Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gap Year: Setahun Nganggur

28 Agustus 2014   18:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:17 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409200704204908335


Lihat tu si Citra, pinter-pinter juga nggak dapet-dapet kerjaan.

Komentar rasan-rasan, alias menggunjingkan orang di belakang ini dikisahkan seorang teman pada saya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena saya tak kunjung bekerja setelah saya lulus pertengahan tahun lalu. Memang iya, saya lulus bulan Juli 2013, kembali ke Indonesia September 2013, lalu baru mulai bekerja full time bulan April 2014. Enough said, bulan-bulan sebelumnya saya (kelihatannya) menganggur.

Ya saya sih tertawa saja. Hidup hidup gue kok elo yang repot.

Jawaban keren saya adalah: saya sedang mengambil gap months. Agak maksa memang, karena istilah yang lebih populer adalah yang namanya gap year. Apa sih gap year?

Menurut Tante Wikipedia, gap year adalah masa ketika seseorang keluar dari kegiatan rutinnya (bisa pekerjaan, bisa studi) untuk melakukan hal yang lain, yang bisa jadi tidak berhubungan dengan pekerjaan/studinya. Gap year sendiri populer di negara-negara Barat, biasanya diambil oleh lulusan SMA sebelum mereka melanjutkan ke universitas. Kenapa year, karena seiring dengan tahun akademis yang jedanya tahunan, meski tidak menutup kemungkinan bisa dilakukan lebih singkat atau lebih lama.

Banyak hal yang bisa dilakukan selama gap year, mulai dari jalan-jalan (ini yang saya lakukan), bekerja sukarela (volunteering), mengambil kursus, hingga memulai sebuah bisnis. Intinya: semau elo, deh. Bagi mereka yang lulusan SMA, gap year adalah masa pendewasaan diri, di mana mereka mulai meninggalkan rumah, melakukan sesuatu yang mereka sukai, membekali diri dengan banyak keterampilan, bertemu dengan banyak orang baru, hingga tujuan sesederhana gue mau kuliah jurusan apa.

Ini dia. Sebagai seseorang yang mengambil jurusan karena memang saya ingin mengambil jurusan itu, dengan informasi yang saya dapatkan sendiri, saya tahu benar bagaimana senangnya kuliah. Senang karena memang saya menyukainya. Permasalahannya, banyak anak muda lulusan SMA yang bingung mau kuliah jurusan apa. Tak hanya karena akses informasi yang terbatas (mengenai kelebihan dan kekurangan jurusan yang bersangkutan), juga karena di umur segitu dan pola pendidikan kita, banyak yang masih nggak ngeh dengan apa yang mereka minati. Ujung-ujungnya adalah: mereka kuliah di jurusan X karena peminatnya banyak, karena prospek kerja cerah. Bukan karena minat dan ketertarikan mereka di bidang itu. Ujung-ujungnya banyak yang menyesal ambil jurusan XXX (padahal sudah bayar mahal dan membuang waktu).

Kuliah dengan alasan di atas memang nggak salah. Saya tidak menyalahkan kok. Santai aja.

Praktek gap year ini menurut saya bisa menjadi alternatif bagi mereka yang ingin lebih mengenal apa yang mereka minati, atau bisa jadi mengenal sesuatu yang baru. Karena masanya yang panjang, orang memiliki lebih banyak waktu untuk mencari informasi, mengenal orang baru, hingga terlibat lebih jauh. Magang di sebuah perusahaan, misalnya, bisa dilakukan saat gap year, untuk melihat apakah jurusan (dan kemudian karir) yang akan kita ambil sesuai dengan apa yang kita inginkan atau tidak. Banyak dari teman saya yang berubah pikiran mengenai jurusan apa yang akan mereka ambil, namun juga tidak sedikit yang menjadi semakin yakin. Keluarannya memang ada dua, dan keduanya benar adanya.

Selain urusan akademis: memantapkan diri dengan jurusan atau berpikir masuk jurusan baru; gap year model lain juga banyak manfaatnya. Dengan jalan-jalan, saya banyak bertemu teman baru, bisa lebih mengenal negeri sendiri, bisa mengenal budaya yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Dengan jalan-jalan keliling dunia pula teman-teman saya justru menemukan bidang yang mereka minati, tak lain dan tak bukan karena bertemu dengan orang baru yang membukakan wawasan, melihat dunia dengan perspektif lain. Belajar toleransi? Tentu bisa. Dengan menjadi volunteer, kita bisa melihat banyak persoalan yang ada di sekitar kita dan ikut terlibat menyelesaikannya. Dengan iseng memulai bisnis, siapa tahu bisa berkembang menjadi bisnis yang besar. Dengan working holiday, misalnya, kita bisa mendapatkan uang sekaligus jalan-jalan.

Apakah gap year bisa dibilang membuang-buang waktu? Apalagi dengan budaya orang Indonesia yang sangat self conscious dengan umur. Beda sedikit dengan demografi dibilang telat. Ini juga masalah persepsi. Ada yang memang maunya cepat-cepat lulus lalu bekerja sehingga bisa pensiun dini, ada juga yang hidupnya selow aja, tidak punya target umur untuk melakukan banyak hal. Dari sisi positifnya, gap year memberikan pengalaman dan pelajaran, yang bisa jadi tidak didapat di ruang kelas atau di kesempatan lain. Gap year juga bisa menumbuhkan kepercayaan diri dalam memutuskan banyak hal, plus bagaimana caranya bertanggungjawab dalam segala keputusan yang kita ambil.

Nggak mau ngambil gap year? Nggak apa-apa, no problem. Bagi yang mau mengambil gap year dan ragu-ragu, ini bisa jadi bacaan untuk refleksi. Masa jeda yang saya ambil beberapa bulan lalu adalah masa-masa yang sangat menyenangkan, juga sarat pelajaran.

XOXO,

-Citra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun