, bus sudah jalan, dan petugas TJ menelepon petugas TJ di halte sebelumnya untuk menginformasikan ada pencopet turun di halte tersebut, lengkap dengan ciri-cirinya.

3) Bisa beli e-ticket di mana sih?

Ada yang bisa membantu saya? Dari sekian banyak halte TJ yang saya datangi, stok e-ticket selalu habis. Padahal sebagai pengguna harian TJ, saya tentu lebih memilih mode pembayaran yang ini. Memang jumlahnya yang terbatas atau saya yang kurang berkeliaran ke halte lainnya? Tanya teman, jawabannya apa coba? "Ya coba halte lain dong."

Yes keleus.

4) Amari

Ada masanya saya pulang kantor di atas jam 10, dan amari (angkutan malam hari) TJ menjadi jawaban kegalauan saya karena tak harus pulang naik taksi. Amari beroperasi jam 10 hingga jam 11 malam, dan memang tidak berhenti di halte tertentu, namun malah membuat perjalanan lebih cepat.

Sejak 1 Juni juga sudah diluncurkan TJ 24 jam yang beroperasi di koridor tertentu, yang katanya lumayan juga (belum pernah mencoba sih).

5) Layanan terintegrasi

Ini lumayan banget, terutama yang berasal dari daerah-daerah satelit (sekeliling Jakarta), misalnya Bogor, Ragunan, Cibinong. Penumpang yang berasal dari sana bisa naik angkutan perbatasan terintegrasi busway (APTB), yang tarifnya lumayan murah dan bisa nyambung ke jalur TJ.

5) Etika penumpang

Uhuk. Banyak sih yang perlu dibenahi (ini ceritanya catatan untuk diri sendiri). Sadar kalau duduk di kursi prioritas, misalnya. Kalau di Taiwan sih kursi ini biasanya tidak diduduki. Aturannya memang boleh diduduki, namun ketika ada yang membutuhkan, wajib memberikannya pada penumpang tersebut. Kalau penumpang TJ sendiri, kebanyakan belum sepenuhnya sadar dengan hal ini, malah lebih banyak menemukan penumpang di kursi biasa yang memberikan kursinya pada penumpang membutuhkan.

Dua, soal mengantri. Duh banget kalau yang satu ini. Selain mengantrinya tidak rapi, yang di belakang juga seenaknya menggeser ke depan, untuk stasiun tertentu yang menjadi titik akhir/awal/transfer jalur tertentu juga mengalami 'kebuntuan'. Mereka yang menunggu TJ jalur tertentu sudah memenuhi pintu lalu tidak mau bergeser memberikan jalan untuk mereka di belakang yang mau naik TJ lain jalur yang sedang lewat. Gemes kadang-kadang. Kalau tidak bisa lewat, harus menunggu TJ berikutnya. Kalau tidak bisa lewat lagi, menunggu lagi.Hiks. Atau mungkin pengelola TJ mau membuatkan jalur khusus? Siapa tahu bisa menyelesaikan persoalan maha penting ini (halah).

Tiga, tiang pegangan yang sering dijadikan tempat bersandar mbak-mbak yang sibuk mainan hape. Saat sedang penuh-penuhnya, penumpang akan mencari tumpuan, apapun itu. Tiang pegangan (bukan yang di atas) adalah tumpuan yang bisa dijangkau beberapa orang, tapi seringnya dikapling oleh satu orang saja yang bersandar di sana.

Keluar dulu, baru masuk. Ini sih aturan yang sama di seluruh dunia, tapi ya sering ada yang ngotot mau masuk sebelum penumpang di dalam keluar. Atau seringnya, pintu di halte dikerubungi oleh penumpang yang mau masuk sampai yang mau keluar bingung mau lewat mana. Dipikir bisa terbang, mungkin.

Yak, itu dulu saja catatan saya mengenai TJ. Mari menggunakan transportasi umum!

XOXO,

-Citra, pejuang busway

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun